(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Menjadi Manusia Merdeka di Hadapan Absurditas (Bahasan Eksistensialisme tentang Tokoh Meursault, Bernard Rieux, dan Sisifus)
*) Ditulis dalam rangka Diskusi Rabuan di Common Room Thamrin Residence Lantai 5, Jakarta, 20 Mei 2015.
Ada perasaan gembira dan juga cemas, ketika saya dihubungi untuk membicarakan hal
ikhwal Albert Camus, dalam kesempatan kali ini. Mengapa? Gembira karena tentu saja, Camus
adalah filsuf besar. Pikiran-pikiran dia begitu penting bagi perkembangan kehidupan Barat pada
umumnya. Camus menawarkan solusi bagaimana untuk tetap hidup berbahagia di tengah
kekosongan batin yang hadir akibat konsekuensi logis dari modernitas. Selain itu, tulisan-tulisannya
juga amat memikat dan mempunyai nilai sastra tinggi –bandingkan dengan Descartes,
Kant, atau Hegel, yang tulisannya begitu menyebalkan untuk dibaca-.
Selain itu, ada perasaan cemas karena kenyataan bahwa membicarakan pemikiran
seseorang adalah kegiatan yang tidak mudah. Kita tidak bisa begitu saja memeras pemikiran
Camus lewat satu dua tagline yang sudah ia lontarkan. Mau tidak mau, saya mesti membaca
hampir seluruh tulisannya, sebagai upaya untuk memahami jalan pikir filsuf Prancis-Aljazair ini.
Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa meski disampaikan dengan cara yang enak, tulisan Camus
tetap saja berisi hal-hal “tidak enak”. Pikirannya terlampau muram, pesimistis, dan seperti tokoh
Meursault dalam salah satu bukunya, L'Etranger, penuh dengan sikap masa bodoh. Artinya,
saya cemas bahwa dengan membaca Camus secara lebih teliti, hari-hari saya, yang sudah
nyaman dengan modernitas, menjadi keruh dan memuakkan. Tapi mungkin hanya dengan cara
seperti ini, saya menjadi dengan serius memeriksa hidup saya kembali.
Eksistensialisme: Obat Penawar Abad Ke-20
Sebelum mulai berbicara tentang Albert Camus, ada baiknya kita membicarakan terlebih
dahulu asal usul pemikiran eksistensialisme dalam peta filsafat Barat. Albert Camus sendiri
menolak dengan label eksistensialisme pada dirinya –ada kemungkinan karena tidak mau
disamakan dengan pemikir sejamannya yang sering tidak sejalan, yaitu Jean Paul Sartre?-. Meski
demikian, dengan sangat terpaksa, kita mesti juga melekatkan suatu label pada dirinya (sematamata
agar menjadi mudah bagi kita untuk memahaminya) dan label yang paling tepat adalah
eksistensialisme. Mengapa? Pikiran-pikiran Camus secara umum mempertanyakan secara terus
menerus hakikat keberadaan manusia. Tulisan-tulisannya juga dianggap sejalan dengan
pemikiran eksistensialisme pada umumnya yang menganggap bahwa eksistensi mendahului
esensi. Artinya kurang lebih yaitu bahwa nilai-nilai dalam hidup ini, sepenuhnya ditentukan oleh
keberadaan manusia.
Eksistensialisme sendiri bisa dikatakan merupakan bentuk kritik terhadap filsafat
idealisme, yang amat populer terutama di akhir abad ke-18 dan abad ke-19. Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831), tokoh yang banyak dikaitkan dengan filsafat idealisme,
mengatakan bahwa alam semesta (Hegel membahasakannya dengan istilah “roh absolut”)
bergerak lewat dialektika kesadaran manusia. Alam semesta akan semakin cerdas, seiring dengan
manusia yang terus mengalami perubahan dan bergerak dalam sejarah. Dalam arti kata lain, alam
semesta ini selalu bergerak menuju sesuatu yang lebih cerah dan lebih baru.
Soren Kierkegaard (1813-1855), filsuf Denmark, adalah orang yang dengan terangterangan
menolak pikiran-pikiran Hegel yang menurutnya terlalu abstrak dan mengawangawang.
Kata Kierkegaard, dengan filsafat Hegel, manusia sebagai makhluk yang konkrit justru
tidak dihargai keberadaannya. Manusia hanya merupakan perwujudan dari alam semesta yang
baginya, bukan sesuatu yang nyata atau perlu dibahas panjang lebar. Justru eksistensi manusia
dengan segala persoalannya seperti cinta, tragedi, kemarahan, kebencian, nestapa, dan
kepercayaannya akan Tuhan (bukan Tuhan itu sendiri) adalah hal yang patut dijadikan pusat
filsafat yang baru. Manusia harus dipikirkan mula-mula tentang keberadaan dia sendiri di dunia
(eksistensi) sebelum bagaimana ia memaknai semuanya (esensi). Eksistensi manusia sendiri,
dalam pandangan Kierkegaard, tidak diragukan lagi, adalah sesuatu yang menyedihkan. Oleh
sebab pemikirannya yang berpusat pada eksistensi manusia, maka aliran filsafat ini disebut
dengan eksistensialisme.
Tidak sulit untuk kemudian dunia Barat dapat menyerap ide-ide dari pemikiran
Kierkegaard –yang juga mendapat pengembangan dalam versi yang lebih ateistik lewat Jean Paul
Sartre dan Albert Camus-. Pemikiran Friedrich Nietzsche, yang tadinya tidak terlalu populer,
diangkat kembali karena dianggap senafas dengan eksistensialisme. Pertanyaannya, mengapa
eksistensialisme dapat diterima dengan cepat? Filsafat idealisme, yang dicetuskan Hegel,
memang berhasil menciptakan optimisme besar tentang dunia yang lebih cerah, lebih baru, dan
lebih rasional. Optimisme ini pertama-tama menimbulkan kemajuan di segala bidang seperti
ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi optimisme tersebut juga punya andil terhadap sikap
patriotisme berlebihan dan semangat untuk menguasai yang lain. Itu sebabnya, eksistensialisme
pada akhirnya mengritik kekosongan batin yang ditimbulkan akibat penderitaan perang (PD I
dan PD II) dan kemajuan peradaban manusia. Kata eksistensialisme, idealisme Hegel tidak
menghargai manusia sebagai dirinya sendiri, sebagai subjek, sebagai individu.
Eksistensialisme mungkin memang punya karakter gelap, muram, dan pada titik tertentu,
memuakkan. Namun filsafat ini berusaha jujur dengan memotret kondisi sebenar-benarnya
manusia modern tanpa suatu iming-iming pencerahan yang semu. Camus termasuk orang yang
tidak hanya menyadari situasi memuakkan eksistensi manusia modern ini, melainkan berusaha,
dengan perjuangan yang keras, untuk mencarikan jalan keluar tentang bagaimana sebaiknya
manusia bersikap dan memandang dunia yang katanya, sia-sia ini.
Pemikiran Albert Camus dalam La Peste, L’Etranger, dan Le Mythe de Sisyphe
Sebelum memasuki alam pikirnya, ada baiknya untuk membahas secara sangat singkat
tentang latar belakang kehidupan dari Albert Camus. Camus lahir pada tanggal 7 November
1913 di Aljazair –negara Afrika Utara yang merupakan jajahan dari Prancis-. Masa kecilnya
terbilang miskin karena salah satunya, ayahnya gugur akibat PD I ketika Camus baru berusia
satu tahun. Sepanjang hidupnya, selain aktif berpolitik (Camus adalah seorang aktivis partai
komunis dan juga anarkis), gemar olahraga sepakbola (pernah menjadi kiper untuk klub
sepakbola junior, Racing Universitaire d’Alger), Camus adalah seorang penulis yang produktif.
Ia banyak menulis sejumlah novel, cerpen, dan esai. Tema dari tulisan-tulisannya sendiri, jika
disarikan, banyak berbicara tentang absurdisme (akan dibahas kemudian). Camus meninggal
pada tahun 1946 akibat kecelakaan mobil di sebuah kota kecil bernama Villeblevin.
Pemikiran Camus yang paling inti adalah tentang absurdisme. Absurdisme dapat
dikatakan sebagai aliran pemikiran yang menganggap bahwa ada upaya terus menerus dalam diri
manusia untuk mencari makna sejati dalam kehidupan. Namun di sisi lain, upaya tersebut selalu
menemui kegagalan. Mengapa, karena selain dari kemungkinan bahwa kehidupan itu sendiri
pada dasarnya tidak mempunyai makna, tapi juga karena keterbatasan manusia dalam mencapai
makna tersebut. Artinya, absurd bisa dimaknai sebagai ketegangan antara dua situasi yang ideal:
Manusia yang selalu ingin, dan kenyataan yang tidak mungkin.
Kita bisa memahami absurdisme ini misalnya dari salah satu novelnya yang berjudul La
Peste (1947). Dalam novel tersebut, kota Oran diserang wabah pes yang menyebabkan kematian
bagi banyak warganya. Wabah tersebut membuat orang-orang mencoba mengerti dan memaknai
apa arti kehidupan ini. Ada yang melihatnya sebagai kutukan Tuhan, ada yang murni melihatnya
sebagai sesuatu yang rasional –persoalan medis semata-, ada yang menganggapnya sebagai
berkah –karena katanya, sebuah penderitaan, menghindarkan kita dari penderitaan yang lainnya-.
Namun diantara upaya-upaya memaknai yang berseliweran tersebut, Camus seolah mau berkata
lewat tokoh dokter bernama Bernard Rieux, bahwa sikap yang benar adalah menerima
ketidakmampuan manusia untuk memaknai tersebut dengan sejujur-jujurnya, dan mencoba untuk
hidup berbahagia saja.
Absurdisme dengan karakteristik sedikit lain dapat ditemukan dalam novelnya yang
pertama, yang ditulis sebelum La Peste, berjudul L’Etranger (1942). Dalam novel tersebut,
tokoh utama yang bernama Meursault, adalah orang yang terkesan masa bodoh dengan situasi di
sekitarnya. Di bagian pembuka, langsung ditunjukkan bagaimana ia sedemikian tidak tersentuh
sedikit pun oleh kematian ibunya. Ia enggan membuka tutup mati untuk melihat wajah ibunya
untuk terakhir kali dan bahkan tidak ada perasaan untuk ingin menangis. Esoknya, Meursault
malah langsung menjalin hubungan romantika dengan seorang perempuan bernama Marie –
seolah tidak ada waktu sedikitpun untuk berkabung-. Lewat sebuah perjalanan yang rumit –
awalnya berupa solidaritas untuk membantu temannya yang bernama Raymond-, Meursault
diadili karena membunuh seorang Arab dengan pistol. Ia divonis hukuman mati dengan cara
dipenggal oleh guillotine.
Sepanjang kejadian tersebut, Meursault menyikapinya dengan seolah masa bodoh. Ia
sendiri tidak bisa mengerti mengapa ia tidak menangisi kematian ibunya, ia sendiri tidak mampu
menjelaskan apakah perasaannya pada Marie adalah cinta atau apa –ia mengatakan, “Kalau
kamu mau menikah, maka saya akan mau, walau saya tidak tahu untuk apa.”-, ia sendiri tidak
punya penyesalan serius ketika selesai membunuh dan kemudian divonis mati, ia sendiri enggan
menerima Tuhan meski sudah didatangi pendeta berulang kali pada momen-momen terakhir
menjelang eksekusi.
Ada banyak tafsir tentang mengapa Meursault bersikap sedingin itu terhadap kehidupan.
Namun agaknya, label “masa bodoh” dan “dingin” bukanlah kata yang tepat disematkan pada
Meursault jika ditilik dari konteks filsafat Camus. Lebih tepat dikatakan bahwa Meursault
menerima dengan sepenuhnya makna absurd dalam kehidupan. Ia dengan jujur mengakui bahwa
hidup adalah sesuatu yang tidak bisa dimengerti –hidup bahkan, katanya, tidak layak untuk
dijalani-. Namun meski hidup ini begitu sia-sia, Camus menolak dua jalan keluar untuk
menyelesaikannya: bunuh diri dan percaya pada Tuhan. Kedua hal tersebut, dianggapnya,
merupakan penolakan keras terhadap hidup itu sendiri. Justru sikap yang benar adalah menerima
dengan terbuka, meski dengan perjuangan yang perih, untuk kemudian meraih kemenangan
hidup lewat kematian yang wajar –Meursault berbahagia dengan kisah akhir hidupnya yang
diselesaikan lewat pisau guillotine yang katanya jauh lebih baik daripada “mati” oleh ucapan
pendeta tentang Tuhan-. Dalam L’Etranger, disebutkan bahwa satu-satunya cara bagi Meursault
untuk mengisi batinnya adalah dengan mengingat kenangan-kenangan lama yang indah dan
pernah mewarnai kehidupannya. Bahkan kemudian ia menganggap bahwa harapan-harapan yang
akan datang pun akan menjauhkannya dari hidup yang jujur dan paripurna.
Dalam pandangan Camus, bagaimana cara hidup yang dipraktikkan oleh Rieux ataupun
Meursault, akan membawa manusia pada suatu kemerdekaan. Sebelum membahas lebih jauh
tentang kemerdekaan yang dimaksud, kita singgung secara singkat tentang bagian keempat dari
esai Camus yang berjudul Le Mythe de Sisyphe (1942). Pada tulisannya tersebut, ia memberi
contoh sebuah legenda dari Yunani, tentang seseorang bernama Sisifus yang dikutuk untuk
mendorong batu besar hingga ke atas bukit, untuk kemudian batu tersebut menggelinding ke
bawah lagi, dan Sisifus harus mendorongnya kembali ke atas –berlaku ad infinitum-. Kehidupan
manusia modern, kata Camus, adalah persis seperti Sisifus. Mereka menjalani sesuatu yang
berulang-ulang, tanpa makna, dan pada akhirnya akan kembali ke titik nol. Lantas, jika memang
benar demikian adanya, apa yang harus dilakukan? Camus berkata dengan pasti, “Seseorang
harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia (dengan apa yang dilakukannya).”
Pada tiga tokoh tersebut (Rieux, Meursault, dan Sisifus), kita bisa menemukan satu
kebebasan tersendiri. Kebebasan tersebut adalah kebebasan karena penderitaan, kebebasan
karena ketiadaan harapan, dan yang terpenting: kebebasan yang hadir karena kesadaran penuh
bahwa hidup ini, pada dasarnya, adalah kesia-siaan belaka. Namun sekali lagi, ketiga tokoh itu
tidak putus asa dan berserah diri. Mereka terus menerus melakukan perlawanan –dalam
terminologi Camus, kita harus terus melakukan revolusi melawan keabsurdan-. Hanya dengan
demikian, kebahagiaan dan kemerdekaan bisa tampil paripurna.
Saya sendiri menemukan sikap a la Rieux, Mersault, dan Sisifus ini, pada sebuah
percakapan dengan seorang tukang gorengan di dekat rumah. Tukang gorengan tersebut
mempunyai lima orang anak dengan istri yang tinggal di rumah (demi mengurusi anak-anaknya).
Namun tukang gorengan tersebut hidup tanpa rasa takut. Dengan tetap bertahan pada berdagang
gorengan, ia mengatakan dengan tegas bahwa, “Hidup ini dijalani saja dengan santai. Toh pada
akhirnya juga kita akan mati.” Dalam pandangan saya, tukang gorengan ini lebih mengerti
Camus daripada saya sendiri. Saya takut mati, dan juga takut untuk hidup.
Comments
Post a Comment