Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Betawi dalam Sarnadi Adam

"Kalau orang Betawi itu.."

Entah berapa kali saya mendengar Pak Sarnadi Adam memulai kalimat dengan kata-kata itu. Meski cuma enam hari berjumpa dalam rangka pameran Asian Silk Link Art Exhibition di Guangzhou, Tiongkok, Pak Sarnadi berhasil membuat saya tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang Betawi. Siapakah Pak Sarnadi? Cukup ketik di Google nama "Sarnadi Adam" maka akan ada 3200-an entri terkait nama ini dan hampir semuanya mengaitkan beliau dengan ke-Betawi-an. Secara spesifik bahkan disebutkan bahwa Sarnadi Adam adalah seorang "pelukis Betawi", "maestro seni lukis Betawi", hingga "pelukis Betawi yang go international". 

Tapi tentu, tiada yang lebih menguntungkan daripada punya kesempatan berbincang langsung dengan Pak Sarnadi selama enam hari -daripada sekadar baca-baca tentangnya di internet-. Saya jadi tahu, bahwa Pak Sarnadi pernah berambut gondrong; saya jadi tahu, bahwa setiap dua tahun sekali, Pak Sarnadi berpameran di Belanda yang membuat orang-orang Belanda yang sudah sepuh, merasa ingat pada Betawi ketika mereka pernah tinggal di sana masa-masa tempo doeloe; saya jadi tahu, bahwa Pak Sarnadi sangat dekat dengan tokoh-tokoh Betawi yang juga diketahui banyak orang, seperti seniman Benyamin, Rano Karno, Mandra, hingga politisi seperti Fauzi Bowo, Haji Lulung dan Sylviana Murni; saya jadi tahu, bahwa dari menjual lukisanlah, Pak Sarnadi bisa membeli mobil dan naik haji; saya jadi tahu, bahwa Pak Sarnadi sudah pernah berpameran di New York hingga ke Swedia; dan lain-lain, dan lain-lain. 

Meski demikian, hal menarik dari Pak Sarnadi adalah itu tadi: Kebanggaannya yang terus digaungkan atas Betawi dan orang-orangnya. Ketika ada obrolan yang ramai membicarakan tentang berkurangnya sopan santun generasi muda hari ini pada orangtua, Pak Sarnadi selalu menyela cepat, "Tidak, kalau orang Betawi masih mengerti sopan santun pada orang tua. Kami selalu diajarkan untuk cium tangan pada orang tua." Ketika ada obrolan yang ramai membicarakan tentang stereotip orang Betawi dalam film Si Doel Anak Sekolahan yang salah satunya direpresentasikan oleh Mandra (penuh kepolosan, bahkan kekonyolan), Pak Sarnadi juga menukas, "Tidak, kalau orang Betawi itu sebenarnya pintar-pintar. Banyak diantaranya juga jadi dokter. Mungkin memang ada, beberapa gelintir orang Betawi yang malas, itu karena hidupnya keenakan, sudah diwariskan rumah dari orangtuanya, sehingga dia tinggal kontrak-kontrakkan dan menerima uang sewa saja. Tapi sekarang lihat, generasi muda Betawi sudah banyak yang tangguh."

Persoalan apakah pernyataan-pernyataan Pak Sarnadi itu merupakan fakta objektif atau hanya sebatas "pembelaan kultural", sebenarnya tidak menjadi terlalu penting. Bahkan saya berpikir, kalaupun ini cuma pembelaan kultural, lantas kenapa? Bukankah pada akhirnya kita harus melakukan pembelaan kultural untuk meyakinkan orang lain, dan juga diri kita sendiri, sebagai bagian dari pengembaraan identitas yang tiada henti? Kita semua disibukkan, dalam percakapan sehari-hari, oleh pembelaan-pembelaan kebudayaan yang tiada putus antar satu manusia dan manusia yang lain. 

Saya tentu saja sekarang jadi punya pandangan lain tentang Betawi berkat pembelaan kultural Pak Sarnadi. Pembelaan tersebut tidak hanya dalam kata-kata, tapi juga didukung oleh karya-karya beliau yang sangat kuat dan jujur melukiskan fenomena keseharian dalam kebudayaan Betawi, seperti penari cokek, ondel-ondel, pernikahan orang Betawi, hingga suasana lebaran di Betawi. Sekarang jika saya mengenang percakapan-percakapan dengan Pak Sarnadi, saya akan membayangkan Betawi dengan senyum yang mengembang. 



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...