(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015
Teori Ruang Publik Habermas
Algemene Studie Club
Komunitas kebangsaan yang menjadi fenomena belakangan ini seperti Asian African Reading Club (AARC) dan Api Bandung, sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru. Jauh sebelumnya, puluhan tahun silam, para Bapak Bangsa sudah mendirikan komunitas kebangsaan. Sejarah Republik kita mengenal Budi Utomo, suatu organisasi pemuda yang sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa kedokteran di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Batavia. Pendirian Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 itu sampai sekarang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Meski dianggap sebagai tonggak kebangkitan –salah satunya melahirkan Indische Partij, organisasi politik yang cukup vokal menuntut kemerdekaan Indonesia-, keberadaan Budi Utomo tidak lepas dari tudingan-tudingan miring.
Misalnya, Pramoedya Ananta Toer berkata bahwa Budi Utomo sebenarnya tidak lebih daripada organisasi elitis yang ditujukan untuk orang-orang bersuku Jawa saja. Versi yang lain mengatakan bahwa sejarah pergerakan nasional lebih tepat jika dimulai dari Sarekat Islam –didirikan tahun 1912 oleh H.O.S Tjokroaminoto- daripada Budi Utomo.
Namun agaknya tidak akan banyak terjadi perdebatan, jika dikatakan bahwa Indonesia adalah buah perjuangan dari orang yang kemudian menjadi presiden kita yang pertama, Soekarno. Soekarno adalah orang yang beririsan baik dengan Indische Partij maupun Sarekat Islam. Dalam sejumlah tulisannya, ia mengakui bahwa Ernst Douwes Dekker (Indische Partij) dan H.O.S. Tjokroaminoto (Sarekat Islam) adalah dua guru politik yang termasuk paling banyak memengaruhi pola pikir dan arah perjuangannya. Lalu, jalan apa yang ditempuh Soekarno untuk mencapai kemerdekaan? Tentu kita sama-sama tahu bahwa ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang amat berperan dalam perjuangan.
Namun sebelum PNI, ada embrio yang kerap dilupakan orang, namanya Algemene Studie Club. Kelompok belajar yang didirikan oleh Soekarno semasa ia belajar di Technische Hoogeschool (sekarang dikenal dengan Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1925 ini, lebih bisa disamakan dengan spirit yang diusung oleh komunitas kebangsaan yang kita kenal sekarang. Melalui kegiatan diskusi dan belajar bersama yang terbuka untuk umum, Algemene Studie Club berperan besar dalam melahirkan tokoh-tokoh yang kemudian menjadi cikal bakal perjuangan bangsa menuju kemerdekaan.
Teori Ruang Publik Habermas
Dalam bukunya yang berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere (1962), pemikir Jerman, Jurgen Habermas, menulis tentang perubahan-perubahan besar dalam sejarah yang dimulai dari ruang publik. Pertama-tama, Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai tempat bertemunya orang-orang dari berbagai golongan untuk berdiskusi dan berdebat secara egaliter. Habermas mencontohkan fenomena salon di Prancis -ruang publik yang muncul sejak awal abad ke-16 dan dijadikan tempat diskusi intelektual-. Terjadinya Revolusi Prancis di abad ke-18 –yang menggulingkan kekuasaan monarki absolut dan menggantinya dengan republik- sedikit banyak dipengaruhi oleh pertemuan-pertemuan di salon. Menurut Habermas, situasi santai, non-formal, dan egaliter, justru lebih bisa melahirkan ide-ide besar, ketimbang situasi yang sebaliknya. Sama dengan salon di Prancis, Habermas juga mencontohkan coffeehouses serta tischgesellschaften di Jerman pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai tempat lahirnya pemikiran-pemikiran besar yang merubah situasi di Eropa secara keseluruhan.
Pemikiran Habermas tersebut barangkali bisa dikaitkan tentang kenyataan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran komunitas kebangsaan yang sifatnya santai, non-formal, dan egaliter. Sebelum Algemene Studie Club, di Surabaya terlebih dahulu berdiri Indonesische Studie Club pada tahun 1924 oleh Dr. Sutomo. Meski kemudian muncul komunitas yang serupa di berbagai kota di Indonesia (seperti Solo, Yogya, Semarang, dan Bogor), namun Algemene Studie Club tetap merupakan komunitas yang terdepan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia –terutama karena keberadaan Soekarno di dalamnya-.
Algemene Studie Club
Kegiatan yang dilakukan oleh Algemene Studie Club mungkin dapat sama-sama kita bayangkan. Menurut buku berjudul Ir. Martinus Putuhena (Martinus Putuhena adalah Menteri Pekerjaan Umum di Masa Revolusi yang pernah mengikuti kegiatan diskusi di sana) yang ditulis oleh Putuwati, Algemene Studie Club adalah komunitas yang berisikan para intelektual, yang tidak hanya membicarakan kegiatan akademik secara umum, tapi juga hal-ikhwal politik dan kebangsaan. Martinus menyebutkan bahwa meski berisikan orang-orang berkedudukan cukup baik dan terpelajar –yang seharusnya tidak menimbulkan kecurigaan pemerintah kolonial masa itu-, Algemene Studie Club tidak lepas dari pengawasan mata-mata. Maklum, selain belajar bersama di lingkungan tertutup, Algemene Studie Club tersebut juga perlahan-lahan mulai membangkitkan kesadaran orang-orang di luar komunitas lewat majalah bulanan Suluh Indonesia Muda.
Lewat majalah tersebut, Soekarno menyuarakan pemikiran-pemikirannya yang paling dalam tentang negara dan bangsa. Dalam satu artikelnya yang berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme yang terbit di Suluh Indonesia Muda tahun 1926, Soekarno mengatakan, “Masa dimana kita harus puas dengan keadaan kita sendiri telah lewat. Era baru, era para pemuda, kita songsong bagai fajar yang merekah. Teori konservatif yang mengatakan bahwa ‘Orang kecil harus puas dengan keadaannya. Harus senang berada di balik tirai sejarah dan menawarkan bantuan untuk keagungan mereka yang berada di panggung depan’ tidak boleh lagi diterima oleh orang-orang Asia.” Dengan pergerakan intelektual yang dimulai dari komunitas kecil-kecilan dan majalah yang bersifat indie, Algemene Studie Club bertransformasi menjadi PNI –ketika situasi sudah semakin memungkinkan untuk total di jalur politik-. Cerita setelah itu, kita semua tahu: Indonesia lambat laun mencapai kemerdekaannya.
Komunitas kebangsaan dulu dengan sekarang tentu ada perbedaan. Sudah jelas bahwa Algemene Studie Club berada di masa penjajahan sedangkan komunitas kebangsaan yang tumbuh di periode ini sudah menikmati alam kemerdekaan. Namun seperti yang Soekarno katakan, perjuangan kita, para penerus, akan lebih sulit karena berhadapan dengan bangsa sendiri. Tujuan komunitas kebangsaan hari ini tidak lagi melawan belenggu penjajahan yang mengambil tanah dan hak-hak politik, tapi melawan belenggu penjajahan yang menyerang kesadaran.
Comments
Post a Comment