Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

(Bioskop Alternatif) Intelektual Muda Prancis Membuat Bioskop Alternatif Jadi Eksis (2 dari 5)

*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.

Meski sulit untuk melacak kapan dan dimana awal mula bioskop alternatif diadakan, namun agaknya satu masa di Prancis pasca Perang Dunia tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Pada periode sekitar tahun 1950-an tersebut, Prancis, yang baru saja lepas dari berbagai pendudukan, mendapat limpahan film dari negara-negara yang pernah berdiam di negeri mereka (seperti Italia dan Jerman). Ditambah lagi, gairah intelektual muda Prancis untuk berbicara tentang film, saat itu, begitu menggebu-gebu. Tercatat ada dua komunitas penyelenggara bioskop alternatif yang eksis pada masa itu, yaitu Objectif 49 dan Cine-Club du Quartier Latin. Mereka memutar film-film dari sutradara Sergei Eisenstein, Anthony Mann, D.W. Griffith, Orson Welles, Lumiere Bersaudara, hingga Alfred Hitchcock. Sudah sejak masa itu pula, bioskop alternatif lekat dengan diskusi pasca pemutaran. Mereka yang hadir ke dua komunitas itu adalah orang-orang cinephile (penggila film) yang identik dengan wawasan luas di wilayah sastra dan filsafat, sehingga baik Objectif 49 maupun Cine-Club du Quartier Latin, keduanya dikenal sebagai tempat lahirnya pikiran-pikiran yang pada perjalanannya mampu mengubah peta perfilman dunia. 

Berangkat dari pemutaran film-film berkualitas dan diskusi yang intensif, kedua komunitas tersebut kemudian bersinergi menghasilkan satu majalah kritik film yang berjudul Revue de Cinema –yang kemudian bermetamorfosis menjadi majalah Cahiers du Cinema yang masih eksis hingga hari ini-. Setiap tahunnya dari sejak tahun 1950 hingga sekarang, Cahiers du Cinema rutin mengeluarkan daftar sepuluh film terbaik berdasarkan penilaian para kritikus. Majalah tersebut tidak hanya diisi oleh review film, melainkan juga hasil pemikiran mendalam para penulis seperti Alexandre Astruc dan Andre Bazin tentang dunia sinema. Selain itu lagi, komunitas bioskop alternatif di Prancis tersebut juga melahirkan sutradara dan kritikus film legendaris seperti Jean Luc Godard, Francis Truffaut, Jacques Rivette, dan Claude Chabrol. 

French New Wave 
Sejauh mana bioskop alternatif di Prancis pada masa itu dapat merubah peta perfilman dunia? Selain yang telah disebutkan di atas, ada satu lagi sumbangsihnya yang tak bisa diabaikan, yaitu lahirnya gerakan French new wave. French new wave berangkat dari tesis bahwa posisi film seharusnya tidak berada di bawah seni-seni yang lain seperti sastra ataupun rupa. Sutradara seharusnya diberi semacam kewenangan penuh untuk melakukan eksperimentasi pada filmnya, sebagaimana seorang sastrawan pada karya tulisnya, dan pelukis pada kanvasnya. Berdasarkan pemikiran tersebut, para sutradara seperti Godard, Truffaut, Rivette, dan Chabrol, membuat filmnya dengan gaya yang sangat eksperimental, seperti teknik sinematografi yang tidak lazim, jalan cerita yang cenderung absurd, dan peran aktor yang berubah-ubah di dalam satu film –contoh filmnya misalnya Breathless (1960), Shoot The Piano Player (1960), Le Mépris (1963), atau Céline and Julie Go Boating (1974). Film dengan gaya french new wave tentu saja tidak mudah dimengerti untuk penonton yang terbiasa menyaksikan film dengan narasi yang umum. Tapi jangan abaikan peran gaya tersebut bagi dunia sinema. Gaya-gayanya kemudian diadopsi oleh banyak sutradara besar yang kita mungkin bisa kenali sekarang ini, seperti Stanley Kubrick dan David Lynch. Sekali lagi, berawal dari semangat independen bioskop alternatif, dapat lahir berbagai pemikiran-pemikiran penting yang mungkin saja menjadi dasar dari berbagai film umum yang sekarang kita lihat di gedung bioskop. 

Perkembangan Berikutnya 
Keberhasilan French new wave mendorong perkembangan bioskop alternatif di seluruh dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, dan wilayah-wilayah Eropa Timur. Selain itu pula, kemudian lahir sutradara-sutradara hebat yang dihasilkan dari bioskop alternatif. Mereka adalah sutradara yang sekaligus juga seorang cinephile –faktanya, tidak semua sutradara ternyata adalah juga cinephile- seperti Quentin Tarantino, Jim Jarmusch, Wes Anderson, hingga Aki Kaurismaki. Tanpa pernah benar-benar belajar ilmu perfilman pada pendidikan formal, mereka bisa menjadi sutradara karena banyak menonton film-film lain. Mereka diuntungkan oleh berbagai forum yang pernah didatanginya ketika memutar pelbagai film non-umum. Artinya, bukan tidak mungkin –dan sudah ada buktinya-, bahwa bioskop alternatif tidak hanya melahirkan penonton-penonton yang cerdas, tapi juga berpotensi menjadi kawah candradimuka bagi kritikus film yang bagus, dan sutradara yang berkualitas. Pada titik itu pula, para penggiat komunitas bioskop alternatif tak perlu patah arang jika apa yang dilakukannya tidak menemui hasil instan. Sejarah sudah membuktikan: Bermula dari perkumpulan kecil di Prancis, wajah dunia sinema berubah, pun wajah peradaban ikut berubah. 

Sumber Pustaka:
Marie, Michel. The French New Wave : An Artistic School. Trans. Richard Neupert. New York: John Wiley & Sons, Incorporated, 2002.
Thompson, Kristin. Bordwell, David. Film History: An Introduction. McGraw Hill. 2010





Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat