(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Menunda Asumsi, Melesapi Peristiwa: Selayang Pandang Konsep Fenomenologi dalam Pandangan Husserl dan Caputo
Pada awal abad ke-20, muncul benih-benih perlawanan terhadap paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan. Cara pandang yang sudah sedemikian lekat sejak era Francis Bacon di abad akhir ke-16 tersebut dianggap tidak mampu menjawab sejumlah permasalahan. Protes mulai bermunculan ketika Auguste Comte, seorang sosiolog Prancis di abad ke-19, menyerukan dengan sangat yakin, bahwa sebagaimana halnya alam yang bisa diprediksi dan dikontrol, manusia pun akan sampai pada tahap yang demikian. Majunya ilmu pengetahuan, bagi Comte, akan membawa manusia keluar dari fase teologis dan metafisik, sehingga masuk ke suatu era yang paling cerah: era positif. Pada titik ini, sederhananya, segalanya menjadi jelas dan bisa dijelaskan, baik fenomena alam maupun fenomena manusia.
Protes tersebut datang dari beberapa kubu. Wilhelm Dilthey misalnya (1833 – 1911), membedakan tegas antara ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften) dan ilmu-ilmu manusia (geisteswissenschahften). Ilmu-ilmu alam, menurut Dilthey, dipahami melalui penjelasan (erklären) sedangkan ilmu-ilmu sosial dipahami melalui pemahaman (verstehen). Artinya, pola penafsiran ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial mesti dibedakan dan tidak bisa dipukul rata seperti positivisme Conte.
Edmund Husserl (1859 – 1938), di wilayah lain, mengajukan konsep fenomenologi untuk menambal lubang-lubang yang tidak bisa ditutup oleh positivisme. Menurut matematikawan Jerman tersebut, dunia pengalaman keseharian manusia yang muncul di dalam dunia-yang-ditinggalinya (lebenswelt) tidak bisa dijelaskan begitu saja oleh positivisme. Harus ada pendekatan baru yang sarat nilai (bukan bebas nilai), (inter) subyektif (bukan obyektif), dan penuh empati (bukan berdiri di luar). Konsep sentral dalam fenomenologi adalah epoché atau tanda kurung. Husserl selalu mengingatkan pentingnya memasukkan segala asumsi-asumsi ke dalam tanda kurung sebagai bentuk penundaan kesimpulan. Makna terdalam, kata Husserl, hanya akan timbul jika kita tidak melihat lewat kacamata yang sudah kita pakai sebelumnya.
Fenomenologi Agama
Pada ranah teologi, kemudian muncul juga istilah fenomenologi agama. Kata “fenomenologi” ini sebenarnya tidak mengacu pada Husserl, tapi pada G.W.F. Hegel yang sudah menggunakannya terlebih dahulu di periode Romantik Eropa. Fenomenologi agama dikembangkan awal mulanya oleh Pierre Daniël Chantepie de la Saussaye (1848-1920), William Brede Kristensen (1867-1953) dan Gerardus van der Leeuw (1890-1950). Inti fenomenologi agama adalah memahami keberbedaan dalam beragama berdasarkan pengalaman-pengalaman personal individu ataupun kelompok yang memeluknya. Meski tidak dilahirkan dari rahim yang sama, namun prinsip epoché tetap ada dalam fenomenologi agama: harus ada proses menunda asumsi dan meletakannya dalam tanda kurung, sehingga fenomena keberagamaan dapat dipahami secara empatik dan inter-subyektik.
Ketimbang dua nama lain, Van Der Leeuw dapat dikatakan sebagai peletak dasar fenomenologi agama yang lebih sistematis – dicurigai karena ia sudah kena terpaan dari Husserl -. Dalam bukunya yang berjudul Religion in Essence and Manifestation: A Study in Phenomenology of Religion, ia menyebutkan langkah-langkah penggalian makna keagamaan, dengan prinsip epoché sebagai sentral. Langkah-langkah itu antara lain: (1) Pengklasifikasian. Termasuk ke dalam apakah fenomena keagamaan yang hendak diketahui, apakah kurban, tempat suci, waktu suci, teks suci, festival, mitos, dan sebagainya. (2) Keterlibatan. Makna hanya bisa dikuak jika kita masuk ke dalam fenomena itu sendiri – menjadi bagian darinya –. (3) Epoché. Menahan asumsi dan menunda kesimpulan tentang fenomena tersebut jangan sampai kita terburu-buru – biarkan fenomena yang “berbicara” tentang dirinya sendiri -. (4) Mencari hubungan fenomena dengan struktur yang lebih besar agar pemahaman kita dapat lebih holistik. Misal: puasa adalah bentuk asketisme yang ada hampir di semua agama besar. (5) Melakukan pendekatan interdisiplin dengan melibatkan tradisi pemikiran lain seperti filsafat, psikologi, antropologi, hingga linguistik agar kompleksitas fenomena dapat diurai dengan jernih.
Fenomenologi Agama John D. Caputo: Tuhan sebagai Yang Lemah dan “Membelum”
John D. Caputo (lahir tahun 1940) adalah filsuf asal Amerika Serikat yang menggeluti teologi dari kacamata posmodernisme. Ia begitu dekat dengan pemikiran filsuf Prancis, Jacques Derrida, terutama mengenai dekonstruksi – beberapa kali juga mereka pernah tampil satu forum -. Pendekatan Caputo sangat erat dengan teologi negatif (apofatik) yang kuat kaitannya dengan prinsip epoché. Teologi negatif, pada dasarnya, merupakan teologi yang mendekati konsep Tuhan dengan “yang bukan” (lawannya adalah teologi positif atau teologi katafatik yang mendekati konsep Tuhan dengan “adalah”).
Ini mungkin bisa kita bayangkan dengan bagaimana seorang peneliti fenomenologi, jika ia sedang berhadapan dengan fenomena, ia harus senantiasa menempatkan asumsi-asumsi ke dalam epoché sambil terus menegasi dengan berkata “yang bukan”. Misalnya, jika menjadikan sendal sebagai objek penelitian fenomenologi, maka peneliti tersebut harus senantiasa membuang asumsi, dan terus menegasi dengan mengatakan bahwa sendal adalah “bukan (semata-mata) alas kaki” dan “bukan (semata-mata) komoditi”. Sendal mungkin punya makna yang lebih daripada itu, jika diselami secara total, misal: ekspresi ritual shalat di Indonesia.
Caputo menawarkan konsep weak theology sebagai implementasi dekonstruksi, teologi apofatik, sekaligus fenomenologi yang menjadi dasar pemikirannya. Ia ingin melihat Tuhan bukan lagi yang Maha Kuat, Maha Absolut, dan Maha Segalanya. Pandangan-pandangan tentang Tuhan harus didekonstruksi menjadi yang lemah, terbatas, dan hanya timbul dari pengalaman-pengalaman partikular – pada titik ini, Caputo mulai masuk pada fenomenologi -. Hanya konsep Tuhan dalam weak theology ini, menurut Caputo, yang bisa relevan dengan peristiwa-peristiwa yang bersifat sementara. Kita akan melihat Tuhan selalu dalam proses “menjadi” dan “membelum” dan seolah-olah kian terdewasakan bersama peristiwa-peristiwa.
Connolly, Peter. 1999. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKIS
Heltzel, Peter Goodwin. 2006. The Weakness of God: A Review of John D. Caputo, Weakness of God: A Theology of The Event. http://www.jcrt.org/archives/07.2/heltzel.pdf
Media Stanford Encyclopedia of Philosophy. Phenomenology. https://plato.stanford.edu/entries/phenomenology/
Van Der Leeuw, Gerardus. 2014. Religion in Essence and Manifestation. New Jersey: Princeton University Press
Comments
Post a Comment