(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
(Ditulis sebagai pengantar kuratorial untuk pameran keramik Mythologies: The Holy Myth of A Clay pada tanggal 20 - 26 Mei 2017 di Galeri Pusat Kebudayaan Prancis - Bandung [IFI - Bandung])
Konon, salah satu penanda lahirnya filsafat adalah beralihnya pemikiran manusia dari fase mitos ke fase logos. Demikian yang sering disepakati orang Barat ketika menyebut filsuf pertamanya, Thales dari Miletos yang lahir sekitar tahun 500 sebelum masehi. Mengapa? Katanya, itu disebabkan oleh pernyataan Thales yang terkenal, yaitu “Alam semesta ini terbuat dari air”. Pernyataan tersebut dianggap lebih bermutu daripada serangkaian kepercayaan mitis tentang dewa-dewi sebagai asal mula sebagai sesuatu. Maka itu, dalam perjalanan pemikiran Barat –terutama di masa-masa Yunani Kuno, Renaisans, dan sebentangan zaman modern-, gaya berpikir mitis disebut-sebut sebagai gaya berpikir yang ketinggalan.
Namun belakangan mulai timbul pertanyaan: Apakah rasionalitas murni terbebas dari mitos-mitos? Pemikir pos-strukturalis asal Prancis, Roland Barthes (1915-1980), menyatakan sebuah gagasan dalam bukunya yang berjudul Mythologies (1957) tentang mitos-mitos yang berkembang di masa modern. Mitos-mitos tersebut bukannya tercipta dari ruang hampa. Ada kekuasaan yang membentuknya sedemikian rupa, demi suatu kepentingan tertentu –misalnya, upaya menutup-nutupi kenyataan sebenarnya-. Contoh terbaik diberikannya lewat sampul majalah Paris Match yang memperlihatkan seorang anak berkulit hitam tengah memberi hormat. Gambar tersebut seolah biasa-biasa saja, padahal menurut Barthes, mengandung suatu pesan mitologis: Ketertundukkan seorang imigran, pada militerisme Prancis.
Barthes tidak keliru. Mitos-mitos memang terus diproduksi, agar kita nikmati seolah-olah sebagai bentuk kebenaran yang hakiki. Upaya penyadaran akan produksi mitos tersebut yang ditampilkan dalam pameran Mythologies pada kesempatan kali ini. Keempat seniman memamerkan visualisasi dari mitos-mitos yang berkembang di berbagai periode peradaban manusia, yang lalu dibaca dari sudut pandang kontemporer. Dengan keramik sebagai mediumnya, masing-masing seniman mencoba bersikap kritis terhadap mitos yang sudah kadung dipercaya sebagai logos.
Mia Diwasasri menampilkan karya dengan teknik slab berjudul Infinitum Delirium #1 dan Infinitum Delirium #2. Karya tersebut berisi objek hibrida dari sejumlah mitologi klasik, yaitu citra perempuan dengan atribut dunia pewayangan, tapi dengan bentuk tubuh separuh ikan duyung. Kemudian di karyanya yang lain yang berjudul High Tea Time (dibuat dengan teknik pinching), Mia hendak menunjukkan sejumlah penampakan melusine yang sedang minum teh bersama. Melusine sendiri adalah nama untuk wujud perempuan yang muncul dari air, yang hidup sebagai mitos di beberapa wilayah di Eropa, termasuk Prancis dan Luksemburg.
Sosok fantasi semacam ini mungkin tergolong damai dan tidak diciptakan dengan pretensi untuk menguasai. Namun bukannya tidak bisa dikritisi: sosok fantasi adalah cara untuk membuai dan memisahkan kita dari realita -menganggap “alam tak tampak” sebagai kenyataan, dengan mengabaikan yang konkrit terbujur di hadapan-.
Bonifacius Djoko Santoso punya ketertarikan sendiri terhadap simbol-simbol kekristenan. Dengan teknik pinching dan cetak tekan, Djoko menghadirkan karya berjudul Pemberkatan untuk Perang (Benedicens Ergo in Bellica). Karya tersebut adalah instalasi salib dua palang (the two barred cross / the cross of Lorraine) sebagai simbol dari kebebasan, perlawanan, dan sikap patriotik bangsa Prancis yang digunakan selama Perang Dunia II. Kemudian terdapat juga wiruk atau turibulum yang merupakan alat untuk mendupai dalam suatu pemberkatan – digunakan sebagai simbol seruan Perang Salib di Abad Pertengahan, yang konon salah satunya diumumkan di Prancis-.
Secara lebih jauh, Djoko hendak menyindir, bahwa kepercayaan terhadap dewa-dewi di masa lampau –yang sering disindir masyarakat modern sebagai kepercayaan yang kurang maju- kemudian bermetamorfosis menjadi “mitos yang lebih beradab”, yaitu kepercayaan terhadap monoteisme. Monoteisme sendiri bisa berkembang menjadi mitos yang berbahaya. Sudah diperlihatkan sejumlah fakta dalam sejarah, bahwa dalil-dalil monoteistik kerap digunakan oleh suatu kelompok untuk merepresi kelompok lain di luar dirinya. Hal tersebut diperkuatnya lewat keberadaan timbangan dacin sebagai simbol “keadilan yang bisa dimanipulasi” demi legalitas suatu dogma.
Aris Darisman dengan karya berjudul Recollecting Memories menampilkan instalasi berupa sejumlah kepala tengkorak yang bersusun-susun. Aris, yang membuat karya dengan teknik cetak tekan, hendak menyampaikan, bahwa kematian yang bersifat massal, seringkali punya kaitan erat dengan mitos. Misalnya, dalih pembunuhan massal, acapkali terkait dengan sesuatu yang dipercaya sebagai kebenaran -padahal hanya produksi mitos belaka- seperti: Demokrasi, Perdamaian Abadi, Keamanan Negeri, hingga Kemuliaan Surgawi.
Terakhir, Dodi Hilman mencoba membalikkan segala pandangan kita terhadap produksi mitos yang seringkali dituduh muncul selalu “dari atas” lewat karya berjudul Parasite #1 (yang menggunakan teknik cetak tekan) dan Parasite #2 (yang menggunakan teknik coiling). Melalui objek kaktus, ia hendak menunjukkan suatu mitos yang diproduksi oleh orang-orang “dari bawah” –yang artinya: orang-orang yang sering dipinggirkan, didiskriminasi, dan tidak jarang, direpresi dan distigmatisasi sebagai “parasit”-.
Kaktus, meski tampak seperti sebuah tanaman yang tidak istimewa, namun ternyata punya banyak cerita. Pertama, mitos tentang kisah cinta Quehualliu dan Pasancana yang tumbuh di masyarakat suku Aztek, sebagai simbol cinta yang tak dapat dipisahkan, hingga oleh Dewa Dewi mewujud menjadi kaktus yang abadi tak lekang waktu; Kedua, penggunaan kaktus jenis San Pedro yang dalam tradisi tertentu di Amerika Latin dapat menciptakan efek psikedelik luar biasa sehingga konon dapat memanggil kembali berbagai kenangan. Kaktus adalah mitos tentang cinta dan masa lalu yang hilang, bagi mereka –yang dimarjinalkan dengan sebutan penduduk dari dunia ketiga- yang bermigrasi ke tanah Eropa dengan sukacita, sambil merasa cemas apakah masa depan mereka: sukses atau tinggal nama.
Akhirul kata, selamat menikmati pameran Mythologies ini. Selamat menjelajahi alam mitis, ke tempat-tempat dimana kadang manusia menemukan kedamaiannya.
Syarif Maulana
Kurator
Comments
Post a Comment