Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Rahim dan Alam Semesta


 
Ditulis tahun 2013 untuk buku bunga rampai berjudul Mom, The First God that I Knew.

Istri, saat saya tengah menuliskan ini, sedang dalam perjalanannya untuk menjadi seorang ibu. Ia tengah dalam masa hamil dan memasuki bulan ke sembilan. Namun jika ditanya, sudah siapkah menjadi ibu? Ia selalu menjawab sudah, karena saya sudah menjadi ibu. Sejak kapan? Anaknya saja belum lahir. Oh, tidak, kamu salah, saya sudah jadi ibu sejak anak itu berada dalam kandungan.
 
Mungkin tidak rasional sama sekali jika saya jelaskan pada kamu bagaimana istri saya selalu bicara dengan jabang bayi di perutnya hampir dalam setiap gerak-geriknya. Ia bicara dengan nada suara penuh kasih sayang yang biasa kita dengarkan dari seorang ibu pada anaknya. Meski belum bertemu, ia sering mengusapi perutnya dengan halus dan berkata, Mami kangen, ingin jumpa.  Saya kadang-kadang sering ketus dengannya dengan mengatakan, Memang dia bisa dengar?

Tapi dunia ini menjadi bengis oleh berbagai rasionalitas laki-laki. Karena ketika kita memahami lebih dekat, lebih intim, sungguh apa yang dilakukan oleh istri saya terhadap jabang bayi di perutnya adalah melampaui rasionalitas. Ucapan seorang ibu terhadap anaknya adalah energi damai yang menjadi inti dari kehidupan alam semesta. Seolah-olah seluruh galaksi dan segala keteraturannya ada dalam rahim seorang perempuan ketika dia mengandung. Semuanya baik, semuanya harmoni, sebelum nalar dan ambisi seorang laki-laki menjadikan dunia ini penuh agresi.

Suatu hari Gibran pernah berkata, Jika kamu memahami perempuan, kamu akan lebih paham alam semesta. Saya tidak mengerti arti perkataan ini sampai akhirnya berulangkali mendengarkan tiada henti bagaimana sang istri berbicara pada anaknya di dalam kandungan. Sekarang mungkin saya mengerti ucapan Gibran, bahwa dunia ini ditata oleh cinta. Cinta membuat segala sesuatu bertindak sesuai fitrahnya. Mungkin kamu tahu bagaimana nasihat-nasihat seorang ibu seringkali ditolak oleh jiwa muda kita karena tidak masuk akal sama sekali dan terlalu berlebihan. Tapi seorang ibu bicara atas nama alam semesta, ia tidak bicara oleh nalarnya. Ia tahu mana yang baik dan benar oleh sebab rahimnya pernah terhubung dengan dada sang bumi. Namun yang membuatnya miskin adalah kata-kata dan pikiran, yang oleh laki-laki diagung-agungkan.

Sekarang saya katakan kepada kamu sebagai seorang laki-laki kepada seorang laki-laki: Kamu tidak perlu susah-susah mencari kesana kemari untuk memahami arti dunia ini. Cukup pahami perempuan, satu orang saja, secara baik. Disana kamu akan menemukan siapa Tuhan, siapa kebenaran, dan siapa itu diri.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat