Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

(Bioskop Alternatif) Bioskop Alternatif Berkembang Sebagai Ruang Diskusi (1 dari 5)

 
*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.

Dari sekian banyak jenis hiburan yang khas di perkotaan, tentu gedung bioskop menjadi salah satu pilihan yang tidak lekang oleh waktu. Di gedung bioskop, kita bisa menyaksikan film dengan suasana yang dibuat sedemikian rupa sehingga apa yang ditayangkan menjadi terasa lebih megah dan kadang terasa lebih nyata –layar besar, lampu digelapkan, tempat duduk nyaman, dan sound system yang mumpuni-. Hal tersebut tentu menjadi sensasi tersendiri, dibanding jika kita menonton film melalui televisi. Selain itu juga, hal yang menjadi pembeda antara menonton film lewat televisi dan di gedung bioskop, adalah ini: Film yang diputar di bioskop, adalah film-film yang relatif baru dirilis; sedangkan televisi, biasanya lama kemudian setelah film tersebut diputar di bioskop. 

Namun tidak sedikit masyarakat awam yang menganggap bahwa film yang diputar di gedung bioskop adalah film-film “terbaik” pada masanya. Memang pendapat tersebut tidak keliru, tapi bisa sedikit diperdebatkan. Kenyataannya, banyak film-film berkualitas yang tidak diputar di gedung bioskop, karena berbagai pertimbangan, misalnya: durasi terlalu panjang, berasal dari negara yang tidak terlalu populer dengan filmnya (misalnya, negara-negara di Afrika atau Skandinavia), atau topiknya terlalu “berat” sehingga khawatir tidak laku dijual. Artinya, pertimbangan pasar tentu menjadi hal yang utama bagi gedung bioskop yang notabene didirikan untuk meraup keuntungan. 

Lantas, apakah fungsi film adalah melulu harus memenuhi fungsi hiburan? Tentu saja, sebagaimana umumnya sebuah seni, unsur rekreasi tentu harus menjadi salah satu bagiannya. Tapi film, pada dasarnya, juga ada fungsi lain seperti edukasi, refleksi, hingga ke perubahan sosial. Adakah kita dapat temui film-film seperti itu? Ada, jika kita bicara bioskop yang melepaskan dirinya dari definisi-definisi umum tentang gedung bioskop yang dibuat semata-mata untuk kepentingan bisnis. Kita sebut saja bioskop tersebut dengan sebutan: bioskop alternatif. 

Geliat Bioskop Alternatif 
Contoh komunitas yang rajin mengelola bioskop alternatif di Bandung adalah Layarkita. Berdiri sejak tahun 2011, komunitas tersebut aktif mengadakan pemutaran film setiap hari Senin di Auditorium Pusat Kebudayaan Prancis (IFI – Bandung). Film-film yang diputar sangat beragam dan tidak akan bisa kita temukan di gedung bioskop umum seperti Blitz Megaplex atau Cinema 21. Misalnya, ada film-film yang berasal dari Afrika, Eropa, hingga Timur Tengah –yang umumnya sulit untuk kita temukan di gedung bioskop yang umum-. Tidak hanya itu, film-film yang diputar juga ada yang berasal dari tahun-tahun yang sudah lampau, seperti Battleship Potemkin (1925), Seven Samurai (1954), Twelve Angry Men (1957), Bande a Part (1964), hingga 2001: A Space Odyssey (1968).

Penyelenggara bioskop alternatif di Bandung tidak hanya LayarKita. Ada juga Sinesofia, Kineruku, Selasar Sunaryo, Klab Jazz Sinematheque, Garasi10, hingga yang pernah aktif di masa-masa awal, yaitu Sinerupa Pirous (sekitar tahun 1998 hingga 2002). Selain itu, ada juga Warung Film (yang merupakan divisi di bawah komunitas Ruang Film Bandung), yang berkegiatan di Bale Motekar dan bekerjasama dengan UNPAD serta Digital Innovation Lounge (DILo). Mereka mengurus satu ruang yang memang dibuat sedemikian rupa agar seperti ruang bioskop (meski berukuran lebih kecil). Warung Film menawarkan pemutaran film secara reguler hampir setiap hari (kecuali hari Senin) dengan film-film yang utamanya mempunyai semangat indie. Artinya, film-film yang diputar, adalah film yang belum menembus layar lebar, atau sudah turun layar tapi belum sempat diapresiasi oleh orang banyak. Intinya, ada semangat untuk mendukung karya-karya sutradara lokal terutama mereka yang termasuk ke dalam generasi muda. Di sisi lain, pemerintah pun turut memberi perhatian bagi keberadaan bioskop alternatif di Kota Bandung. Misalnya, dengan memberikan fasilitas berupa Taman Film di wilayah Balubur. Meski demikian, Taman Film ini sepertinya masih belum dapat menjadi tempat pemutaran film yang menjadi pilihan utama para cinephile. Selain karena belum adanya jadwal pemutaran film secara reguler, juga secara pengelolaan masih belum jelas. Untuk hal-hal terkait penyelenggaraan screening film yang sifatnya insidentil saja, dibutuhkan birokrasi yang agak berbelit-belit. Meski demikian, Taman Film tetap dapat menjadi harapan para cinephile untuk ke depannya menjadi bioskop alternatif yang berkualitas, terutama dari segi tata suara dan sensasi menonton film di ruang publik yang relatif luas. 

Namun terlepas dari keberadaan Bale Motekar dan Taman Film yang cenderung sudah terfasilitasi secara baik, pada dasarnya bioskop alternatif dapat terselenggara selama ada proyektor, layar (tidak harus, bisa ditembakkan ke tembok), speaker aktif, pemutar (di zaman sekarang, bisa menggunakan laptop), dan tentu saja, material filmnya. Selain itu, ada hal yang patut dipandang sebagai sebuah kelebihan dari bioskop alternatif -selain film-filmnya yang “aneh” dan indie- yaitu kenyataan bahwa bioskop alternatif sering berkembang menjadi sebuah forum diskusi. Hal tersebut tentu didorong oleh beberapa faktor, misalnya: Jumlah orang yang tidak sebanyak bioskop umum, sehingga secara kuantitas menjadi cukup kondusif untuk melakukan diskusi dan dengar pendapat; tempat pemutaran biasanya merupakan tempat yang juga sering digunakan untuk aktivitas lain, seperti rumah tinggal, kafe, ataupun perpustakaan, sehingga suasananya lebih cair daripada gedung bioskop yang fungsinya relatif tunggal hanya untuk menonton film; serta material filmnya memang menarik untuk menjadi bahan diskusi, karena umumnya bisa ditafsirkan dalam berbagai sudut pandang –tidak seperti film yang punya fungsi hiburan semata, yang memang dibuat agar mudah dimengerti-. Intinya, di bioskop alternatif, kebutuhan para cinephile (penggila film) mungkin malah lebih terpuaskan daripada di gedung bioskop umum. 

Bioskop alternatif bisa jadi semacam ikhtiar jangka panjang. Di tengah terpaan media dewasa ini yang kadang sudah tidak peduli lagi aspek edukasi, refleksi, dan gerakan sosial (karena sudah terlalu menghamba pada pasar), bioskop alternatif terus berjuang menghadirkan tontonan yang meski jauh dari kepentingan pasar, tapi punya nilai-nilai yang bisa mencerdaskan penonton kita. Bioskop alternatif ingin pelan-pelan membentuk satu kesadaran dalam masyarakat, bahwa film tidak hanya seperti petasan: Seru sesaat setelah itu hampa. Film tertentu bisa dibahas dengan sangat tidak terbatas, seperti contohnya: gaya sinematografinya (Truffaut dan Godard dengan French New Wave-nya atau Fellini dan De Sica dengan Neo-Realisme Italia-nya), aspek historis dan sosial politik ketika film itu dibuat (film Birth of A Nation dan perang sipil di Amerika, atau The Godfather dan perubahan kepemimpinan di Kuba), psikologi sang sutradara (Alfred Hitchcock yang film-filmnya selalu kental dengan nuansa psikoanalisis) dan masih banyak hal lainnya. 

Memang, sekilas, seolah-olah film menjadi hal yang kemudian dibahas secara bertele-tele dan bisa jadi berlebihan. Namun setidaknya, dengan hadir ke bioskop alternatif, artinya ada bagian dari masyarakat kita yang mau mencoba untuk duduk-untuk-mengerti, berdiskusi, dan tidak begitu saja terbawa oleh arus pasar yang belum tentu benar. Jangan sampai kita menjadi seperti yang dikatakan sutradara Garin Nugroho, yang ucapan tersebut penulis dengarkan dalam sebuah forum filsafat pada sekitar tahun 2012, bahwa, “Kelemahan masyarakat kita adalah selalu ingin menonton film yang langsung bisa dimengerti. Jika ia tidak mengerti, maka ia akan menyimpulkan bahwa filmnya tidak bagus.”



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat