(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Ditulis dalam rangka acara TAWURAN (Tanya Jawab Ulas Rancangan) Jangan Tumbuh tentang peluncuran video klip Dhira Bongs di The Silk Hotel, Kamis, 26 Juli 2018.
Membicarakan musik adalah sesuatu yang mudah sekaligus sukar. Mudah karena musik amat kuat menimbulkan suatu kesan - Bambang Sugiharto menyebut musik sebagai seni yang paling “langsung” dan “dalam” -. Musik tertentu dapat membuat kita ingat pantai, berduaan bersama kekasih, galau mengenang kematian, marah terhadap otoritas, dan lain sebagainya. Sehingga membicarakan musik menjadi mudah karena hanya tinggal membicarakan impresi-impresi apa yang terbangkitkan dari rangsangan audial itu sendiri.
Membicarakan musik tapi juga sesuatu yang sukar. Alasannya, jika musik menimbulkan suatu impresi dan kemudian kita malah membicarakan impresi itu, lantas apakah kita menjadi membicarakan sesuatu di luar musik? Sebaliknya, jika kita membicarakan musik dalam konteks dirinya sendiri - dalam hal ini, misal, progresi akor, harmoni, tema - improvisasi, kadensa, dan sebagainya -, tidakkah musik malah terkesan menjadi entitas yang kaku, beku, dan malah bertentangan dengan hakikat musik itu sendiri sebagai sesuatu yang dikatakan Nietzsche sebagai “prosesi penting menuju gelegak dan kemabukan hidup”?
Musik karya Dhira Bongs yang berjudul Jangan Tumbuh bisa kita baca dari dua pendekatan di atas. Pertama, secara impresi, lagu Jangan Tumbuh, mengingatkan saya pada lagu yang ditulis tahun 1950 oleh Bernie Wayne dan Lee Morris berjudul Blue Velvet. Blue Velvet kemudian populer ketika dinyanyikan oleh Bobby Vinton pada tahun 1963 - meski sebelumnya juga pernah dibawakan oleh Tony Bennett -.
Blue Velvet kemudian menjadi soundtrack bagi film dengan judul yang sama tahun 1986 karya sutradara David Lynch (yang memang filmnya didominasi warna biru). Tapi agaknya, dari nuansa musiknya - dan pengalaman saya menyaksikan Blue Velvet-nya Lynch -, kemungkinan ada kesamaan kuat antara keduanya: nuansa neo-noir, psikologis, sureal, sekaligus “horor” yang dibalut citra sensualitas yang kuat. Kata-kata yang terakhir ini mungkin bisa mencerminkan impresi saya tentang musik Jangan Tumbuh.
Sekarang tentang musik sebagai dirinya sendiri. Musik ini, jika ingin punya nuansa sureal, tentu saja, secara umum, harus memiliki repetisi - dengan asumsi, seperti halnya house music dan pada sisi yang lain, zikir serta meditasi, mesti mengandung unsur yang repetitif agar mencapai suatu “ketinggian” tertentu -. Namun Jangan Tumbuh, yang mengagetkan, tidak memberikan repetisi. Lagu berdurasi 02:31 ini, jika dibedah berdasarkan perubahan progresi akornya, terdiri dari tiga bagian. Uniknya, tiga bagian itu tidak diulangi lagi sehingga pendengar kemungkinan agak sukar menemukan bagian “inti” yang “singalongable”. Titik ini membuat musik Dhira dan Blue Velvet-nya Wayne dan Morris menjadi sangat berbeda. Pada Blue Velvet, ada tendensi sureal yang kuat lewat tempo yang mendayu, suara Bobby Vinton yang punya unsur reverb, dan tentu saja, bagian yang diulang-ulang - kita pasti akan ingat selalu: “she wore blue velvet…” -.
Mengapa Dhira melakukan ini, saya tidak yakin motifnya apa. Mungkin ada semacam pemikiran jauh tentang bagaimana agar kesan sureal dipotong dengan tanggung dan menyakitkan, agar sesuai dengan “pesan moral” yang tertuang dalam liriknya yaitu tentang cinta yang jangan tumbuh.
Comments
Post a Comment