Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa. Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian. Tubuh adalah ...
Ditulis untuk kegiatan diskusi Moro Referensi di UNISBA, 9 April 2018.
Masifnya perkembangan media baru (new media) dalam satu hingga dua dekade belakangan ini, telah membuat ketergantungan baru bagi kehidupan manusia kontemporer. Demikian tergantungnya, hingga sudah menjadi semacam kebutuhan primer (anak “zaman now” pernah mengibaratkan kebutuhan itu dalam ekspresi “sandang, pangan, colokan” alih-alih ekspresi lama yaitu “sandang, pangan, papan” - menunjukkan bahwa keterhubungan daring lebih penting dari mempunyai tempat tinggal -).
Demikian tergantungnya, hingga masyarakat hari ini menganggapnya sebagai apa yang dikatakan Martin Heidegger sebagai “perpanjangan tubuh” kita sendiri. Misalnya, Kita sudah menganggap media sosial sebagai dunia sosial kita yang hakiki, kita sudah menganggap obrolan melalui Whatsapp sebagai obrolan yang hakiki, kita sudah menganggap menyaksikan representasi pertunjukan via Youtube adalah pengalaman menghadiri live performance secara hakiki.
Mungkin perasaan-perasaan itu ada benarnya dan menunjukkan suatu fenomena kontemporer yang tak terbantahkan. Namun ada baiknya juga untuk sejenak mengambil jarak dari apa yang sudah terlanjur mundan ini, agar persoalan media baru dapat kembali terpetakan.
Berikut adalah butir-butir yang dapat penulis sampaikan terkait pembacaan terhadap fenomena media baru. Butir-butir ini merupakan kombinasi dari pengalaman konkrit dan juga abstraksi pemikiran atas apa yang terjadi hari-hari ini:
1.Youtuber dan “Monetisasi Moral”
Seiring dengan berkembangnya media baru, telah muncul juga “cita-cita baru” seperti menjadi youtuber atau orang yang menjadi populer dan mempunyai uang dari mengisi konten di Youtube. Di Indonesia, kita bisa menemukan contoh terbaiknya pada sosok Awkarin, Anya Geraldine, dan Younglex yang mencapai popularitasnya lewat konten di Youtube dan Instagram. Persoalannya, Awkarin, Anya Geraldine, dan Younglex mendapat viewers yang banyak tidak melulu lewat konten yang positif dalam ukuran moral masyarakat “kebanyakan” - terutama di Indonesia -. Tiga orang tersebut mencitrakan diri sebagai remaja “apa adanya” yang kemudian mencitrakan diri dalam kebebasan bertindak berupa keterbukaan terhadap seks bebas dan umpatan kasar.
Ada sejumlah karya musik yang mereka hasilkan (terutama untuk Awkarin dan Young Lex) tapi kira-kira dengan produksi dan kualitas seadanya. Namun hal-hal terkait proses serta luaran tidak terlalu jadi bahan pertimbangan bagi mereka-mereka ini. Hal yang lebih penting adalah total jumlah viewers yang kemudian dapat dimonetisasi - dan ini tidak ada kaitannya dengan jumlah dislike yang lebih besar dari like -. Dapat dikatakan bahwa para youtuber tersebut mendapat puluhan juta (bukan per bulan, konon, per hari!) melalui hal-hal yang sifatnya sensasional, menarik perhatian, dan malah mengundang hujatan. Dalam bahasa yang lebih pragmatik, mereka sukses mengonversi hujatan menjadi uang.
Pertanyaan: Masih adakah moral baik - buruk yang relevan dalam konteks monetisasi via media sosial? Atau segala sesuatunya akhirnya diukur secara pragmatik saja lewat seberapa besar uang yang bisa diraup lewat jumlah viewers? Tidak adakah semacam upaya untuk mengatur konten agar setidaknya jumlah viewers diperoleh secara “halal”? Atau konten yang “baik” akan selamanya tidak menarik jumlah penonton?
Dalam bulan-bulan belakangan ini, popularitas Awkarin mulai menarik merk-merk besar untuk dipromosikan. Kemudian terjadi perubahan serius dalam konten media sosial miliknya terutama di instagram. Awkarin menjadi lebih santun dan menjaga sekali sikapnya (berbeda sekali dari tahun-tahun sebelumnya). Hal tersebut diduga disebabkan oleh menempelnya ia dengan merk besar sehingga harus mencitrakan diri secara lebih baik dan tidak demikian bertentangan dengan moral umumnya masyarakat. Apa artinya konten kemudian bisa ditertibkan lewat monetisasi yang lain?
2.Whatsapp dan Dunia Akademik
Whatsapp menjadi media percakapan yang cukup marak dalam tiga sampai lima tahun belakangan ini menggantikan era SMS yang juga sempat merajai komunikasi ponsel. Dalam dunia akademik, komunikasi dosen dan mahasiswa melalui Whatsapp menjadi tidak terhindarkan. Komunikasi dengan menggunakan teks, bagaimanapun, kerap menimbulkan tafsir hermeneutik yang beragam. Maka itu, di sebuah kampus, terdapat standing banner yang berisi tentang “etika mengirimkan Whatsapp pada dosen (bagi mahasiswa)” yang fotonya cukup menjadi viral. Beberapa butir dalam banner tersebut antara lain adalah sebagai berikut: ucapkan salam pembuka, ingat waktu dalam mengirim pesan, ucapkan terima kasih, perkenalkan diri kembali, jangan menyingkat kata, dan sebagainya. Akibat keviralan foto tersebut, berbagai reaksi kemudian timbul (terutama di kalangan dosen). Ada yang menganggap hal demikian bagus sekali untuk menjaga kesopanan namun ada juga yang melihat hal tersebut sebagai bentuk “feodalisme digital”.
Pertanyaan: Jika ditarik ke wilayah yang lebih abstrak, apakah benar etika semacam itu diperlukan dalam menjaga hubungan sosial dalam konteks digital? Apakah pengaturan dalam dunia digital artinya bertentangan dengan prinsip dunia digital itu sendiri yang konon lebih terbuka, egaliter, dan bahkan anonim? Kembali ke konteks akademik di atas, bagaimana jika mahasiswa kemudian menerapkan secara seragam etika tersebut? Tidakkah hubungan sosial kemudian malah menjadi kaku dan menghindarkan hubungan dosen dan mahasiswa dari perkenalan yang lebih natural? Tapi bagaimana jika etika tidak diatur sama sekali, apakah secara “anarki” akan terbentuk etika secara mandiri yang disuling dari dinamika dunia digital itu sendiri?
3.Instagram dan Kreasi Konten
Instagram menjadi salah satu media sosial yang digemari belakangan ini. Alasannya mungkin karena fokusnya yang langsung pada visual (baca: foto dan video) sehingga dengan mudah memeroleh atensi. Belakangan pengguna instagram kian menunjukkan kreativitasnya misalnya dengan fitur grids (berbagai foto kecil disambung menjadi besar), pemanfaatan video satu menit dengan berbagai konten yang disesuaikan, sampai fitur instastory untuk kegiatan promosi hingga bisnis.
Pertanyaan: Apakah para penemu dan tim pengembang Instagram sudah memikirkan tentang kreativitas tersebut atau hal-hal berikut murni merupakan kreasi para pengguna?
Jika ternyata yang kedua, maka betapa menarik bagaimana para pengguna dapat melakukan sesuatu melebihi dari fungsi yang ditentukan oleh para kreator. Ini menunjukan bahwa ekspresi dari para pengguna pada dasarnya tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat yang disediakan oleh fitur dalam media sosial itu sendiri. Sebagai contoh, pada Twitter yang sudah membatasi diri pada 140 karakter, ternyata terdapat sejumlah pengguna yang dengan kreatif menyampaikan ide melalui “kultwit” atau “kuliah Twitter”. Dengan demikian, Twitter yang semestinya hanya untuk ungkapan-ungkapan singkat, menjadi dapat digunakan untuk ide-ide panjang.
Sempat terdapat perdebatan kecil apakah hal demikian tersebut dibolehkan atau tidak. Ada kubu yang mengatakan bahwa seyogianya setiap media sosial sudah mempunyai peruntukannya sendiri, misal: Twitter untuk ungkapan singkat, Instagram untuk gambar-gambar, E-mail untuk konten yang agak serius, Blog untuk catatan panjang, dan sebagainya. Namun ada juga kubu yang mengatakan bahwa sekat-sekat itu sama sekali tidak ada. Justru hal yang menarik adalah seluruh media sosial bisa saling tukar peruntukkan secara bebas tanpa ada keharusan.
4. Fenomena Start-Up
Penulis sempat mencari apa padanan start-up dalam bahasa Indonesia. Ternyata, tidak bisa begitu saja diterjemahkan dengan kata wirausaha. Start-up berbeda dengan “wirausaha biasa” karena melekat di dalamnya sejumlah stereotip yang terkait dengan fenomena kontemporer. Misalnya, start-up terkait dengan jumlah orang yang sedikit, generasi cenderung dari kalangan milenial, gaya berpakaian yang santai, jam kerja yang fleksibel, modal yang relatif kecil, kantor yang fleksibel dengan dekorasi yang lebih berwarna hingga pola organisasi yang cenderung egaliter. Selain itu, yang paling menjadi kunci adalah kenyataan bahwa start-up umumnya beririsan dengan dunia digital.
Pertanyaan: Apakah digitalisasi hanya sebatas pergeseran dalam teknologi, atau bahkan lebih daripada itu, juga pergeseran dalam hal kebudayaan sampai ke pandangan dunia (world view)? Benarkah digitalisasi telah menciptakan suatu etika-etika baru dalam bisnis sehingga terjadi diferensiasi serius antara bisnis konvensional dan start-up?
5. Tiongkok dan Tembok Besar Digital
Penulis pernah berkunjung ke Guangzhou, Tiongkok pada akhir tahun 2016 dalam rangka kegiatan seni rupa. Pada kedatangan tersebut, penulis sadar bahwa di Tiongkok, Instagram, Facebook, Twitter, Youtube, Line, dan Google (termasuk Gmail dan Gmap) sama sekali tidak bisa diakses. Begitu sulitnya diakses hingga pertahanan sistem TIongkok dijuluki dengan “The Great Firewall of China”. Namun apakah masyarakatnya menjadi sengsara oleh sebab ketidakmampuan mengakses segala itu? Tidak juga dan bahkan terlihat lebih maju dari masyarakat kita secara umum - setidaknya dari segi ekonomi -.
Pemerintah Tiongkok sendiri menyediakan sejumlah fitur pengganti seperti Baidu untuk menggantikan Google dan WeChat untuk menggantikan Line. Masyarakat Tiongkok - setidaknya dari yang penulis temui - tampak puas-puas saja dengan aplikasi-aplikasi tersebut dan tidak terlalu kelihatan upaya untuk mencari celah agar bisa mengakses Instagram, Twitter, dan lain-lain. Intinya, kebebasan akses digital dan media baru di Tiongkok jauh di bawah negara kita. Tapi bagaimana kita melihat hasil akhirnya? Tentunya ada perbedaan yang kelihatan jelas oleh mata dari segi pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia.
Pertanyaannya: Apakah akses digital dan media baru yang terlampau terbuka seperti di Indonesia justru akan menciptakan komparasi tiada henti dan malah menimbulkan dampak inferioritas? Sebaliknya, apakah akses digital dan media baru yang tertutup seperti di Tiongkok justru mampu membuat masyarakatnya fokus saja dalam berkontribusi secara internal?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga bisa jadi membawa kita pada renungan tentang muatan informasi yang berlebihan bisa jadi malah membuat penerimanya tidak mampu memutuskan apa-apa secara krusial. Berkaca dari kasus Tiongkok, pelbagai hakikat tentang media baru dapat kita pertanyakan ulang terutama terkait dengan etika dan kebebasan.
Comments
Post a Comment