(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Menginjak negeri Tirai Bambu adalah impian sejak lama. Dari dulu, saya mengagumi Tiongkok sebagai negeri dengan sejarah yang panjang, kebudayaan yang mendunia, filsafat yang luhur, serta masyarakat yang mau bekerja keras. Kesempatan itu datang ketika kami mendapat undangan dari Guangzhou Academy of Fine Arts untuk hadir dan berpartisipasi dalam Asian Silk Link Art Exhibition, sebuah pameran yang dihadiri oleh sejumlah negara di Asia.
Perjalanan udara dari Jakarta ke Guangzhou membutuhkan waktu kurang lebih lima jam. Setibanya di Baiyun International Airport, kami langsung diantar oleh panitia menuju hotel yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan. Di sepanjang jalan tersebut, saya melewati gedung-gedung tinggi dengan lampu-lampunya yang gemerlap dan Sungai Mutiara yang berlalu lalang kapal pesiar di atasnya. Secara reflek, saya mengambil beberapa foto dengan menggunakan kamera ponsel dan sudah membayangkan untuk mengunggahnya di media sosial dengan menggunakan wi-fi penginapan. Namun sesampainya di penginapan, saya mendapati sebuah mimpi buruk yang tidak terbayangkan oleh netizen manapun.
Sensor Ketat Internet
Di tengah keinginan untuk mengabadikan segala peristiwa dengan mengunggahnya di media sosial, ternyata saya harus berhadapan dengan fakta bahwa pemerintah Tiongkok punya sensor yang ketat terhadap beberapa laman di internet, media sosial, serta sejumlah aplikasi. Sepanjang kunjungan yang lamanya satu minggu tersebut, saya tidak bisa mengakses Google (termasuk juga Google Mail dan Google Maps), Facebook, Youtube, Instagram, Twitter, Wikipedia, Blogspot, hingga aplikasi Line. Melalui laman Yahoo (yang tidak diblokir), saya berusaha mencari tahu tentang kebijakan tersebut dan menemukan sejumlah fakta menarik: Negeri Tiongkok sering dijuluki sebagai “penjara netizens terbesar di dunia”. Mereka tidak hanya memblokir hingga tiga ribu situs, melainkan juga mengawasi penggunaan yang dilakukan oleh individu. Dengan sekitar dua juta polisi internet yang dipunyai oleh pemerintahnya, mereka tidak segan-segan memenjarakan jurnalis dan pengguna internet yang dianggap melanggar aturan.
Saya sempat berusaha untuk mencari jalan keluar dengan bertanya mulai pada resepsionis hingga orang-orang yang ditemui di jalan. Saya berharap ada orang-orang yang umumnya ada di Indonesia: Mempunyai kreativitas tinggi untuk “mengakali” hal-hal terkait teknologi informasi. Namun orang yang ditemui, umumnya bahkan sudah tidak peduli dengan media sosial dan aplikasi yang saya singgung di atas. “Google? Untuk apa Google? Line? Untuk apa Line?” begitu mereka pada umumnya menjawab pertanyaan. Ternyata hal tersebut lumrah, karena pemerintah setempat sudah menyiapkan sejumlah alternatif media sosial dan aplikasi seperti Baidu dan Wechat. Walhasil, saya pun menyerah. Ada baiknya seminggu selama saya di sini, ditinggalkan dulu segala hal terkait dunia maya. Saya pun mencoba menjejak bumi, dan menghayati segala realitas yang tersaji.
Guangzhou, Seni Rupa, dan Asia
Sebelum bercerita tentang Kota Guangzhou dengan segala kepeduliannya terhadap seni rupa, izinkan saya bercerita terlebih dahulu tentang acara yang kami hadiri, yaitu Asian Silk Link Art Exhibition. Acara yang diadakan di Guangzhou Academy of Fine Arts ini dihadiri oleh seniman-seniman dari berbagai negara di Asia, antara lain Jepang, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Indonesia, dan tentu saja, Tiongkok sendiri selaku tuan rumah. Partisipan Indonesia diwakili oleh Setiawan Sabana, Sarnadi Adam, Willy Himawan, Angga Aditia, dan saya sendiri. Sepanjang di sana, saya menikmati karya-karya rupa para partisipan dari negara lain dan menemukan suatu perasaan yang aneh: bahwa kita bisa mengintip suatu bangsa, tidak hanya dengan membaca buku panduan pariwisata, berselancar mencari informasi tentang mereka di Wikipedia, ataupun berkunjung langsung ke negaranya. Kita bisa mengintip suatu bangsa, dari ekspresi-ekspresi keseniannya. Meskipun perasaan bisa jadi sangat abstrak dan cenderung menggeneralisasi, tapi saya bisa merasakan ada semangat ke-Asia-an yang kental melalui pameran ini.
Apa yang dinamakan dengan “ke-Asia-an” itu memang pernah menjadi renungan di sekitar tahun 1990-an melalui pemikiran Mahathir Mohamad (Perdana Menteri Malaysia 1981 – 2003) dan Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Singapura 1959 – 1990). Pemikiran tersebut timbul sebagai bentuk perlawanan terhadap pemikiran Barat yang individualistik dan demokratis. Bagi para pemikir “Asian Values”, alih-alih mengadopsi pemikiran Barat, seharusnya bangsa Asia lebih mengadopsi prinsip-prinsip Konfusianisme yang cenderung komunitarian, meninggalkan kepentingan-kepentingan pribadi, serta hormat pada pemimpin. Memang, dalam kasus tertentu, nilai-nilai “ke-Asia-an” tersebut –yang pernah diadopsi oleh misalnya Tiongkok, Malaysia, Singapura, dan Indonesia- dapat mengalami penyimpangan semisal kepemimpinan yang cenderung otoriter dan mengutamakan kelompoknya sendiri. Namun tetap saja, -jika kita mengesampingkan penyimpangan-penyimpangan politik semacam itu- bangsa Asia tetap mempunyai keunikannya sendiri, yang membuat dirinya berbeda dari Barat. Perbedaan yang salah satunya bisa dirasakan, dengan melihat pelbagai ekspresi keseniannya.
Pertumbuhan seni rupa di Guangzhou tidak hanya tercermin dari keberadaan Guangzhou Academy of Fine Arts saja. Kami juga diajak untuk mengunjungi semacam art district atau “kampung seni” bernama Redtory. Di sepanjang jalan, kami bisa menemukan seperti galeri seni kontemporer, toko cinderamata seni, studio seniman rumah produksi kerajinan, hingga ruang alternatif seni, yang semuanya merupakan modifikasi dari rumah-rumah tinggal penduduk setempat. Tidak jauh dari kampung seni Redtory, kami mengunjungi Guangdong Museum of Art. Museum dengan arsitektur unik tersebut mempunyai bervariasi karya yang dipajang mulai dari zaman kuno hingga modern – guci, patung, lukisan tradisional Tiongkok atau guóhuà , lukisan seniman Tiongkok modern, hingga instalasi dari para seniman kontemporer-.
Kesan kuat kami tentang perhatian pemerintah Kota Guangzhou terhadap seni visual tidak berhenti sampai disitu. Selain keberadaan gedung opera Guangzhou yang didesain dengan sangat avant-garde oleh arsitek kenamaan Zaha Hadid, kami juga mendapati bahwa secara umum, kota ini sudah didesain sedemikian rupa agar menghasilkan satu sinergi visual yang kuat. Ini terlihat ketika di malam hari, -saat kami menyusuri Sungai Mutiara dengan kapal- sangat jelas terlihat bahwa gedung-gedung tinggi di Guangzhou memancarkan cahaya-cahaya dengan pengaturan artistik tertentu. Artinya, pemerintah kota setempat tidak ingin hanya tempat-tempat tertentu saja yang terlihat punya kepedulian terhadap kesenian. Mereka ingin agar seisi kota tersebut juga punya kesan seni –terutama seni visual- yang kuat.
Guangzhou, dengan pelbagai kelebihan hal artistik yang sudah disinggung di atas, juga sebagaimana kota metropolitan besar pada umumnya: mengandung persoalan yang kompleks. Di pagi hari, saya mulai terbiasa melihat dari kamar di lantai 46, bahwa langit kota seolah berkabut. Padahal, belakangan saya tahu, bahwa itu bukanlah kabut, melainkan tumpukan polusi yang menempatkan Guangzhou sebagai salah satu kota di dunia yang mempunyai efek berbahaya bagi paru-paru masyarakatnya. Pun ketika menyusuri trotoar untuk sekadar melihat-lihat kota, bau tidak sedap seringkali menyeruak entah darimana. Meski demikian, bukan oleh-oleh persoalan yang harusnya kami bawa pulang ke tanah air, melainkan kesan mendalam tentang ekosistem seni rupa (dan seni visual pada umumnya) yang begitu hidup di kota yang dahulunya bernama Canton tersebut. Kota Guangzhou seolah tahu, bahwa mata adalah indera manusia yang paling cepat menangkap kesan. Seisi kota dimana-mana cahaya berpendaran, agar mereka yang datang langsung termanjakan.
Foto oleh Angga Aditia (Artmadilaga)
Comments
Post a Comment