Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa. Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian. Tubuh adalah ...
Pada tanggal 1 dan 2 Mei kemarin, saya datang ke dua kota secara berurutan yaitu ke Tangerang dan Jakarta. Adapun tujuan kedatangan tersebut adalah terkait keberadaan forum pengkaji filsafat di masing-masing kota: Di Tangerang ada forum Ngobrol Sambil Ngopi yang diselenggarakan di Agano Coffee, sementara itu di Jakarta, tepatnya Jakarta Selatan, ada forum Diskusi Rabuan yang diinisiasi Gereja Komunitas Anugerah di Diskusi Kopi - Ruang Berbagi.
Meski berasal dari dua undangan yang berbeda, namun akibat tanggal diskusi yang berdekatan, saya merangkumnya dalam satu kegiatan bernama "Gerilya Filsafat" - terinspirasi oleh Kang Ary Juliyant, musisi, yang menyebut proyek musik kelilingnya dengan istilah "Gerilya Musik" -. Atas gerilya dua hari yang menyenangkan tersebut, saya akan menuangkannya dalam catatan-catatan berikut ini:
Hari Pertama
Waktu: Selasa, 1 Mei 2018
Forum: Ngobrol Sambil Ngopi
Tema: Kita, Cita, dan Kota
Tempat: Agano Coffee, Jalan Daan Mogot no. 17, Kota Tangerang
Tangerang adalah kota yang agak asing bagi saya. Saya tidak pernah betul-betul ingat berapa kali pernah ke Tangerang. Tentu saja, kunjungan yang jarang itu semuanya tidak ada hubungannya dengan kegiatan filsafat. Maka itu agak mengejutkan ketika seorang kawan, Topik Mulyana, mengajak untuk datang ke Tangerang demi sebuah forum filsafat. Pikiran stereotip saya bertanya-tanya dengan kejam: "Mungkinkah di Tangerang, ada filsafat?"
Padahal pertanyaan tersebut, saya sadari, bodoh sekali. Sekitar tiga atau empat tahun silam di Pangkalpinang, saya meletupkan stereotip serupa dan ternyata salah. Ada satu kafe bernama Manifesto yang mana pemiliknya menyimpan buku-buku Sartre dan Nietzsche. Saya diperbolehkan untuk makan minum sepuasnya di sana sebagai bentuk "persahabatan filsafat" yang notabene jarang.
Baiklah, itu intermezzo saja dan mari kembali ke Tangerang. Di sebuah tempat bernama Agano Coffee, ternyata sudah duduk sekitar lima belas sampai dua puluh orang ketika saya datang. Topik, yang bertindak sebagai moderator, tidak banyak basa-basi untuk langsung membuka forum dan menyengat para peserta untuk merenungkan kota dan segala isinya.
Setelah itu ia menyerahkan forum pada saya agar memantik mereka lebih lanjut. Premis-premis saya tentang kota mungkin tidak terlalu aneh. Umumnya terkait dengan misalnya, kota memungkinkan warganya menjadi teralienasi oleh tujuan-tujuan yang dirumuskan secara ilusif seperti kesuksesan dan kemajuan; orang-orang kota yang begitu asing antara satu dengan yang lainnya sehingga muncul ungkapan "sendiri di tengah keramaian"; hingga kota yang pandai membuat apa yang profan menjadi sakral (misal: membuat mal menjadi "tempat ibadah") dan sebaliknya, sakral menjadi profan (misal: bioskop yang memutar film horor). Selain itu, kota juga punya ciri lain seperti dekat dengan kekuasaan dan pusat ekonomi, mempunyai ruang publik sebagai upaya meleburkan heterogenitas warga kota, serta lebih "visual" dalam arti artifisial - banyak objek gemerlap yang memanjakan mata -.
Diskusi yang dimulai agak larut (sekitar pukul 20) itu berlangsung hidup dan ramai. Hampir setiap yang hadir dipaksa bicara oleh sang moderator. Pendapat-pendapat bersilangan dan bermuara pada satu hal: Bahwa membicarakan kota, adalah juga membicarakan kapitalisme. Kota adalah uang dan segala penghambaan terhadapnya. Kota adalah surga bagi segala cita-cita - yang tidak peduli apakah kelak dapat dicapai atau tidak -.
Sejujurnya, saya kagum sekaligus harus dengan forum tersebut. Topik, ketika ditanya mengapa forum ini dimulainya malam sekali, menjawab, "Kebanyakan dari kami harus menunggu jam pulang kantor. Pada jam pulang kantor tersebut, Tangerang akan sangat macet karena kita tahu, ini adalah kota industri. Paling realistis adalah memulai kegiatan pukul delapan." Betapa mereka sangat bersemangat untuk diskusi filsafat, meski forum semacam ini tidak punya tempat dalam konstelasi kapital. Untuk hadir ke diskusi, ada uang yang terbuang untuk bensin, ada tenaga yang terbuang yang harusnya dipakai untuk mencari uang, dan ada waktu yang terbuang yang harusnya dipakai untuk hal yang lebih bermanfaat secara ekonomi. Hanya ada yang tidak dimengerti oleh kapitalisme dan antek-anteknya, bahwa manusia juga perlu menjalani hal-hal yang absurd dan "tidak berguna", dalam bentuk renungan dan refleksi tentang apakah hidup ini layak dijalani atau tidak.
Saya pulang ketika jam sudah lewat pukul sepuluh. Harusnya saya menutup diskusi dengan permainan gitar klasik, tapi apa daya senar putus di tengah jalan. Mungkin oleh cuaca panas.
Hari Kedua
Waktu: Rabu, 2 Mei 2018
Forum: Diskusi Rabuan
Tema: Kritik atas Mazhab Frankfurt
Tempat: Diskusi Kopi - Ruang Berbagi, Jalan Halimun Raya no. 11B, Setiabudi, Jakarta Selatan
Diskusi Rabuan yang diinisiasi oleh Gereja Komunitas Anugerah bukan forum yang asing bagi saya. Ini tahun ketiga saya terlibat, setelah sebelumnya mengisi di Thamrin Residence tentang filsafat Albert Camus (2016) dan di Kedai Tempo membahas hubungan Islam - Kristen di Indonesia dengan pendekatan fenomenologi agama (2017). Pada kesempatan ini, kawan baik saya, Suar Budaya, mengajak untuk mendiskusikan tentang kritik atas mazhab Frankfurt. Tentu saja, ini agak sulit karena kita tahu, mazhab Frankfurt adalah kelompok neo-marxisme yang justru lekat dengan predikat kritikus. Bagaimana agar kita bisa mengritik para pengritik?
Bertempat di Diskusi Kopi - Ruang Berbagi, Diskusi Rabuan kemarin dihadiri sekitar lima belas orang. Kata Suar, biasanya yang datang lebih banyak dari ini. Tapi berhubung hari sebelumnya mereka turun ke jalan untuk jadi bagian dari May Day, maka beberapa diantara mereka kemudian terlalu kelelahan untuk hadir ke Diskusi Rabuan. Diskusi tetap berjalan dengan direkam agar dapat ditayangkan secara langsung di saluran Facebook.
Pada kesempatan ini, saya mencoba menyajikan satu pengalaman konkrit terkait kepanitiaan di festival kesenian kota bernama Seni Bandung #1. Apa relevansinya? Festival tersebut mengusung ide estetika partisipatoris yang membuat seniman tidak lagi menjadi kreator tapi lebih ke arah organisator sehingga karya yang dihasilkan kemudian menjadi karya bersama antara seniman dan juga publik atau partisipan. Rupanya, konsep partisipatoris (dan penyelenggaraan festival kota itu sendiri) mendapat kritik cukup keras dari sejumlah kelompok dan aktivis yang notabene menggunakan argumen marxisme dan neo-marxisme. Secara spesifik, kritik itu misalnya terkait dengan kecurigaan bahwa pemerintah, melalui para seniman yang ditunjuk jadi panitia, kemudian menjadi Ideological State Apparatuses (ISA) seperti yang dikatakan Louis Althusser. Acara festival ini, menurut kritik tersebut, adalah upaya pemerintah Kota Bandung untuk mengaburkan penggusuran yang waktu itu tengah marak terjadi, untuk diselubungkan atas nama estetika.
Kritik tersebut kemudian direalisasikan dalam sebuah forum yang digelar di sebuah galeri seni rupa. Jawaban-jawaban saya terhadap kritik tersebut yang kemudian jadi bahan pemaparan di Diskusi Rabuan kemarin karena saya anggap itu, sedikit banyak, merupakan bentuk kritik terhadap marxisme dan juga neo-marxisme juga. Kritik itu antara lain adalah sebagai berikut: Marxisme ataupun neo-marxisme terlalu melihat segala sesuatu terpolarisasi, padahal ada jalinan rumit diantara borjuis itu sendiri, plus proletar itu juga; adanya reduksionis berlebihan bahwa segala sesuatunya "tidak lebih daripada" (dampaknya, fenomen A selalu dilihat tidak lebih daripada fenomen B dengan tidak melihat fenomen sebagai apa adanya ia); dan dalam konteks seni, terlalu melakukan simplifikasi dalam melihat mana seni untuk seni (art for art) dan seni untuk rakyat (dalam terminologi kiri biasa disebut dengan aliran realisme sosialis - meski tidak semua seni untuk rakyat dapat dikatakan sebagai realisme sosialis-).
Seperti biasanya, Diskusi Rabuan memang lebih memeras otak dan keringat karena pembicaraan dilakukan dengan term filsafat yang cukup ketat. Nama-nama seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, hingga Jurgen Habermas berseliweran dalam pembahasan. Berbeda dengan forum filsafat di Tangerang, Diskusi Rabuan memang, dalam pandangan saya, cukup ingin membawa filsafat dalam konteks yang lebih "kanonik" dalam arti menempatkan term pemikiran dan ketokohan, berdasarkan teks yang cukup ketat. Diskusi Rabuan ingin menekankan tidak sekadar "diskusi yang filosofis", tapi juga diskusi dengan melihat filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu juga.
Sesi Diskusi Rabuan ditutup seperti biasa, dengan foto bersama. Berakhirlah dua hari gerilya filsafat ini. Rupanya demikian adanya, bahwa di kota, dengan segala kepenatannya, masih ada segelintir orang yang mau menyelamatkan akal sehat, dengan cara berfilsafat. Mereka mau untuk sejenak mengambil jarak dari keseharian untuk memeriksa ulang baik hidupnya sendiri maupun kehidupan secara keseluruhan.
Comments
Post a Comment