(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.
Meski ada beberapa komunitas dan tempat yang menggelar bioskop alternatif, namun nama LayarKita termasuk yang paling konsisten di Bandung. Sejak tahun 2011, komunitas yang dikoordinatori oleh Tobing Jr. tersebut rutin menggelar bioskop alternatif dengan cara gerilya. Maksudnya, mereka aktif mendatangi tempat-tempat untuk diajak kerjasama dalam hal pemutaran film. Contohnya, saat ini LayarKita aktif bergerilya di Pusat Kebudayaan Prancis (IFI – Bandung) setiap hari Senin dan Museum Asia Afrika setiap hari Selasa. Film-film yang diputar oleh LayarKita sangatlah beragam, dari mulai Africa United (2010), Crimes and Misdemeanors (1989), High Noon (1952), Julius Caesar (1953), hingga yang sudah sangat lama seperti Battleship Potemkin (1925) dan A Man with a Movie Camera (1928). Meski demikian, film yang diputar sebenarnya tidak selalu punya karakter “anti-umum”. Ada juga film-film yang mungkin juga pernah populer dan diputar di gedung bioskop, seperti 127 Days (2010) atau Lars and The Real Girl (2007). Namun tetap, film-film tersebut, meski populer, di akhir pemutaran selalu diadakan diskusi. Sehingga bisa jadi meski di permukaannya tampak seperti film hiburan, namun ternyata ada aspek filosofis yang bisa diperoleh oleh penonton ketika menyaksikannya di LayarKita (berbeda jika menyaksikannya di gedung bioskop).
Meski ada beberapa komunitas dan tempat yang menggelar bioskop alternatif, namun nama LayarKita termasuk yang paling konsisten di Bandung. Sejak tahun 2011, komunitas yang dikoordinatori oleh Tobing Jr. tersebut rutin menggelar bioskop alternatif dengan cara gerilya. Maksudnya, mereka aktif mendatangi tempat-tempat untuk diajak kerjasama dalam hal pemutaran film. Contohnya, saat ini LayarKita aktif bergerilya di Pusat Kebudayaan Prancis (IFI – Bandung) setiap hari Senin dan Museum Asia Afrika setiap hari Selasa. Film-film yang diputar oleh LayarKita sangatlah beragam, dari mulai Africa United (2010), Crimes and Misdemeanors (1989), High Noon (1952), Julius Caesar (1953), hingga yang sudah sangat lama seperti Battleship Potemkin (1925) dan A Man with a Movie Camera (1928). Meski demikian, film yang diputar sebenarnya tidak selalu punya karakter “anti-umum”. Ada juga film-film yang mungkin juga pernah populer dan diputar di gedung bioskop, seperti 127 Days (2010) atau Lars and The Real Girl (2007). Namun tetap, film-film tersebut, meski populer, di akhir pemutaran selalu diadakan diskusi. Sehingga bisa jadi meski di permukaannya tampak seperti film hiburan, namun ternyata ada aspek filosofis yang bisa diperoleh oleh penonton ketika menyaksikannya di LayarKita (berbeda jika menyaksikannya di gedung bioskop).
Awal mula didirikannya LayarKita, adalah rasa marah. “Kami marah pada gedung bioskop dan televisi, yang sudah kian mengurangi tayangan berkualitas demi kepentingan pasar,” kata Tobing Jr. Tapi ia sadar, bahwa tidak mungkin menyuruh gedung bioskop dan stasiun televisi untuk menghentikan tayangan-tayangan yang tidak bermutu. Atas dasar itulah, Tobing Jr. mendirikan komunitas LayarKita sebagai bentuk tayangan alternatif bagi penyuka film di Bandung. Jika menyoal koleksi film dan bobot diskusi, agaknya LayarKita tidak seberapa berbeda juga dengan komunitas penyelenggara bioskop alternatif lain di Bandung. Namun yang menjadi nilai lebih bagi mereka adalah konsistensinya. “Jika ibarat pelari, kami bukanlah seorang sprinter atau pelari cepat. Kami lebih senang dikatakan pelari marathon. Lebih baik jika kami lari pelan tapi bertahan lama, daripada lari cepat tapi setelah itu kehabisan energi,” ujar Tobing Jr. menganalogikan pergerakan LayarKita di dunia bioskop alternatif.
Dalam pengamatan penulis, memang jumlah penonton yang hadir untuk menonton film di LayarKita tidak stabil. Umumnya malah yang hadir hanya puluhan atau bahkan belasan –pernah hingga ratusan, untuk film tertentu-. Padahal, untuk menonton bioskop alternatif ini, LayarKita sama sekali tidak memungut bayaran alias gratis. Apakah hal demikian menyurutkan semangat LayarKita untuk berhenti memutar film? Tobing Jr. mengakui, bahwa pada periode awal-awal LayarKita berkegiatan, selalu ada rasa pesimis tentang apakah kegiatan ini betul-betul punya dampak atau tidak. Namun lama kelamaan, ia mengibaratkan gerakan ini harus seperti rutinitas kantoran, yang suka tidak suka, harus dijalani. “Pada akhirnya,” kata Tobing, “Kuantitas tidak selalu menjadi hal yang utama. Yang terpenting adalah kualitas penonton yang hadir, yang betul-betul ingin menonton dan berdiskusi.”
Dengan keyakinan yang sedemikian rupa, LayarKita masih tegak berdiri hingga tahunnya yang keenam. Dapat dikatakan, jarang sekali mendengar mereka absen pemutaran film setiap minggunya, kecuali jika hari Senin atau Selasa jatuh di hari libur nasional. Hampir setiap edisinya juga, mereka berusaha menghadirkan narasumber untuk memberi pandangannya dalam diskusi, seperti Ronny P. Tjandra, Ismail Reza, Zaky Yamani, hingga Dien Fakhri Iqbal Marpaung. Di edisi tertentu, ketika pemutaran film Sound of Music (1965), LayarKita juga menghadirkan violinis Ammy Kurniawan untuk memainkan beberapa soundtrack dari film musikal legendaris tersebut. Pernah juga, jika memungkinkan untuk mengundang sutradaranya, maka LayarKita akan mengundangnya, seperti misalnya film Sunya (2016) yang diputar perdana di IFI – Bandung dengan menghadirkan sutradaranya, Harry Dagoe.
Memang keberadaan LayarKita belum tentu akan bisa menggoyang eksistensi tayangan di televisi ataupun di gedung bioskop umum –setidaknya dalam waktu dekat-. Namun perannya sebagai bioskop alternatif harus senantiasa juga dikawal oleh masyarakat kita, agar kota selalu mempunyai opsi bagi masyarakat yang ingin memenuhi “gizi” batinnya. Biarlah mereka yang ingin hiburan bisa menonton televisi atau pergi ke gedung bioskop, tapi bagi mereka yang menginginkan film yang menantang imajinasi dan nalarnya, pergilah ke bioskop alternatif. Mungkin suatu hari nanti, ketika masyarakat sudah kian teredukasi oleh film-film dari bioskop alternatif, gedung bioskop umum tidak akan lagi alergi dengan film-film yang punya nilai edukasi, refleksi, dan perubahan sosial. Film yang diputar tidak lagi yang selalu menghamba pada pasar, melainkan juga menghamba pada nilai-nilai kemanusiaan. Mendiskusikan film tidak lagi sesuatu yang dianggap tabu dan serius, tapi menjadi budaya keseharian setiap kita selesai mengapresiasinya. Dengan demikian, berangkat dari sebidang layar, lambat laun mungkin akan tercipta masyarakat yang lebih cerdas.
Comments
Post a Comment