Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Masih Adakah Nuansa Personal Dalam Pusaran Digitalisasi Maaf-Maafan?

Lebaran tahun 1438 Hijriah ini, dunia digital masih dan semakin berkuasa. Nyaris setiap menit (atau bahkan detik), pesan demi pesan masuk ke Whatsapp saya, yang kadang saya baca, tapi umumnya tidak. Kenapa tidak dibaca? Tentu saja, karena pesan itu semua terlihat sama saja. Mungkin ada beberapa yang kreatif - yang menimbulkan senyum kecil, yang membuat saya ingin meneruskan pesan itu - tapi sayang sekali, tidak orisinil. Ia yang saya pikir kreatif itu, juga meniru dari yang lain. 

Tapi dalam dunia kontemporer ini, mungkin orisinalitas adalah isu yang ketinggalan. Semua memproduksi, semua mengonsumsi. Di masa lebaran, kita berada dalam pusaran "digitalisasi maaf-maafan" yang sangat masif, sehingga semua bisa kreatif, semua bisa inovatif, semua bisa merajut kata-kata indah, semua bisa menyuguhkan ragam visual yang estetis, tapi sekaligus: semua menjadi tidak bermakna.

Pada titik ini, kita sudah sulit berbicara "medium is the message"-nya Marshall McLuhan yang mungkin menjadi terlampau romantis. Kemarin-kemarin ini memang ada yang kirimi saya kartu lebaran dan rasanya sangat indah dan personal - meski pesannya sederhana, tidak dirangkai kata-kata manis-: hanya tulisan "Selamat Idul Fitri" dengan tertanda dari si pengirim dengan tulisan tangan. Tapi hampir tidak mungkin kita membudayakan kembali (atau menyuguhkan solusi berupa) kartu lebaran atas nama personalisasi maaf-maafan. Jika sudah ada yang praktis, tentu orang sudah tidak mau lagi kembali ke yang rumit (proses membeli kartu, menuliskan pesan, dan mengirimkan via pos atau gojek). 

Sisa-sisa makna yang masih tinggal di pusaran digital ini barangkali pesan-pesan sederhana yang masuk ke gawai saya, dengan bunyi-bunyi seperti:

"Rip, maaf lahir batinnya, urang rea salah."
"My bro, selamat hari raya Idul Fitri ya."
"Selamat idul fitri untuk Mr. Syarif, mami Aika, Aika dan family. Mohon maaf lahir dan batin."

Dan sebagainya yang punya nuansa personal yang kuat. Mungkin memang diantaranya hanya mengganti subjek yang disapa saja (sedangkan kata-kata berikutnya tinggal copy-paste saja), tapi toh, seperti kata pemikir Neo-Marxisme, Louis Althusser, perbuatan itu sedikitnya telah menciptakan suatu nilai interpelatif atau "keterpanggilan". Artinya, jangan dulu berpikir apakah ketika kita mengirimkan pesan lebaran, orang yang menerima akan memaafkan kita atau tidak. Jauh lebih dasariah daripada itu, patut kita pertanyakan terlebih dahulu: Apakah yang menerima pesan, merasa terpanggil (untuk membaca dan meresapinya) atau tidak.



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...