Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Anies Baswedan dan Akechi Mitsuhide


 
Masa kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta memang baru sebentar. Namun kritik tajam yang dialamatkan tidak kunjung berhenti. Anies seperti bingung bagaimana cara memimpin Jakarta, terlebih lagi dibayang-bayangi oleh pemerintahan sebelumnya yang cukup keras, tegas, dan memberikan sejumlah perubahan signifikan. Kebingungan Anies memang sedikit banyak sudah diprediksi dari sebelum naik jabatan. Anies, tanpa punya latar belakang birokrasi yang cukup, tiba-tiba mencalonkan diri menjadi gubernur setelah sebelumnya lebih dikenal berkecimpung di dunia pendidikan. Naiknya Anies juga ditandai oleh sejumlah isu intoleran yang menyerang calon gubernur incumbent, Ahok. Ahok - yang berlatarbelakang Tionghoa dan Kristen -, diserang habis-habisan lewat mobilisasi massa besar-besaran yang lebih terlihat sebagai sebuah aksi politik daripada agama. 

Detail kejadian itu, kita semua sudah tahu. Tidak perlu dipaparkan lebih lanjut. Hanya saja telikung politik semacam ini sebenarnya sangat klasik. Begitu klasiknya hingga saya ingat sebuah bab dalam buku Taiko karya Eiji Yoshikawa yang berjudul Lima Puluh Tahun di Bawah Langit. Novel sejarah yang bercerita tentang Jepang di abad ke-16 ini, salah satunya mengisahkan tentang sosok Oda Nobunaga, daimyo (pemimpin samurai) yang masa itu sangat berkuasa - dikenal dengan karakternya yang tegas sekaligus brutal -. Kematian Nobunaga dapat dikatakan tragis: Ia dikhianati oleh salah seorang anak buah terbaiknya, Akechi Mitsuhide, yang sebelumnya ia andalkan sebagai sosok yang cerdas dan penuh perhitungan. 

Mengapa Mitsuhide membelot? Ada banyak versi. Namun versi yang paling umum adalah alasan sakit hati. Mitsuhide tersinggung oleh kata-kata Nobunaga dalam suatu peristiwa, hingga merasa suatu hari harus membunuhnya. Tidak sulit bagi Mitsuhide untuk menyerang Nobunaga di pagi hari, ketika majikannya tersebut masih tertidur dan tiada seorangpun pengawalnya yang curiga. Singkat cerita, Mitsuhide bersama pasukannya berhasil membunuh Nobunaga dan membuat Kuil Honno - kediaman Nobunaga - terbakar hebat. Keberhasilan ini membuat Mitsuhide dielu-elukan pasukannya. Mereka meneriakkan nama Mitsuhide sebagai suksesor Nobunaga dalam memimpin negeri. Namun puja puji itu ia tanggapi dengan suara hati yang sangat menyedihkan:

"Apa yang kauinginkan? Berkali-kali Mitsuhide mengulangi pertanyaan itu dalam benaknya. Memimpin negeri! terngiang-ngiang di telinganya, tapi bunyinya sungguh hampa. Ia terpaksa mengakui bahwa ia tak pernah memeluk harapan sedemikian tinggi, karena tidak memiliki ambisi maupun kemampuan untuk itu. Sejak semula ia hanya mempunyai satu tujuan: membunuh Nobunaga. Keinginan Mitsuhide telah terpuaskan oleh kobaran api di Kuil Honno, dan yang tersisa kini hanyalah nafsu tanpa keyakinan."

"... Begitu Nobunaga berubah menjadi abu, kebencian yang membekukan hati Mitsuhide pun larut seperti salju mencair."

Suara hati Mitsuhide mungkin mewakili suara hati Anies (mungkin saja, jika menggali sangat dalam). Ia melakukan telikung politik tidak dalam rangka yakin akan kapabilitas dirinya dalam menjadi gubernur. Motifnya (atau motif partainya) adalah hanya dalam rangka membuat Ahok tidak bisa menang di pemilihan. Saat Ahok tumbang, mungkin ada sebersit nuraninya yang bertanya-tanya: Apakah iya ini keinginan saya? Apakah iya saya pantas menjadi gubernur menggantikan Ahok?  Ada kesamaan cukup penting antara karakter Anies dan Mitsuhide. Keduanya sama-sama orang cakap dan cerdas. Namun itu bukan berarti ia punya karakter memimpin. Terkadang seorang pemimpin bukan perkara ia cakap atau cerdas, tapi juga punya kemampuan mengambil keputusan yang cepat dan tegas. 

Balas dendam dan motif kebencian memang seringkali mengaburkan hubungan antara kompetensi dan posisi. Hal-hal sangat personal semacam ini pada akhirnya dapat merugikan orang banyak.

Comments

  1. Keren gan artikelnya, memang mirip sih ya. cuma bedanya satu lengser satu dibunuh

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat