Ramai soal Gus Miftah. Tak perlu diceritakan detailnya di sini. Lagipula, saya tak merasa harus mengomentari kata-kata Gus Miftah terhadap pedagang es teh. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah reaksi publik yang begitu masif, diantaranya dengan menyebarkan konten bertuliskan "lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama". Selain itu, ada juga petisi yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk mencopot jabatan Gus Miftah dari posisinya sebagai utusan khusus. Apapun itu, saya menilainya sebagai bentuk isyarat kebajikan atau virtue signaling . Tak ada yang benar-benar peduli pada Gus Miftah atau tukang es teh. Masing-masing hanya memperagakan suatu sikap yang sejalan dengan apa yang sedang ramai. Jika benar-benar ditanya apakah Anda bersedia jualan es teh? Saya yakin sebagian besar menjawab tidak, bahkan dalam hatinya mungkin merasa lebih baik jualan agama karena sudah pasti lebih menguntungkan. Dalam pandangan publik, pergulatannya sederhana sekali: mereka membangun per...
(Dimuat dalam katalog pameran tunggal Setiawan Sabana yang berjudul Lakon Tubuh)
Hampir setiap tradisi pemikiran, punya pendapatnya sendiri mengenai tubuh. Dalam Buddhisme misalnya, tubuh dan jiwa adalah satu dan tidak bisa dipisahkan –sama dengan apa yang dipikirkan oleh filsuf Prancis, Maurice Marleau-Ponty yang mengatakan bahwa, “Manusia adalah tubuh yang mer-ruh, dan ruh yang menubuh”-. Pemikir Yunani, Plato, mengatakan bahwa tubuh adalah penjara jiwa. Artinya, yang inti dari manusia, sebenarnya, adalah jiwanya –senada dengan tradisi Islam yang menyebutkan bahwa jiwa kita pernah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan di surga sana, sebelum menjadi lupa karena pengaruh tubuh dan ketertarikannya pada dunia-. Michel Foucault, seorang pemikir posmodern asal Prancis, malah berkata sebaliknya. Katanya, justru jiwa adalah penjara bagi tubuh. Mengapa? Karena tubuh kadang tidak leluasa bergerak oleh sebab jiwa yang terus gelisah menginginkan sesuatu.
Namun mari fokus membicarakan tubuh dan posisinya dalam agama-agama Abrahamistik. Kristianitas, misalnya, menganggap tubuh itu sebagai suci, tapi juga bergelimang dosa. Tubuh adalah bait Allah, katanya, sehingga dilarang merusaknya oleh hal-hal seperti rajah, rokok, bahkan makanan-makanan yang tidak sehat. Namun dalam tradisi Kristen yang lain, justru tubuh itu menimbulkan “nafsu kedagingan” yang mengganggu kemurnian jiwa. Itu sebabnya, terdapat upacara tertentu yang mencoba mendisiplinkan tubuh itu sendiri dengan cara-cara yang asketik.
Soal tubuh dalam Kristianitas itu sendiri, pernah digambarkan secara kontroversial dalam film The Last Temptaton of Christ oleh sutradara Martin Scorsese. Dalam film tersebut, disebutkan bahwa Yesus, oleh sebab tubuh manusianya, menjadi punya banyak sifat-sifat manusiawi yang justru bertentangan dengan keilahiannya, seperti rasa takut, sedih, marah, cemas, hingga gairah dan hasrat. Misalnya, ketika Yesus menghidupkan kembali Lazarus yang sudah meninggal, ditampakkan wajahnya yang penuh keheranan, ketakutan, dan jauh dari kesan-kesan yang menunjukkan bahwa dia punya “kesaktian” Ilahiah.
Dari film tersebut kita bisa mengatakan bahwa tubuh, pada dasarnya, adalah identitas kemanusiaan yang paling hakiki. Ia juga medium terpenting bagi jiwa dalam rangka memahami dunia dengan segala kebahagiaan serta praharanya. Dalam tradisi Islam, kita lihat bahwa Muhammad, dengan cahaya Ilahi yang kuat di dalam dirinya –ditambah lagi jaminan bahwa ia akan masuk surga dan segala tindak tanduknya telah diberkati (di-ma’shum)-, masih merasakan kegelisahan yang besar ketika wahyu pertama turun padanya lewat malaikat Jibril. Ia banyak menyepi di Gua Hira dan tidak menunjukkan kegembiraan sama sekali dengan statusnya yang suci tersebut.
Artinya, dalam diri orang tersuci sekalipun, tubuh membuat mereka menyadari dunia seutuhnya. Memahami bahwa dunia, tak mungkin dipahami dengan jiwa-jiwa yang murni dan terang senantiasa. Dunia harus dipahami segala realitas, kemajemukan, serta kenisbiannya, dengan segala totalitas yang hanya dipunyai oleh tubuh dengan segenap perangkatnya.
Tubuh dan Via Positiva
Dengan pendapat yang begitu berseliweran tentang tubuh, mulai dari yang membahas kesuciannya hingga kehinaannya, bagaimana seharusnya kita menyikapi keberadaan tubuh? Agak sulit untuk menjawab pertanyaan yang agak berbau retoris semacam itu. Mungkin jika kita mengaitkan posisi tubuh dalam tujuannya untuk mencapai pemahaman tentang sesuatu yang luhur, transenden, dan ilahiah, kita bisa mengambil dua sikap. Pertama, adalah via negativa, yaitu melalui tubuh, menolak dunia dan seisinya, dan menjalani kehidupan yang asketik dan menjauhi “kedagingan”. Kita bisa melihat sosok semacam ini pada diri orang-orang seperti bhiksu, pertapa, bahkan pastur. Orang-orang yang melakukan via negativa percaya bahwa tubuh harus didisplinkan, dikelola, dan bahkan kalau perlu, disiksa, agar yang murni hanyalah tinggal jiwa.
Namun kemudian tidak semua orang menganggap via negativa adalah hal yang paling benar dalam mencapai kemurnian. Ada juga mereka yang via positiva, yaitu orang-orang yang merengkuh dunia sepenuhnya. Tentu ini ada kaitan erat dengan tubuh. Tubuh adalah medium terpenting bagi seseorang untuk mencerap segala yang disenangi oleh penginderaan. Tidak ada masalah bagi penganut pemikiran via positiva ini, untuk bersikap estetik, hedonistik, dan memanjakan tubuhnya seperti kaum Epikurean di zaman Hellenistik. Mereka percaya bahwa kenikmatan-kenikmatan badaniah adalah jalur spiritual terbaik dalam mencapai keilahian.
Kita tahu bahwa dalam setiap sikap via positiva, selalu menanti rasa sakit sebagai konsekuensi dari setiap kenikmatan badaniah (misalnya, seseorang yang sangat dimanjakan oleh memakan eskrim, tentu akan merasa sakit ketika eskrim yang ia inginkan tidak dapat dibelinya). Rasa sakit itu juga yang sepertinya dihindari oleh para biksu dan pertapa, dengan menolak segala pemanjaan raga. Namun atas segala rasa sakit yang dibawa akibat kenikmatan badaniah tersebut, justru manusia dapat menemukan kemurniannya. Ia dapat merasakan hidup sebagaimana adanya. Bahkan seorang Siddharta Gautama, yang awalnya adalah seorang via negativa sejati dengan segala kehidupan yang asketik dan menjauhi “kedagingan”, pada akhirnya merasa bahwa dunia ini harus diselami dengan segala pahit dan getirnya. Demikian tubuh harus menjadi cara kita dalam –tidak hanya memahami, tapi juga- mencintai dunia dan seisinya.
Amor Fati, Fatum Brutum
Comments
Post a Comment