(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
*) Ditulis sebagai suplemen diskusi mengenai ateisme di Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki, atas prakarsa Lembaga Bhinneka hari Sabtu, 30 Agustus 2014.
Sumber gambar: http://bsnscb.com/atheism-wallpapers/27216671.html |
1. Mengapa Ateisme Muncul?
Tentu saja kita bisa mengira bahwa sebelum abad ke-20, sudah terdapat orang-orang yang dalam hidupnya tidak meyakini keberadaan Tuhan. Namun perlu diakui bahwa sikap semacam itu baru disuarakan secara lantang ketika dunia memasuki abad ke-20. Paham ateisme, atau sebuah aliran yang menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, menjadi tren yang berkembang di era modern. Perkembangannya sangat ditopang oleh berbagai hal yang akan kita bahas bersama-sama.
Ketika Eropa memasuki periode Zaman Pencerahan pada sekitar abad ke-17 dan abad ke-18, terdapat sikap percaya Tuhan yang berbeda sama sekali. Seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, Tuhan yang dipercayai oleh –umumnya- para ilmuwan masa itu adalah Tuhan yang bersifat Deisme. Apa itu Tuhan Deisme? Dianggapnya, Tuhan mencipta seperti seorang pembuat jam. Ketika jam itu sendiri sudah selesai dibuat, maka tidak perlu lagi campur tangan sang pembuat jam. Jam itu dibiarkannya berjalan sendiri sesuai dengan mekanisme yang ada. Demikian halnya dengan pandangan terhadap Tuhan. Tuhan membuat dunia dan seisinya, untuk kemudian berhenti bekerja dan membiarkan segalanya berjalan apa adanya. Katanya, tugas para ilmuwan adalah menelaah cara kerja “jam semesta” tersebut tanpa melibatkan keberadaan Tuhan di dalamnya. Hanya dengan demikian, menurut mereka, sains dan teknologi dapat berkembang tidak hanya pesat, melainkan juga objektif serta bebas nilai.
Kepercayaan Deistik tersebut menjadi cikal bakal ateisme modern yang menolak keberadaan Tuhan seluruhnya. Deisme memulai suatu cara berpikir yang memisahkan secara tegas antara Tuhan dan ciptaannya. Bahkan dengan berani ia mengatakan bahwa antara Tuhan dan ciptaannya sudah tidak ada lagi hubungan apa-apa. Pada sejumlah pemikiran ateisme modern, kelak akan diketahui bahwa tidak perlu ada Tuhan lagi sebagai premis sebelum adanya alam semesta. Lebih baik kita andaikan saja bahwa alam semesta tersebut ada dengan sendirinya tanpa sebuah proses penciptaan.
Kemudian August Comte, seorang pemikir Prancis di abad ke-19, memberi sumbangsih bagi cikal bakal ateisme modern. Ia mengatakan bahwa tahap perkembangan manusia terbagi tiga, yaitu tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positif. Tahap teologis adalah ketika manusia mempercayai bahwa ada suatu entitas tunggal yang supranatural di balik segala kejadian di alam semesta ini. Tahap metafisis dianggap Comte lebih maju dari tahap teologis. Tahap metafisis berarti manusia mempercayai bahwa memang ada suatu entitas tunggal, tapi sifatnya tidak supranatural. Entitas tersebut berasal dari unsur-unsur yang ada dalam alam semesta itu sendiri. Misalnya, percaya bahwa alam semesta ini terbuat dari air, dianggap Comte, jauh lebih maju daripada percaya bahwa alam semesta ini dibuat oleh Tuhan. Yang ketiga, tahap positif, yaitu tahap ketika manusia sudah tidak lagi mencari-cari sebab musabab dari seluruh kejadian dari hal-hal di luar alam semesta itu sendiri. Tidak hanya itu, kata Comte, manusia di tahap ini dapat menjelaskan seluruh kejadian secara gamblang dan bahkan mampu mengontrolnya.
Pemikiran Comte tersebut juga memberikan landasan bahwa seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan tidak boleh diiringi dengan kemajuan sikap terhadap yang non-material. Artinya, jika sains dan teknologi semakin maju, maka orang harus pelan-pelan meninggalkan Tuhan, agama, dan kepercayaan-kepercayaan lama.
Periode Abad Pertengahan agaknya menimbulkan trauma serius bagi perkembangan sikap keagamaan orang-orang Eropa. Pada periode tersebut, ke-Kristen-an memegang peran utama dalam segala aspek kehidupan -posisinya berada di atas seni, filsafat, maupun sains-. Meski posisinya sangat sentral, namun banyak pihak menganggap bahwa justru periode tersebut lebih cocok disebut dengan Abad Kegelapan karena dominasi gereja yang amat memberangus kebebasan berpikir. Perbedaan sikap dalam hal sains misalnya (seperti mengatakan bahwa bumi ini bulat atau bumi ini bergerak mengelilingi matahari), akan berujung pada hukuman mati. Selain itu, kenyataan bahwa sikap para pengikut keagamaan yang tidak mencerminkan suatu moralitas yang luhur pun membuat banyak orang merasa tidak lagi simpatik terhadap agama. Misalnya, kenyataan bahwa gereja pada masa itu menjual surat pengakuan dosa dengan harga tinggi menjadi alasan yang dianggap cukup untuk menyuarakan ateisme di kemudian hari.
Di samping ke-Kristen-an, secara umum konsep agama tampak tidak menjelma menjadi suatu contoh tentang perdamaian bagi umat manusia. Slogan agama sebagai penunjuk jalan, pencari solusi, atau pemberi rahmat, justru menjadi kontradiktif ketika mereka malah menjadi sumber problematika seperti perang dan terorisme. Hal tersebut semakin menjadi-jadi ketika disandingkan dengan perkembangan sains dan teknologi yang semakin maju. Agama seolah berbicara tentang hal-hal yang lampau dan terlalu teknis seperti tata cara peribadatan, ketimbang berbuat sesuatu untuk kepentingan umum. Secara umum, Tuhan yang diagungkan oleh agama-agama pun dianggap sudah ketinggalan dan tidak mampu lagi menjawab tuntutan zaman. Hal tersebut membuat orang merasa tidak perlu lagi untuk beragama atau bahkan ber-Tuhan, jika segala persoalan bisa diselesaikan tanpa hal-hal tersebut.
Dalam sejarah filsafat Barat, terdapat sejumlah filsuf yang lantang menyuarakan ateisme. Para filsuf tersebut rata-rata meniadakan Tuhan tidak melulu secara rasional. Mereka merasa konsep Tuhan harus tidak ada demi kebaikan umat manusia. Itu sebabnya kita dapat menyebut ateisme sebagai sikap kemanusiaan baru. Berikut akan dipaparkan lima orang diantaranya, beserta pemikiran masing-masing mengenai Tuhan.
Ludwig Feuerbach dianggap sebagai filsuf paling mula-mula yang menyuarakan ateisme secara lantang. Ia terkenal dengan pernyataan bahwa Tuhan adalah proyeksi. Proyeksi dari apa? Proyeksi dari ketidakmampuan manusia untuk menjadi maha. Kata Feuerbach, manusia mempunyai sifat baik dan ingin menjadi mahabaik. Tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa, maka diciptakanlah Tuhan yang mahabaik. Manusia mempunyai sifat adil dan ingin menjadi mahaadil. Tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa, maka diciptakanlah Tuhan yang mahaadil. Artinya, Tuhan tidak lebih daripada proyeksi dari keinginan-keinginan manusia saja. Sifat-sifat Tuhan adalah sekaligus sifat-sifat manusia. Maka itu, menurut Feuerbach, jika Tuhan tidak ada, maka akan lebih baik bagi manusia. Mengapa? Karena dengan demikian, manusia dapat merealisasikan kemampuannya secara total tanpa memproyeksikannya pada sesuatu yang ia ciptakan sendiri.
Karl Marx dikenal sebagai nabi kaum komunis. Ia adalah orang yang dengan sungguh-sungguh memberikan landasan filosofis bagi para buruh untuk merubah nasibnya dengan cara menggulingkan kaum borjuis. Tidak hanya itu, setelah menggulingkan, kata Marx, kaum buruh tersebut harus mampu mengatur sumber daya secara merata sehingga kesejahteraan menjadi milik bersama. Lantas, apa hubungan pemikiran Marx, yang lebih condong pada ekonomi, terhadap ateisme?
Pertama, Marx mengatakan bahwa agama adalah candu rakyat. Ia menyebut agama adalah semacam ilusi yang memabukkan, yang membuat para buruh yang harusnya memberontak, menjadi tenggelam dalam sikap pasrah dan fatalis. Kata Marx, agama sebaiknya tidak usah ada agar buruh dapat berkonsentrasi terhadap revolusi.
Kedua, pemikiran Marx khas disebut dengan materialisme dialektik. Ia memikirkan sesuatu yang persis kebalikan dari apa yang dipikirkan oleh Hegel. Kata Hegel, alam semesta ini adalah eksternalisasi dari roh absolut. Artinya, segala fenomena-fenomena material hanyalah turunan dari roh absolut yang sifatnya melingkupi dan mendasari segala sesuatu (agar mudah, kita bisa ibaratkan roh absolut sebagai Tuhan). Sebaliknya, Marx berpikir bahwa justru fenomena-fenomena material adalah hal yang lebih utama dan melihat roh absolut sebagai turunannya. Artinya, bagi Marx, dunia ini justru merupakan pertarungan dari hal-hal material, yang ia sebut secara spesifik sebagai pertarungan antar kelas -antara yang borjuis dan yang proletar-.
Dari pemaparan panjang di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pemikiran Marx tidak berpihak sama sekali pada hal-hal non-material (yang sangat mungkin Tuhan termasuk di dalam kategori tersebut). Ia menganggap bahwa kepercayaan terhadap dunia material secara utuh adalah kunci kesejahteraan masyarakat. Pada titik ini kita dapat memahami bahwa Marx meniadakan Tuhan maupun agama demi sebuah kebaikan ekonomi.
Friedrich Nietzsche adalah orang yang amat tegas dalam menolak Tuhan. Dalam bukunya yang berjudul Also Sprach Zarathustra, Nietzsche mengatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Kematian Tuhan itu ia deklarasikan sebagai bentuk keprihatinan terhadap manusia yang semakin hari semakin mempunyai mentalitas seperti budak. Budak yang ia maksud adalah budak dari agama, budak dari Tuhan, dan budak dari peradaban modern secara keseluruhan. Nietzsche mengatakan bahwa manusia harus bermental tuan, yaitu mental sebagai seorang yang ia sebut sebagai “manusia atas” atau uebermensch.
Lebih rumit lagi, untuk menjadi uebermensch tersebut, Nietzsche mengajukan syarat yaitu membunuh Tuhan terlebih dahulu. Mengapa Tuhan harus dibunuh? Kata Nietzsche, jika tidak ada Tuhan, memang pada mulanya akan terjadi semacam kekosongan besar yang terbentang selama dua ribu tahun. Tapi setelah itu, manusia menjadi leluasa sekaligus berdikari. Mereka tumbuh menjadi orang-orang yang berani merumuskan nilai-nilai secara mandiri tanpa harus tergantung dari keberadaan Tuhan yang sudah sejak lama membayangi. Kata Nietzsche, hanya dengan menyingkirkan Tuhan, umat manusia menjadi gembira sepenuhnya sekaligus berkembang melampaui dirinya sendiri.
d. Sigmund Freud
Sigmund Freud dikenal sebagai bapak psikoanalisis. Ia mengatakan bahwa segala tindak-tanduk manusia tidak bisa dilepaskan dari alam bawah sadarnya. Kesadaran manusia, kata Freud, adalah seperti gunung es: Bagian puncaknya memang kelihatan, tapi sedikit sekali. Yang tidak kelihatan itulah bagian yang lebih besar, gelap, dan dalam. Sebagai seorang ahli kejiwaan, Freud menyebut bahwa agama adalah semacam neurosis kolektif, atau dalam bahasa yang lebih lepas dapat diartikan sebagai kegilaan massal. Menurut Freud, tidak ada perbedaan antara orang yang mengalami gangguan kejiwaan dengan orang yang beragama. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa konsep Tuhan adalah sebentuk ilusi infantil. Jika seorang anak merasa ketakutan, maka wajar jika ia mengadu pada ayahnya. Namun seorang dewasa tidak pantas jika ia ketakutan, mengadu pada apa yang ia anggap sebagai ayah, yaitu Tuhan. Seorang dewasa sudah sepantasnya untuk menghadapi setiap persoalan sendirian tanpa mengadu. Ia yang masih mengadu, berarti masih kekanak-kanakkan.
Jean Paul Sartre adalah filsuf Prancis beraliran eksistensialisme. Secara umum, eksistensialisme mengatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Apa arti pernyataan tersebut? Artinya, manusia eksis terlebih dahulu, baru ia merumuskan apa makna dari kehidupannya. Apa yang unik dari pemikiran semacam itu? Tentu saja unik jika dibandingkan dengan konsep manusia menurut agama pada umumnya. Dalam perspektif agama, esensi manusia sudah dirumuskan sebelum kelahirannya. Misalnya, dalam Islam, tujuan manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi. Para filsus eksistensialis menolak dengan keras konsep semacam itu. Sartre misalnya, mengatakan bahwa manusia ada sebagai causa prima. Ia hadir begitu saja tanpa tedeng aling-aling. Ia muncul seperti sebuah keterlemparan. Perjalanan hidupnya ke depan kemudian menentukan siapa dirinya, apa makna kelahirannya, dan apa sesungguhnya kehidupan ini.
Sartre menyuarakan kebebasan manusia dalam segala aspek. Saking bebasnya, Sartre menyebut manusia sebagai makhluk yang dikutuk untuk bebas. Atas dasar itu, Sartre berpendapat bahwa Tuhan tidak mungkin ada dan tidak boleh ada. Tidak mungkin ada karena kata Sartre, jika Tuhan ada, maka manusia pasti tidak bebas. Tapi kenyataannya, lanjutnya, manusia adalah makhluk yang bebas, maka itu dengan sendirinya Tuhan tidak mungkin ada. Lantas, Tuhan pun tidak boleh ada. Karena kalau dia ada, kata Sartre, maka manusia akan kehilangan kebebasannya.
3. Menjadi Ateis = Menjadi Humanis?
Kita bisa saja setuju bahwa soal ada atau tidaknya Tuhan adalah di luar batas epistemologi manusia. Ia bisa saja diadakan untuk mempermudah manusia menjelaskan berbagai hal terkait causa prima, atau ia bisa saja ditiadakan dan hidup ini akan terasa baik-baik saja. Namun sudah jelas bagi para filsuf yang pemikirannya sudah dijelaskan di atas, meniadakan Tuhan harus didasari oleh kebaikan bagi umat manusia. Menjadi seorang ateis adalah pilihan yang tidak mudah. Kita harus menyingkirkan dengan tegas sebuah konsep yang barangkali tertanam secara a priori dalam diri manusia. Upaya penyingkiran tersebut adalah sulit, bahkan bagi seorang Sartre sekalipun. Ia mengumpamakan bahwa menjadi ateis adalah seperti menaiki kereta tanpa karcis. “Saya berupaya menghindar dari kondektur sebisa mungkin, tapi sebenarnya di ujung perjalanan tidak ada seorangpun yang menanti saya di stasiun,” ujarnya.
Menjadi ateis berarti menolak segala moralitas yang sudah dibebankan padanya melalui ajaran agama-agama. Seorang ateis harus merumuskan sendiri kebaikan demi kebaikan berdasarkan pengalaman, kenyataan masyarakat, hingga suara hati. Selain itu, bagi seorang ateis, ketiadaan Tuhan menjadikan hidup ini absurd dan bergerak menuju kekosongan belaka. Bisa jadi untuk menutupi perasaan gelisah akan kematian tersebut, seorang ateis tidak menggantungkan hidup pada kehidupan nanti, melainkan berusaha berbuat sebaik-baiknya di kehidupan sekarang. Ateisme, dengan segala konsekuensi kekosongan batin yang dihasilkannya, tetap berfungsi melahirkan suatu sikap moral yang matang dan penuh kesadaran.
Selain itu, ateisme tidak berarti menolak segala bentuk spiritualitas. Ateisme bisa jadi hanya sebatas mengritik konsep religiusitas serta Tuhan yang bersifat personal. Tapi tidak bisa tidak bahwa seseorang bisa mempunyai perasaan akan sesuatu yang agung, yang lebih besar dari dirinya -meski para ateis tidak menamai sesuatu itu dengan konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya-. Sikap penerimaan akan sesuatu yang spiritual tersebut justru menciptakan renungan-renungan pribadi yang amat reflektif. Kita harus ingat bagaimana orang-orang besar yang identik dengan bidang keagamaan seperti Muhammad, Yesus, Buddha, ataupun Konfusius, pada mulanya adalah orang yang jarang sekali membicarakan Tuhan. Mereka mendapat sejumlah pencerahan setelah mula-mula mempertahankan sikap keragu-raguan akan sesuatu. Barangkali sebelum pemikiran-pemikiran segar dan progresif mereka diinstitusikan menjadi agama, orang-orang tersebut berjuang mencari kebenaran dalam kondisi gelisah dan penuh kekosongan batin. Pada titik ini, ateisme bisa menjadi suatu fondasi terkuat untuk menemukan spiritualitas yang sejati.
Comments
Post a Comment