Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Notasi Musik, Persoalan Kontemporer dan Kemerdekaan Bunyi

Ditulis dalam perjalanan di kereta, sebagai suplemen bedah buku Notasi Musik Abad 20 dan 21 karya Septian Dwi Cahyo, Sabtu, 25 Agustus 2018 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta




Buku Notasi Musik Abad 20 dan 21 ini sudah lama saya lihat pengumumannya di linimasa media sosial teman-teman saya. Selintas, saya pikir buku ini menarik dan keren karena saya tiba-tiba teringat ucapan Dieter Mack pada sebuah seminar berjudul Komposer Masa Kini di Universitas Pendidikan Indonesia pada 11 Oktober 2016. Begini kira-kira ucapannya, "Meski cara memainkan musik sudah sangat beragam, tapi komposer tetap harus punya cara agar pemain dapat memainkan komposisinya dengan seratus persen sama (dengan apa yang dimaksud)." Lalu Dieter berjalan ke papan tulis dan menggambar notasi yang, saya yakin, nyaris sebagian besar audiens tidak mengenalnya.

Bagi saya yang bukan komposer, saya baru mengerti secara yakin: inilah notasi musik "masa kini", yang oleh Septian Dwi Cahyo dikategorikan ke masa abad 20 dan 21. Sebelumnya, saya pernah diperkenalkan secara sekilas oleh seorang kawan, Diecky Kurniawan Indrapradja, berbagai bentuk penulisan partitur kontemporer, dalam sebuah kelas komposisi. Dikesempatan lain, komposer Hery Budiawan juga pernah membuatkan saya sebuah komposisi dengan gaya penulisan yang sangat tidak lazim dengan judul Naon?  untuk solo gitar yang hingga sekarang belum sempat saya mainkan (dan saya masih merasa bersalah karenanya).

Artinya, meski tidak secara getol menggeluti dunia penulisan partitur ini (apalagi yang kontemporer), ada beberapa fragmen memori yang melekat, yang bisa jadi landasan untuk saya berbicara dalam forum ini.

Pertama, ini buku yang penting. Sangat penting. Memang Septian sudah sangat hati-hati dengan mengatakan bahwa ini bukanlah upaya standardisasi notasi seolah-olah semuanya mutlak seperti yang ia tuliskan. Bagaimanapun, Dieter sendiri yang mengatakan: bahwa sejak abad ke-20, ekspresi musik para komposer sudah semakin individual dan tidak bisa dikelompokkan dalam suatu gaya yang serupa seperti halnya di zaman-zaman sebelumnya (e.g.: Barok, Klasik, Romantik).

Jadi, Septian telah melakukan sedikit keberanian yang penuh nuansa perjudian: Ia mendokumentasikan sesuatu yang spektrumnya sangat luas dan tidak terbatas. Yang ia sendiri sadari bahwa upaya ini cukup rumit karena komposer tertentu sangat senang bermain mana-suka dengan tanda-tanda dan mungkin hanya dipahami oleh pemain yang pernah bekerjasama dengannya.

Namun kenapa penting? Karena pertama, buku ini bukan untuk diikuti sedemikian rupa tanda-tandanya oleh komposer manapun yang membaca. Tapi untuk memberi inspirasi bahwa notasi merupakan sebentuk kendaraan atas gagasan musik kita dan itu artinya ikatan-ikatannya sebenarnya tidak baku selama musisi bisa paham apa yang diinginkan. Artinya, komposer yang membaca buku ini bisa terbebaskan dan bahkan tercerahkan dari belenggu aturan konvensional dan mungkin segera bisa menuliskan gagasan-gagasan baru yang sudah lama terpendam.

Kedua, ini bukan buku yang mendeskripsikan ragam notasi masa kini saja. Lebih daripada itu, ini adalah buku yang kurang lebih menceritakan tentang situasi musik kontemporer. Membaca ini, saya merasa miskin sekali. Bahwa ternyata musik sudah sejauh ini, estetika sudah sangat jauh beragam dan apa yang saya dengarkan belakangan, ekplorasinya ternyata masih di situ-situ juga.

Perasaan miskin ini mungkin bukan hanya jadi milik saya secara pribadi, tapi juga umumnya komposer, musisi, dan apresiator di kota tempat saya tinggal, Kota Bandung. Panitia menuliskan nama saya sebagai " founder KlabKlassik Bandung" dan itu punya banyak makna bagi saya.

Sejak KlabKlassik Bandung berdiri tahun 2005, saya merasa bahwa komunitas ini mungkin sedikit banyak punya peran dalam mendorong gairah musik klasik di Kota Bandung (dengan kontribusi kelompok lainnya tentu, semisal Classicorp Indonesia dan Bandung Philharmonic). Tapi kami juga sedih karena perkembangan musik klasik di Bandung ini pada titik tertentu menjadi semacam klangenan belaka. Jarang sekali ada satu sikap bermusik yang kuat seperti yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta (atau sekarang mulai berkembang di Pontianak) yang menunjukkan kepekaan terhadap situasi kontemporer. Memang ada komposer garda depan yang baik sekali seperti Iwan Gunawan, Haryo Yose Sujoto, Dedy Satya Hadianda, atau Fauzie Wiriadisastra, tapi lain daripada itu, sangatlah minim. Pernah ada komposer berani sekali, yang sudah saya sebut di paragraf sebelumnya, Diecky. Tapi ia pindah domisili, setelah sebelumnya sukses meracuni sejumlah orang untuk mengikuti "jalan sunyi"-nya (para pengikutnya itu, macam Adrian Benn dan Bilawa Ade Respati, sekarang berkiprah di Eropa).

Memang, Bandung belakangan ini mulai menggeliat "gerakan bunyi" yang diinisiasi salah satunya oleh seorang kawan, namanya Bob Edrian, lulusan Seni Rupa ITB. Dia getol sekali berkampanye tentang sound art, sonic philosophy , dan yang menarik adalah dia ini bukan orang musik, melainkan orang seni rupa. Beberapa komposer musik sempat berang dengan Bob yang secara serampangan mencatut nama Cage dan Xenakis menjadi bagian dari perkembangan seni rupa. Tapi saya pribadi tidak peduli dengan catut mencatut sejarah karena sejarah ya sejarah, tidak ada istilah catut mencatut. Justru Bob (mudah-mudahan) telah membangunkan komposer musik di Bandung dari tidur panjangnya akibat keasyikan memelihara musik klasik sebagai sebuah klangenan belaka. Orang-orang di seni rupa telah memasuki wilayah bunyi sebagai "medium rupa yang baru" dan mungkin banyak diantara mereka sama sekali tidak menguasai (atau tidak merasakan pentingnya) notasi masa kini.

Jadi, kembali lagi ke buku Septian. Buku ini begitu punya banyak arti bagi saya khususnya, dan berharap bagi para pegiat musik di Kota Bandung juga pada umumnya. Kawan saya, Ismet Ruchimat, komposer grup fusion ethnic Sambasunda, titip satu eksemplar buku ini. Lalu sebuah kafe bernama Kaka Café yang sering mengadakan kegiatan filsafat dan kebudayaan, juga minta saya membawa beberapa eksemplar untuk dipajang. Artinya, memang buku ini lebih dari sekadar tentang notasi. Ini buku tentang situasi kekinian yang kerap dilupakan orang. Nigel Spivey pernah mengatakan bahwa memang seni disukai karena membawa kita pada situasi yang tidak realistis. Musik kontemporer sukar untuk disukai, karena mungkin bebunyiannya terlalu mengingatkan kita pada situasi "sekarang" dan itu terasa memilukan karena begitulah fakta yang terhadirkan setiap hari yang dicandrai oleh kita.

Jika (umumnya) publik Kota Bandung tidak bisa langsung dijejali musik kontemporer, maka buku Septian akan menjadi menu pembuka yang asyik. Kita harus senantiasa mendiskusikan dan membicarakannya, agar semakin terbiasalah kita dengan musik masa kini, dan terbebaslah telinga kita dari apa yang disebut Jacques Ranciére sebagai "rezim estetik". Adakah kebebasan yang lebih luhur dari kebebasan sensori pendengaran?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...