(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Semester ini dapat dikatakan sebagai semester paling ideal untuk saya. Alasannya, pertama, saya diberi kesempatan untuk fokus pada satu mata kuliah saja -dan itu mata kuliah favorit saya- yaitu filsafat komunikasi. Alasan lainnya, saya mengajar filsafat komunikasi dengan berlandaskan silabus yang saya buat sendiri dan buku ajar yang saya tulis sendiri. Dalam arti kata lain, semester ini jadi semester yang benar-benar "saya".
Ketika menuliskan ini, semester baru saja berlalu setengahnya. Di rumah, saya mengoreksi ujian tengah semester dengan perasaan yang campur aduk. Ada perasaan senang oleh sebab jawaban-jawaban yang rumit, sistematis, dan mengutip kata-kata "filsuf langitan" seperti Nietzsche atau Heidegger; Ada perasaan sedih oleh sebab jawaban-jawaban yang datang dari pengetahuan seadanya dan menganggap bahwa "filsafat itu kebebasan" sehingga bisa dijawab dengan isian apapun; Ada perasaan galau oleh sebab pertanyaan yang terus menggelayuti saya selama membaca kalimat per kalimat yang tertulis dalam lembar jawaban. Pertanyaan itu adalah, "Adakah filsafat itu dapat diajarkan?"
Mungkin filsafat memang benar bisa diajarkan. Tidak sulit untuk mentransfer pengetahuan tentang siapa mengatakan apa, siapa dilahirkan di zaman apa, hingga mengapa si anu melahirkan pikiran anu. Sejujurnya saya pribadi menikmati jawaban-jawaban akurat dari mahasiswa yang bisa menyebutkan kapan dan dimana Marx atau Schleiermacher dilahirkan, serta apa saja yang beliau-beliau katakan dan dijadikan tagline favorit dalam sejarah pemikiran Barat. Saya sering refleks saja memberi nilai tinggi untuk jawaban yang "benar" semacam itu. Namun sekali lagi saya harus tanyakan pada diri sendiri, "Benarkah dengan demikian, mereka dapat dikatakan paham filsafat?"
Untuk menjawab itu, saya harus mengingat sebuah kalimat yang saya baca dari novelnya Herman Hesse yang berjudul Siddharta. Di buku itu tertulis, "Pengetahuan dapat diajarkan, tapi kebijaksanaan itu tidak. Kebijaksanaan, jika diajarkan, akan terdengar seperti orang bodoh." Berdasarkan kalimat Hesse tersebut, mungkin memang benar bahwa para mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan tentang filsafat. Tapi menjadi urusan yang sama sekali lain ketika ditanya apakah mereka betul-betul memahami filsafat atau tidak. Filsafat seharusnya lebih daripada sekadar "benar" di atas selembar kertas. Filsafat adalah kebijaksanaan. Filsafat adalah laku dan tindakan yang menubuh. Filsafat adalah world view. Filsafat adalah seperti kata Jostein Gaarder dalam Dunia Sophie: Cara agar manusia tidak berjalan di atas lapisan es yang tipis. Tapi jika filsafat adalah seromantis yang saya jabarkan itu, maka masalah menjadi bertambah pelik, "Adakah keseluruhan makna filsafat yang mendalam itu bisa ditransfer dalam satu semester saja?"
Pada pertanyaan terakhir itu, saya memutuskan untuk meletakkan pena yang digunakan untuk mengoreksi jawaban. Saya mundur sejenak dari meja kerja untuk melihat segalanya lebih jernih. Saya berkaca pada diri sendiri: Saya dapat dikatakan sudah belajar filsafat dari sejak kecil, dari petuah Bapak yang tidak saya pahami; saya terbiasa dengan lingkungan pemikir, dimulai dari keluarga inti saya yang semuanya adalah dosen -asumsikan saja bahwa dosen pasti seorang pemikir, walau belum tentu juga-; saya ikut kelas publik filsafat dari tujuh tahun silam dan hingga kini tetap mengikutinya; saya melahap buku filsafat hampir setiap hari dengan rasa antusiasme yang tinggi; saya rajin menuliskan renungan saya ke dalam blog ini hampir setiap muncul perasaan galau. Artinya, jika saya ingin agar mahasiswa memahami filsafat hingga ke sumsumnya, saya tidak hanya harus mentransfer pengetahuan, tapi juga: lingkungan, kesempatan, dan antusiasme.
Pada akhirnya, aspek-aspek itu menjadi mustahil jika harus ditransfer juga. Pada akhirnya, tidak harus apa yang ada di hati dan kepala saya, menjadi harus ada di hati dan kepala mahasiswa juga. Saya harus mengingat betul kata-kata Bambang Q-Anees yang memberi saya petuah sebelum memulai karir menjadi dosen sekitar lima tahun silam. Katanya, "Mengajarlah seperti hujan. Siramilah seluruh alam tanpa kecuali. Masing-masing dari mereka akan mengambil sesuai dengan kebutuhannya. Ada tanah kering, ada tanah basah, ada petani, ada pebisnis, ada direktur, ada pepohonan, masing-masing punya kadar sendiri-sendiri dalam menerima hujan." Artinya, biarkan mahasiswa yang menerima kadar filsafat itu sesuai dengan kebutuhan hati dan kepalanya. Saya mengajar saja sepenuh hati, dengan antusiasme yang meledak-ledak seperti biasanya. Toh, tidak semua orang harus berakhir sebagai filsuf.
Kemudian merenung
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete