(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
(Ditulis sebagai pengantar kuratorial untuk pameran Aci Andryana di Sekolah Tinggi Desain Indonesia, 29 Agustus 2017)
Dalam esai berjudul Cock Fight and The Balinese Male Psyche yang ditulis oleh Arthur Asa Berger pada tahun 2007, disebutkan bahwa aktivitas adu ayam di Bali tidak hanya mempunyai aspek hiburan saja. Bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pertunjukkan tersebut, terdapat dimensi lain seperti sosial, religius, hingga seksualitas yang juga turut berperan. Terkait dengan yang disebutkan terakhir, dalam penelitian Berger, secara spesifik disebutkan bahwa adu ayam secara tersirat mengandung glorifikasi atas maskulinitas. Ada kebanggaan yang besar bagi pemilik ayam, ketika ayamnya dielu-elukan oleh para penonton. Pun ketika darah mulai bermuncratan dalam pertarungan, ada semacam kepuasan yang disebut Berger sebagai “orgasme psikologis”.
Adu ayam dengan adu domba tentu tidak sedemikian jauh berbeda. Pada dasarnya, keduanya punya fungsi yang sama dalam menyalurkan hasrat dan memupuk ego laki-laki. Aci Andryana, yang punya ketertarikan khusus terhadap pertunjukkan adu domba, kemudian mencoba menangkap dan memanifestasikan segala emosi yang timbul lewat sejumlah karya rupa dengan teknik digital. Aci memberi judul pamerannya dalam sebuah kata yang kuat – mencerminkan psyche pria yang paling dasar dan gelap -: Jantan.
Meski hasil akhir karya ini berupa digital, namun sebenarnya terdapat proses analog yang panjang di baliknya. Misalnya, Aci melibatkan teknik sapuan tinta cina dan juga cukil kering (drypoint) dalam beberapa tahapan. Memang kemudian, di tengah-tengah tahapan tersebut, aspek digital selalu disisipkan. Misalnya, dalam hal penggabungan hasil fotografi yang berisi peristiwa adu domba dengan sapuan tinta cina untuk kemudian dipindai agar menjadi suatu komposisi yang unik.
Namun ada proses yang mesti dititikberatkan sebagai sintesa yang penting antara konsep psyche pria yang ada dalam adu domba dengan hasil akhir karya Aci: Kenyataan bahwa Aci, sang seniman, mengerjakan bagian drypoint dengan suatu totalitas emosi yang ditumpahkan – seolah-olah ia ada di dalam peristiwa adu domba: menghayati, menjadi, dan melebur dengan segala dinamikanya-.
Dengan segala proses yang penuh lapis tersebut, mengapresiasi karya-karya digital Aci Andryana dalam pameran Jantan ini ibarat menyaksikan pertunjukkan adu domba dengan segala kenikmatannya. Dalam tataran permukaan tampak sebagai sebuah sajian yang nyaman dan aman, namun di baliknya, ada gejolak yang gelap dan dalam: Manifestasi hasrat laki-laki yang oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, digambarkan sebagai penyuka sejati segala bentuk permainan dan bahaya.
Comments
Post a Comment