(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
10 Agustus 2018
Kenapa musik, yang notabene ditangkap oleh indra pendengaran, masih tetap menarik jika dipertontonkan? Mungkin ini jawabannya: Karena manusia, tidak selalu puas dengan satu penginderaan saja. Ada kalanya, yang kita namai sebagai pengalaman langsung, adalah berarti menceburkan diri pada fenomena secara keseluruhan. Mengalami sesuatu secara langsung, bisa jadi artinya: membuat sebanyak mungkin penginderaan jadi terlibat.
Ini yang saya lakukan ketika datang untuk meliput berbagai pertunjukkan di Benteng Vastenburg pada hari kedua penyelenggaraan International Gamelan Festival (IGF) 2018 di Surakarta. Setelah menghadiri pameran seni rupa kontemporer di Taman Budaya Jawa Tengah, saya tetap menyempatkan diri ke Benteng Vastenburg meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Motif saya awalnya sebenarnya sederhana, yaitu ingin menyaksikan penampilan dari Sambasunda, yang notabene dipimpin oleh kawan sekaligus guru saya, Kang Ismet Ruchimat.
Namun kemudian saya mendapat kabar dari panitia bahwa Sambasunda, yang seyogianya tampil pada pukul sembilan malam, ternyata mundur menjadi penampil puncak atau sekitar jam setengah sebelas malam. Saya beruntung. Dengan demikian, tidak hanya saya menjadi tidak kehilangan momen menyaksikan penampilan kelompok asal Bandung yang berdiri tahun 1993 tersebut, melainkan lebih daripada itu, saya bisa menonton dua penampil lain, yaitu kelompok gamelan dari Amerika Serikat dan Jepang.
Tentang kelompok dari Amerika Serikat, namanya Sanggar Manik Galih yang berpusat di Colorado. Kelompok gamelan ini dipimpin oleh I Made Lasmawan dan Ni Ketut Marni, serta berdiri sejak tahun 2011. Personil dari kelompok tersebut beragam dari mulai orang asing (khususnya Amerika Serikat), orang Bali, dan orang Indonesia yang berdiaspora.
Setelah Sanggar Manik Galih, kemudian naik ke atas panggung, kelompok gamelan dari Jepang yang bernama Lambangsari. Lambangsari bukan satu-satunya kelompok gamelan di Jepang. Hanya saja, kelompok yang berpusat di Tokyo ini merupakan kelompok gamelan yang paling tua (didirikan tahun 1985). Pendirinya adalah Profesor Fumi Tamura dari Tokyo National University of Fine Art and Music. Pada IGF 2018, mereka memainkan karya yang katanya sudah sangat dikenal di Jepang, yaitu musik (yang dipadukan dengan tari) Gambyong Pareanom.
Alih-alih duduk di depan panggung untuk menikmati sajian pertunjukkan, saya memilih untuk melipir ke gerai makanan di area pinggir. Saya duduk bersama Mbak Amalia Prabowo sembari bertanya tentang makanan apa yang sebaiknya saya santap malam ini. Ia menjawab dengan jelas, “Paling enak ya soto grabah dan wedang uwuh, Mas.” Kebetulan sekali, gerai yang menjual item tersebut berada di sebelah meja kami duduk.
Tidak sampai lima menit, keduanya dihidangkan di meja tempat saya duduk. Sekarang artinya, sedang tersaji: soto grabah, wedang uwuh, dan kelompok gamelan Lambangsari, yang seluruhnya berada di hadapan sekaligus. Ini adalah pengalaman eksistensial yang komplit, yang oleh filsuf Prancis, Jean Paul Sartre, disebut sebagai “kehadiran yang tanpa tedeng aling-aling”.
Foto oleh Amalia Prabowo |
Seni kadang direduksi menjadi sekadar esensi belaka - bahwa seni hanya semata-mata urusan kedalaman batin -. Padahal, perangkat menuju kedalaman itu memerlukan elemen-elemen yang sangat inderawi. Kita lihat betapa banyaknya musisi yang mengeluh oleh sebab sound system yang buruk; perupa kurang sreg dengan merk cat dan kuas tertentu; dan di sisi lain, apresiator kecewa karena kualitas headset yang tidak mutakhir sehingga mereka gagal mendengarkan detail dari musik John Coltrane, misalnya.
Hal-hal seperti itu tampak tidak relevan dengan seni sebagai sesuatu yang luhur dan transenden. Tapi kita tidak bisa abaikan bagaimana kehidupan di sekitar yang kita jalani, masih memerlukan tubuh sebagai sarana menggapai seluruh pengalamannya. Maka manjakan tubuh, sebelum menggapai “pesona estetis”.
Di setiap suapan soto grabah, saya mendengar bunyi gamelan lebih sempurna dari biasanya. Di setiap tegukan wedang uwuh, saya melihat penari, yang saya tahu, salah satunya bernama Kaori, lebih indah dari biasanya.
Bersama Kaori, penari jebolan ISI Surakarta. Foto oleh panitia IGF 2018. |
Comments
Post a Comment