(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Dimulai Desember kemarin, saya tiba-tiba ingin belajar gambar. Gurunya siapa, tidak tahu. Tapi ketika sedang melihat-lihat linimasa di Facebook, tanpa sengaja saya memperhatikan akun seseorang yang sebenarnya sudah saya kenal sejak lama, yaitu R.E. Hartanto - biasa dipanggil Mas Tanto-. Ternyata, dari posting-posting-nya bisa disimpulkan, selain sebagai seorang seniman rupa yang cukup produktif, Mas Tanto juga senang mengajar gambar (untuk yang terakhir ini, memang saya baru tahu). Tanpa pikir panjang, saya sapa dia di fitur pesan Facebook dan kami langsung berbincang untuk sepakat soal harga, waktu les, dan materi belajarnya - yang ia sebut sebagai realisme optis (optical realism)-. Oia, Mas Tanto, yang cukup nyentrik ini, menyebut program kursusnya sebagai "Klinik Rupa Dokter Rudolfo".
Apa yang dipelajari pada mulanya? Awalnya, jujur saja, saya agak ragu. Bagaimana mungkin, tugas pertemuan pertama adalah belajar membuat garis melengkung sebanyak satu rim! Cara memegang pensil pun harus khusus, yaitu dengan kuku menghadap ke langit dan kelingking menyentuh kertas sebagai penumpu. Posisi berdiri, kata Mas Tanto, lebih bagus dalam menghasilkan garis. Saya melakukan ini sampai pegal-pegal, sambil bertanya-tanya: Jika begini terus, kapan saya bisa pameran tunggal?
Setelah lulus dari membuat garis lengkung, tiba saatnya memasuki materi yang lebih estetis: mengarsir. Arsir ini harus dari gelap sekali, ke terang sekali, ke gelap lagi, tanpa kelihatan "sambungan"-nya. Saya mengarsir dalam sebuah bentuk yang menyerupai pita, sehingga hasil arsiran kelihatan mempunyai efek gelombang. Tugas ini, seperti sebelumnya, juga bikin saya frustasi. Berkali-kali saya disuruh pulang karena arsiran saya tidak memenuhi keinginan Mas Tanto. Namun setelah empat pertemuan, Mas Tanto meluluskan arsiran saya - mungkin karena kasihan-. Saya dipersilahkan untuk mulai menggambar objek dengan metode tracing.
Objek pertama yang dijiplak adalah tengkorak. Saya kira menjiplak tengkorak ini mudah. Namun ternyata, butuh delapan pertemuan hingga akhirnya diluluskan! Mas Tanto ternyata cukup jeli dalam memilih materi. Objek tengkorak dipilih agar saya membiasakan diri dengan gelap - terang (yang katanya lebih kelihatan jelas ketika mata kita dipicingkan), kontur wajah, dan shading. Tengkorak tentu awal yang bagus sebelum masuk ke wajah manusia yang lebih susah ditafsir raut wajah dan warna kulitnya.
Setelah delapan pertemuan yang melelahkan, akhirnya saya diperbolehkan menggambar wajah manusia. Wajah manusia pertama yang saya gambar adalah wajah seorang dosen yang juga pembalap motor, Mas Yusrila Kerlooza. Hingga pertemuan ini, saya mulai paham (walau belum tentu hasilnya bagus) bagaimana harusnya menggambar itu: Tracing tidak harus detail. Justru tracing yang tidak detail akan lebih banyak melibatkan kekuatan observasi dan tafsir si penggambar - yang pada titik itu, justru memberi kekuatan -.
Perjalanan belajar gambar saya masih panjang. Saya malah kian penasaran dengan materi-materi apa yang akan diberikan Mas Tanto ke depannya. By the way, tujuan saya belajar menggambar ini sebenarnya sederhana saja: ingin mengerti kerja Tuhan.
Comments
Post a Comment