(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Gambar diambil dari sini. |
Dalam film dokumenter tentang Jacques Derrida, pemikir kontemporer Prancis tersebut mengungkapkan pikirannya mengenai masa depan di bagian pembuka film:
“In general, I try and distinguish between what one calls the Future and “l’avenir” [the ‘to come]. The future is that which – tomorrow, later, next century – will be. There is a future which is predictable, programmed, scheduled, foreseeable. But there is a future, l’avenir (to come) which refers to someone who comes whose arrival is totally unexpected. For me, that is the real future. That which is totally unpredictable. The Other who comes without my being able to anticipate their arrival. So if there is a real future, beyond the other known future, it is l’avenir in that it is the coming of the Other when I am completely unable to foresee their arrival.”
Saya tidak terlalu paham dengan apa yang dikatakan Derrida, hingga sejak tiga bulan terakhir ini mulai menjalani hidup serabutan. Pada sekitar bulan Mei kemarin, saya mengajukan surat pengunduran diri ke institusi yang sudah menghidupi saya selama lebih dari tiga tahun. Dengan demikian, sambil mencari-cari pelabuhan baru, saya mencoba macam-macam cara untuk mendapatkan uang seperti banyak memperbaharui blog agar traffic-nya meningkat (sehingga bisa punya pemasukan dari AdSense), menjadi kontributor untuk situs olahraga dan gaya hidup, membuka kursus gitar di rumah sendiri, hingga mendaftarkan diri jadi pengemudi taksi online. Keseluruhan upaya tersebut saya lakukan sambil tetap mencari kemungkinan untuk menjadi dosen lagi di institusi yang baru.
Pada perjalanan itulah, saya menemukan banyak orang yang tidak terduga. Orang-orang yang seperti kata Derrida, kedatangannya tidak bisa saya antisipasi. Misalnya, tiba-tiba hadir seseorang yang meminta saya untuk menjadi penulis di situsnya. Meski bayarannya relatif kecil, tapi kehadiran orang ini tiba-tiba datang begitu saja. Menyeruak di tengah hari yang bolong. Lalu di hari lain datang SMS dari perusahaan taksi online, yang meminta saya datang di suatu hari dengan menggunakan baju rapi dan membawa persyaratan. Lalu ada juga tawaran mengajar di kafe, hingga bermain gitar di depan Presiden Jokowi. Sampai akhirnya bertemu Romo Fabianus Heatubun, yang dengan senang hati menerima jika saya mau mengajar di almamater, Universitas Katolik Parahyangan. Sampai akhirnya bertemu Pak Dicky Rezadi Munaf, yang hanya meminta waktu dua menit presentasi, untuk kemudian bertanya, "Maukah mengajar di sini, di ITB?"
Orang-orang itulah yang mungkin menurut Derrida digolongkan sebagai bagian dari "l'avenir". Berbeda dengan situasi ketika saya masih bekerja tetap. Segalanya terlalu terprediksi: Saya tahu kira-kira akan dapat berapa setiap bulan, ada tambahan berapa di musim tertentu, hingga dana kesehatan dan pensiun pun sudah disiapkan. Menyenangkankah hidup berbasis "futur" yang semacam itu? Tentu saja. Umumnya dari kita memang mengincar hidup yang ajeg dan pasti bahkan hingga mati nanti. Alangkah rumitnya jika kita terus berharap bagaimana hidup hari ini dengan menunggu siapa yang hadir secara tiba-tiba dalam konsep "l'avenir" yang disebutkan oleh Derrida.
Tapi bagi saya pribadi, ada perasaan spiritual yang berbeda ketika hidup dalam dua konsep masa depan yang berbeda itu -"futur" dan "l'avenir"-. Pada hidup yang bersandar pada kepastian, saya kadang merasa ada sisi keimanan yang kurang. Begitu tidak yakinnya saya pada kehidupan, sehingga harus menggantungkan diri pada hitung-hitungan manusia. Sedangkan pada hidup yang tidak jelas dan serabutan, ada suatu keyakinan yang harus dibawa penuh setiap hari: Bahwa kehidupan akan memberkati saya hari ini. Kehidupan akan mempertemukan saya dengan orang tak terduga yang akan membawa saya ke tempat-tempat yang juga tak terduga. Hanya dengan melepaskan seluruh kepastian itulah, kehidupan akan mendorong kita pada konsep "l'avenir". Masa depan yang sebenarnya.
Pada perjalanan itulah, saya menemukan banyak orang yang tidak terduga. Orang-orang yang seperti kata Derrida, kedatangannya tidak bisa saya antisipasi. Misalnya, tiba-tiba hadir seseorang yang meminta saya untuk menjadi penulis di situsnya. Meski bayarannya relatif kecil, tapi kehadiran orang ini tiba-tiba datang begitu saja. Menyeruak di tengah hari yang bolong. Lalu di hari lain datang SMS dari perusahaan taksi online, yang meminta saya datang di suatu hari dengan menggunakan baju rapi dan membawa persyaratan. Lalu ada juga tawaran mengajar di kafe, hingga bermain gitar di depan Presiden Jokowi. Sampai akhirnya bertemu Romo Fabianus Heatubun, yang dengan senang hati menerima jika saya mau mengajar di almamater, Universitas Katolik Parahyangan. Sampai akhirnya bertemu Pak Dicky Rezadi Munaf, yang hanya meminta waktu dua menit presentasi, untuk kemudian bertanya, "Maukah mengajar di sini, di ITB?"
Orang-orang itulah yang mungkin menurut Derrida digolongkan sebagai bagian dari "l'avenir". Berbeda dengan situasi ketika saya masih bekerja tetap. Segalanya terlalu terprediksi: Saya tahu kira-kira akan dapat berapa setiap bulan, ada tambahan berapa di musim tertentu, hingga dana kesehatan dan pensiun pun sudah disiapkan. Menyenangkankah hidup berbasis "futur" yang semacam itu? Tentu saja. Umumnya dari kita memang mengincar hidup yang ajeg dan pasti bahkan hingga mati nanti. Alangkah rumitnya jika kita terus berharap bagaimana hidup hari ini dengan menunggu siapa yang hadir secara tiba-tiba dalam konsep "l'avenir" yang disebutkan oleh Derrida.
Tapi bagi saya pribadi, ada perasaan spiritual yang berbeda ketika hidup dalam dua konsep masa depan yang berbeda itu -"futur" dan "l'avenir"-. Pada hidup yang bersandar pada kepastian, saya kadang merasa ada sisi keimanan yang kurang. Begitu tidak yakinnya saya pada kehidupan, sehingga harus menggantungkan diri pada hitung-hitungan manusia. Sedangkan pada hidup yang tidak jelas dan serabutan, ada suatu keyakinan yang harus dibawa penuh setiap hari: Bahwa kehidupan akan memberkati saya hari ini. Kehidupan akan mempertemukan saya dengan orang tak terduga yang akan membawa saya ke tempat-tempat yang juga tak terduga. Hanya dengan melepaskan seluruh kepastian itulah, kehidupan akan mendorong kita pada konsep "l'avenir". Masa depan yang sebenarnya.
Comments
Post a Comment