(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015
Jika Indonesia diibaratkan orang yang tengah jatuh sakit, tentu ia butuh obat agar sembuh. Obat yang sedang ramai ditawarkan adalah perbaikan akhlak, mental, maupun karakter. Masing-masing dari kita punya versi sendiri tentang racikan obat tersebut. Ada yang menganggap bahwa racikan terbaik terbuat dari nilai-nilai agama. Ada yang menganggap bahwa racikan terbaik terbuat dari nilai-nilai yang diadopsi dari negara maju. Namun ada juga yang merasa bahwa seharusnya obat tersebut terbuat dari konsep nasionalisme.
Persoalannya, konsep nasionalisme sedang mengalami kelangkaan. Ada macam-macam penyebabnya: Keberadaan internet yang membuat orang semakin berpikir across national border, pengaruh budaya asing yang sangat kuat lewat media massa, sejarah nasional yang ternyata punya banyak versi, modernisme yang membuat orang berpikir praktis, cepat, dan fungsional –tanpa mau dipusingkan oleh ideologi apa yang sedang ia pegang-, serta kapitalisme yang membuat orang selalu berorientasi akan keuntungan material. Di tengah kenyataan yang berseliweran tersebut, tidakkah memikirkan hakikat nasionalisme adalah semacam kegiatan yang sia-sia?
Komunitas Kebangsaan
Sekelompok anak muda di Bandung, yang menamakan dirinya dengan Asian African Reading Club (AARC), tidak menganggap itu sia-sia. Bertempat di Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA), mereka berkumpul setiap hari Rabu untuk merenungkan kembali nilai-nilai kebangsaan yang dianggapnya kian redup. Dengan gaya khas anak muda –campuran idealisme yang kuat dengan humor yang segar-, AARC membaca kembali pemikiran-pemikiran Bapak Bangsa seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, hingga H.O.S. Tjokroaminoto. Ternyata, AARC bukan satu-satunya komunitas yang merasa prihatin atas kelangkaan nasionalisme ini. Ada juga Api Bandung, yang berbasis di Museum Sri Baduga dan Rumah Sejarah Inggit Garnasih. Mereka mencoba mengenalkan pada generasi muda tentang para pahlawan yang kerap dilupakan, seperti Inggit Garnasih dan Ali Sastroamidjojo. Tidak hanya dengan diskusi, Api Bandung juga menggunakan pendekatan seni, seperti musik dan teater, untuk mencapai tujuannya. Di Museum Mandala Wangsit Siliwangi, ada komunitas Historia van Bandoeng, yang gemar melakukan rekonstruksi sejarah bangsa, lengkap dengan pakaiannya.
Kita bisa menyebut fenomena ini sebagai menjamurnya komunitas kebangsaan. Inilah komunitas-komunitas yang mencoba menebalkan kembali nasionalisme yang pudar. Mungkin dalam diri mereka, ada sedikit keraguan bahwa nasionalisme bisa dibangkitkan lewat institusi formal seperti pelajaran di sekolah, program-program pemerintah, atau seminar-seminar berbayar. Nasionalisme, bagi para penggiat komunitas kebangsaan, bisa dibicarakan secara utuh hanya dalam suasana yang santai, non-formal, dan egaliter. Komunitas kebangsaan juga tidak menitikberatkan barometer kesuksesan pada jumlah orang yang datang dan ambil bagian. Mereka percaya bahwa lebih baik yang hadir sedikit, namun pembahasan lebih mendalam, ketimbang yang hadir berlimpah, tetapi ujung-ujungnya nasionalisme hanya jadi histeria. Tidakkah kemerdekaan Indonesia ini, bermula dari orang-orang yang sedikit, yang berkumpul dalam suasana santai, non-formal, dan egaliter?
Masa Depan Nasionalisme
Komunitas kebangsaan mencoba mengajak generasi muda untuk bergelut dengan masa lalu. Harapannya, jika kita semua berkesempatan mengkaji pemikiran para Bapak Bangsa, maka harusnya bangsa ini lepas dari carut marut dan permasalahan yang terus mendera. Pertanyaannya, mengapa? Apa hubungan antara nasionalisme dan obat bagi Indonesia yang jatuh sakit? Tidakkah nasionalisme adalah ideologi yang mudah diserang dari segala sisi –seperti halnya ideologi-ideologi lainnya-? Kita tahu, nasionalisme sering dikritik sebagai konsep yang diciptakan sedemikian rupa untuk memperkuat hegemoni negara. Ada juga kritik yang menyebutkan bahwa nasionalisme justru menyebabkan perang antar negara yang tidak kunjung usai. Arthur Schopenhauer, seorang pemikir asal Jerman di abad ke-18, menyebutkan bahwa nasionalisme menyebabkan hilangnya identitas individu.
Atas kritik tersebut, mungkin kita bisa menjawabnya lewat pernyataan Juwono Sudarsono di peringatan enam puluh tahun Konperensi Asia Afrika di Bandung, Maret lalu. Ia mengakui bahwa konsep nasionalisme bisa berpotensi menjadi pepesan kosong, romantisme, dan seremonial belaka. Namun satu hal yang pasti, nasionalisme bisa menjadi hal yang mendorong pemberdayaan pemuda. Pemberdayaan itu bisa berupa koperasi idealisme –hal-hal terkait gotong royong seperti komunitas, kerja bakti antarwarga, musyawarah mufakat, dan lain-lain- serta koperasi ekonomi –dianggap sebagai lembaga perekonomian yang paling cocok, menurut pandangan Moh. Hatta, untuk masyarakat kita-.
Selain itu, jika kita mau melihat secara objektif, pemikiran para Bapak Bangsa kita sebenarnya tidak kalah canggih dengan para filsuf yang sudah lebih dikenal dalam sejarah pemikiran. Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, hingga H.O.S. Tjokroaminoto, pernah menulis buku-buku yang dihasilkan melalui pemikiran yang mendalam –dan seringkali mencengangkan-. Misalnya, apa yang dikatakan oleh Juwono, sebenarnya sudah ditulis oleh Sjahrir dalam Sosialisme Indonesia Pembangunan: Kumpulan Tulisan, “Kita hendak bekerja atas dasar kemerdekaan jiwa orang, atas dasar kerakyatan, atas dasar sukarela, mufakat dan kerjasama, dan tidak dengan paksaan seperti yang telah dilakukan di negeri-negeri totaliter dan diktatur itu.”
Setidaknya, lewat kajian-kajian yang dilakukan oleh komunitas kebangsaan, kita diajak untuk mengingat betapa Indonesia hari ini, sudah jauh dari apa yang dipikirkan oleh para Bapak Bangsa. Tugas kita adalah membuat jembatan agar pemikiran-pemikiran itu bisa terhubung dengan realitas yang ada. Tidak perlu muluk-muluk dalam konteks bangsa dan negara, tapi bisa dimulai dari diri dan keluarga.
Comments
Post a Comment