Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Musik Klasik Bandung Pasca Mutia Dharma

Mutia Dharma (tengah) bersama saya ketika siaran di 100.4 KLCBS dalam rangka konser Ragazze Quartet (2014)
 
Tanggal 27 Februari kemarin, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, di ruang ICU RS Santo Yusuf, seorang aktivis musik klasik berjuang meregang nyawa melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya dalam setahun terakhir. Tubuh sang aktivis tersebut akhirnya menyerah dan memilih untuk melepas jiwa pada Sang Khalik. Mutia Dharma adalah aktivis musik klasik yang bisa dikatakan tidak tertandingi di Bandung. Entah berapa banyak konser dan workshop yang sudah ia adakan, baik level lokal maupun internasional. Jika berusaha dikira-kira, pada masa jayanya (sebelum beliau mulai sakit), konser yang diadakan Mutia -dengan Classicorp Indonesia sebagai benderanya- bisa sampai paling sedikit dua bulan sekali diadakan -frekuensi lebih dari cukup untuk musik yang tidak terlalu banyak penggemarnya-. Artinya, wafatnya Mutia bisa menjadi dampak serius. Jika tidak ada regenerasi yang kuat, maka ini sama juga dengan kematian penyelenggaraan musik klasik di Kota Bandung.

Mari mengulas sedikit saja apa yang sudah dilakukan oleh Mutia semasa hidupnya untuk musik klasik -disamping ia juga aktif sebagai guru piano dan pianis konser- dari sekian banyak kontribusinya. Dari sepuluh tahun pengabdiannya, saya akan coba memaparkan program-programnya dalam tiga atau empat tahun terakhir saja: Resital Piano Danang Dirhamsyah (2013), Resital Biola Tomislav Dimov (2013), Masterclass oleh Tomislav Dimov dan Sam Haywood (2013), French Piano Competition (2013), Piano Pedagogy Workshop (2013), Kuliah dan Masterclass oleh Toru Oyama (2013), Bandung Piano Festival (2013), Klasikfest (2013), Masterclass Piano oleh Patrick Zygmanowski (2013), Konser Love and Misadventure (2014), Wind Festival (2014), Resital Biola Arya Pugala Kitti (2014), Resital Piano Elvira Kartikasari Budiman (2014), Frauenliebe (2014), Cello Class oleh Leslie Tan (2014), A Day at The Piano (2014), Resital Piano Leandro Christian (2014), Resital Vokal Catrina Poor (2014), Konser Ragazze Quartet (2014), Seminar Sehari Pedagogi Piano oleh Iswargia R. Sudarno (2014), Resital Biola dan Piano Finna Kurniawati dan Glenn Bagus (2014), Konser dan Festival Camp oleh Toru Oyama dan Dody Soetanto (2015), Resital Flute dan Piano oleh Marini Widyastari dan Harimada Kusuma (2015), Resital Piano Empat Tangan oleh Dr. Hyeesok Kim dan Dr. Mary Scanlan (2015), Resital Duo Victoria Audrey Saraswati dan Dainis Medjaniks (2015), Resital Biola Arya Pugala Kitti (2015), Bandung String Camp (2015), Ensemble Doulce Memoire (2015), Workshop "Basso Continuo" oleh Adhi Jacinth (2015), Kompetisi Piano untuk Pianis Muda Bandung (2015), Le Carnaval Des Animaux (2015), Chamber Concert (2015), dan Mozartfest (2015). Lalu sepertinya ketika mulai sakit, frekuensi konsernya menjadi turun drastis di tahun 2016 yaitu: Konser Domus String Quartet, Resital Duo Ardelia Padma Sawitri dan Felix Justin, dan terakhir Bandung String Camp.

Dengan produktifitas setinggi itu, rasanya mustahil bagi penyelenggara manapun untuk mampu menyaingi. Sebagai contoh, komunitas yang saya koordinir, KlabKlassik, meski usianya tidak jauh berbeda (sekitar sepuluh tahun), bisa menyelenggarakan lima atau enam konser setahun saja sudah bagus. Memang, fokus kami sedikit berbeda. Jika Classicorp memang mengabdikan diri pada konser-konser dan masterclass, KlabKlassik lebih pada pemberdayaan apresiator melalui komunitas (temu rutin mingguan). Namun poinnya adalah: Tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan peran Mutia, setidaknya dalam waktu dekat ini. Celakanya lagi, sudah menjadi rahasia umum, bahwa Mutia adalah seorang petarung: Ia hampir mengerjakan semua konser itu seorang diri. Memang kemudian di hari-H, ia akan merekrut sejumlah orang untuk memberi bantuan, tapi sekali lagi, secara konseptual dan bahkan sejumlah teknis persiapan (seperti desain poster, tiket, booklet, hingga kontak musisi) dilakukannya secara solo. Artinya, bisa jadi, tidak ada suksesor, -yang bahkan dari Classicorp itu sendiri- yang berpotensi melanjutkan jalan pikiran beliau. 

Pasca era Mutia, mungkin penyelenggaraan musik klasik untuk sementara waktu akan jalan sendiri-sendiri. Dalam arti kata, setiap komunitas, setiap musisi, setiap sekolah musik, akan membuat konser dengan kelompoknya sendiri sebagai penyelenggara. Ini tentu saja tidak terlalu menjadi persoalan karena saya yakin setiap kelompok pasti ingin menonjolkan dirinya masing-masing. Hanya saja, dari kacamata publik, kerapatan penyelenggaraan mungkin tampak kurang jelas. Jika di masa Classicorp berjaya, kita bisa dengan mudah menemukan konser hampir sebulan sekali, maka mungkin nantinya -sebagai dampak dari penyelenggaraan masing-masing tersebut- frekuensi konser bisa menjadi tidak jelas: Bisa sebulan ada dua atau tiga konser, atau tidak ada konser sama sekali dalam periode yang lama. Pun hal tersebut bisa juga berdampak pada harga tiket. Setiap kelompok tentu punya persepsinya sendiri mengenai harga tiket, sehingga akhirnya tidak ada standar atau minimal range yang umum (bisa sangat mahal atau bisa juga tidak bayar sama sekali). Pada akhirnya, apresiator menjadi kian tersegmentasi (karena tidak sedikit penonton dari suatu kelompok tidak mau menonton pertunjukkan dari kelompok lain oleh sebab mulai dari harga tiket atau hal macam-macam lainnya). Dampak lebih jauhnya, nasib musisi muda bisa menjadi kurang berkembang karena tidak dihadapkan pada publik yang "sebenarnya" (karena itu tadi, yang menonton mungkin sebagian besar hanya dari kelompoknya sendiri).

Classicorp bukannya murni netral. Ia juga punya medan sosialnya sendiri: tempat penyelenggaraan yang itu-itu juga, sekolah musik yang diajak yang kurang lebih itu-itu juga, sampai musisi yang kurang lebih itu-itu lagi (terutama yang lokal). Tapi jangan lupa, Classicorp punya jejaring internasional yang luas sehingga ketika musisi-musisi luar negeri sukses didatangkan, dampaknya sangat baik bagi bersatunya seluruh apresiator dan musisi tanpa memandang sekat-sekat kelompok. Pertanyaannya: Siapa yang bisa melanjutkan jejaring internasional Mutia? KlabKlassik pernah beberapa kali mengadakan konser dengan penampil asing (Moritz Ernst, Bruno Procoppio, Urs Bruegger, Alessio Nebiolo, dan sebagainya). Tapi tetap, urusan frekuensi, masih jauh tertinggal dari Classicorp. Sekali lagi, jejaring internasional yang luas dan rapat tetap menjadi pekerjaan rumah bagi siapapun penerus Mutia nantinya.

Terakhir, penting untuk diingat, bahwa sebagaimanapun ramainya konser sepeninggal Mutia, tetap beliau selalu menguatkan rantai agar tidak terputus: aspek edukasi dan pembinaan generasi muda. Harus diakui, Mutia berhasil pelan-pelan membangun ekosistem musik klasik yang bagus dengan terus menyediakan panggung bagi musisi muda -yang dalam beberapa programnya, musisi muda tersebut terlebih dahulu diedukasi ilmu dan pengalaman dari musisi yang sudah malang melintang (misal: program string camp atau masterclass)-. Lewat program ini juga, Mutia berhasil menyatukan banyak orang dalam sebuah energi yang positif -karena demikianlah sifat edukasi jika dijalankan secara tulus-. 

Hanya saja, kalaupun Mutia bersikap seperti seorang petarung solo dalam menghadapi itu semua, pada akhirnya saya bisa mengerti juga. Di Indonesia dan khususnya di Bandung, untuk menjadi penyelenggara musik klasik dibutuhkan keimanan yang tidak main-main. Meski sudah menghadirkan musisi internasional ternama, kehadiran penonton tetap sulit untuk diprediksi -bisa ramai, bisa sedikit sekali-. Pun sponsor dengan dana besar atau media massa belum sepenuhnya menganggap penyelenggaraan musik klasik sebagai hal yang menarik. Penyelenggaraan musik klasik di Bandung, secara umum, masih mengandalkan dana dari tiket atau bahkan patungan dari para pemusik yang akan tampil. Itu sebabnya, mungkin, saya mencoba menebak pikiran Mutia: Daripada ia repot-repot mengajak orang yang belum punya level keimanan yang sama, lebih baik kerja sendiri saja. Hanya saja, ke depannya, meski sikap idealis tersebut terbukti tetap membuat program-program berjalan lancar, namun tetap mempunyai dampak kurang baik bagi regenerasi dan suksesi. Maka, siapapun penerus Mutia, bekerja dalam organisasi, meski kadang harus berbenturan dengan idealisme individu, pada akhirnya, tetap penting. Selain memudahkan kerja lapangan, juga untuk meneruskan tongkat kepemimpinan.


      

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...