(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.
Sejumlah penggemar film tentu tahu nama Joko Anwar. Ia adalah sutradara yang dikenal dengan beberapa filmnya seperti Janji Joni (2005), Kala (2007), dan Pintu Terlarang (2009). Siapa yang sangka, bahwa di masa mudanya, sebelum ia mulai terjun ke dunia film, ia adalah cinephile yang rajin menghadiri bioskop alternatif. Bioskop alternatif yang dihadirinya adalah ruang yang mungkin menjadi pelopor bioskop alternatif di Bandung, yaitu Sinerupa Pirous.
Pertemuan antara Seniman Rupa dengan Kolektor Film
Keberadaan bioskop alternatif di Bandung tidak bisa lepas dari nama Ronny P. Tjandra. Ia adalah aktor sekaligus kolektor film yang bertanggungjawab pada berdirinya sejumlah komunitas penyelenggara bioskop alternatif di Kota Bandung. Ronny tertarik membuat komunitas penyelenggara bioskop alternatif setelah menyaksikan film berjudul Farewell My Concubine (1993) di Jepang pada awal tahun 1994. Film yang disutradarai oleh Chen Kaige dan memenangkan penghargaan Ballon D’Or di Cannes Film Festival tersebut membuka pandangan Ronny tentang dunia film yang selama ini tidak diketahuinya. “Bahwa film,” kata Ronny, “Tidak semata-mata mengandung aspek hiburan. Ada juga film yang punya aspek artistik yang kuat serta sisi filosofis yang mendalam.” Sejak menyaksikan film tersebut, Ronny “banting setir” dalam hal mengoleksi film. Ia ingin agar film-film yang menghiasi raknya, adalah film-film setipe dengan Farewell My Concubine tersebut: artistik dan filosofis –tapi intinya, tidak “mainstream”-. Di Bandung, ia berburu film ke banyak tempat dan akhirnya mempunyai sejumlah koleksi yang barangkali tidak umum dipunyai cinephile pada masa itu. Namun Ronny tidak puas jika hanya mengoleksinya secara pribadi. Ia juga berkeinginan agar ada orang-orang yang bisa punya akses terhadap film tesebut. Jadilah di Fakultas Arsitektur UNPAR, Ronny mendirikan satu komunitas penyelenggara bioskop alternatif bernama Sinemars; di Fakultas Filsafat UNPAR dengan nama Sinesofia, dan di rumah kediaman seniman rupa A.D. Pirous bernama Sinerupa Pirous.
A.D. Pirous, seniman rupa yang lekat dengan seni kaligrafi kontemporer tersebut, pada saat pertemuannya dengan Ronny, baru saja selesai menjalani operasi. Atas saran dokter, A.D. Pirous tidak diperkenankan untuk terlalu banyak beraktivitas ke luar rumah. Meski demikian, energi kreatifnya tidak memadam oleh saran tersebut. Ia memutuskan untuk lebih banyak berkegiatan di rumah. Sangat beruntung, A.D. Pirous bertemu dengan Ronny yang juga sedang mencari tempat pemutaran baru untuk koleksi-koleksi filmnya –setelah lebh dulu aktif di Sinemars, Fakultas Arsitektur UNPAR-. Pada masa itu, penggunaan rumah pribadi untuk pemutaran film masih sangat langka. Bagaimana teknis pemutaran filmnya? Waktu itu, film belum mudah didapat seperti sekarang: tinggal mengunduh dari internet atau membeli bajakan di toko DVD. Jikapun ingin film bagus sekaligus langka, maka harus dalam format laser disc. Selain itu, proyektor dan screen masih belum merupakan barang yang terjangkau seperti sekarang ini, sehingga pemutaran dilakukan dengan pemutar laser disc dan tentu saja, televisi –hal yang hampir pasti tidak populer dilakukan sekarang ini-.
“A.D. Pirous,” kata Ronny, mengenang, “sejak tahun 1994 memang membuka studio galeri pribadinya untuk publik dengan nama Serambi Pirous. Orang bisa datang untuk melihat karya-karyanya.” Pemilihan Serambi Pirous untuk menjadi tempat pemutaran film, menurut Ronny, didasari oleh sejumlah pertimbangan tertentu. “Pertama, karena itu di rumah pribadi sehingga publik lebih luas bisa hadir (tanpa ada afiliasi tertentu). Kedua, A.D. Pirous setuju jika pemutaran film dilakukan secara rutin (tidak insidental sesekali saja),” ujar Ronny. Ada sejumlah cerita menarik yang dikenang Ronny terkait Sinerupa Pirous ini. Misalnya, A.D. Pirous kerap memberi sentuhan seni rupa pada sampul laser disc yang sudah cacat, “Jadinya kita bisa lihat karya kecil A.D. Pirous di beberapa sampul laser disc.” Selain itu, ia mendengar pengakuan dari A.D. Pirous bahwa sejak menggelar kegiatan pemutaran film di rumahnya, ia menjadi rajin untuk pergi berburu film ke tempat-tempat yang jarang dikunjunginya di Bandung, seperti ke Bandung bagian Barat, Timur, atau Selatan –selama ini, diakuinya, bahwa wilayah aktivitasnya terutama dominan di wilayah Utara-.
Pada saat pemutaran, yang hadir sangat beragam, mulai dari sutradara muda, orang-orang seni rupa, penikmat film, hingga orang awam yang tadinya tidak tahu menahu tentang film-film “aneh”. Setelah sama-sama menonton, di Sinerupa Pirous diadakan diskusi kecil. Ronny dan A.D. Pirous biasanya menjadi moderator dan memancing para audiens untuk menyampaikan pandangan-pandangannya tentang film. “Karena yang datang berasal dari berbagai disiplin dan latar belakang, suasana diskusi menjadi hidup dan menarik. Itulah mengapa sebaiknya dalam sebuah penyelenggaraan bioskop alternatif, berdiskusi dapat dikatakan sebagai sesuatu yang wajib dilakukan,” ujar Ronny. Salah satu orang yang merasakan manfaat dari pemutaran dan diskusi dari Sinerupa Pirous adalah Joko Anwar, yang kemudian ia berkembang menjadi salah satu sutradara terdepan di Tanah Air.
Barangkali Sinerupa Pirous adalah pelopor konsep pemutaran film di Bandung yang ibarat pelari marathon: Diputar setiap minggu, ada atau tidak ada penonton, harus tetap jalan –semangat tersebut diadopsi beberapa komunitas penggiat bioskop alternatif di kemudian hari-. Konsepnya yang seperti pelari marathon memang tidak bisa tidak, membutuhkan stamina yang tinggi. Stamina tersebut semakin lama semakin berkurang hingga akhirnya Sinerupa Pirous tidak aktif lagi sekitar tahun 2002. Meski usianya relatif singkat (sekitar empat tahun), namun peran forum tersebut sangat penting bagi perkembangan bioskop alternatif di Bandung. Format pemutaran film dengan gaya marathon dan dilanjutkan dengan diskusi pasca pemutaran, menjadi format “standar” bagi sejumlah komunitas penggiat bioskop alternatif di Bandung. Ronny sendiri tidak berhenti hingga disitu, ia kemudian juga menggelar kegiatan yang sama di Fakultas Filsafat UNPAR dengan nama Sinesofia. Ia juga yang berkontribusi pada komunitas LayarKita dengan berbagi sejumlah film koleksinya untuk diputar.
Comments
Post a Comment