(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Beberapa bulan ke belakang, Kang Ammy (Ammy Kurniawan, pemain biola), mengontak saya via Whatsapp. Katanya, “Saya ingin membuat pertunjukkan rutin di kafe, tapi hanya lima belas menit saja per penampilan.” Waktu itu, saya tidak begitu menggubris ide tersebut. Apa yang bisa diharapkan dari pertunjukkan cuma lima belas menit? Tidakkah orang-orang yang datang ke sebuah kafe, berharap ada live music yang durasinya cukup panjang untuk menemani mereka berbicang-bincang sambil bersantai?
Lima belas menit tentu saja terlalu pendek. Lima belas menit adalah durasi yang dibutuhkan bagi orang untuk menunggu pesanannya datang. Setelah pesanan itu datang, mereka akan bersantap kurang lebih setengah jam. Kemudian, sehabisnya hidangan, orang-orang di kafe akan mengobrol hingga lama, tergantung suasana sekitar yang mendukung. Artinya, live music yang “ideal” tentu saja tidak kurang dari satu setengah jam.
Namun, Kang Ammy tetap bersikeras akan ide pertunjukkan berdurasi lima belas menit tersebut. Ia mulai menyusun jadwal penampil yang akan mengisi panggung seminggu tiga kali. Panggung yang dipilih adalah di Java Preanger Coffee House -yang memang sudah sejak dua tahun ke belakang, menjadi “homebase” bagi Kang Ammy dan sekolah musiknya, yaitu Ammy Alternative Strings-. Penampil demi penampil menaiki panggung nyaris dua kali sehari. Diawali oleh Kang Ammy dan beberapa penampil yang rutin mengisi panggung di Java Preanger Coffee House –seperti gitaris Hilman Patria dan pemain suling, Abah Aspara-, gaung acara yang dinamakan “Musik 15” tersebut semakin besar. Satu per satu musisi profesional seperti Ray Jeffryn, Mojang String Quartet, Nissan Fortz, Tesla Manaf Effendi, Ary Juliyant, Muktimukti hingga 4 Peniti, tidak lagi ditawari, melainkan malah menawarkan diri untuk mengisi panggung. Bahkan entah dua atau tiga kali, “Musik 15” mendapat perhatian dari media massa. Para wartawan tertarik tentang mengapa, acara dengan durasi sependek ini, dapat menyedot sejumlah musisi untuk hadir dan mengisi. Padahal, tiada satupun dari mereka yang mendapat bayaran.
Apakah yang membuat “Musik 15” menarik minat, baik dari musisi dan juga penonton? Ammy pernah mengatakan, bahwa fokus orang terhadap sesuatu, paling banter hanya lima belas menit. Selebihnya, konsentrasi itu tidak mungkin sebaik sebelumnya. Artinya, durasi lima belas menit yang terkandung dalam “Musik 15” tidak lepas dari sebuah pertimbangan ilmiah. Kemudian juga, apa kira-kira respon seorang musisi ketika dia tahu bahwa penampilannya hanya diberi waktu lima belas menit? Ada dua kemungkinan: Pertama, ia akan setengah hati bermain, karena tahu bahwa lima belas menit tidak akan cukup baginya untuk mencuri perhatian penonton manapun. Kedua, bisa saja seorang musisi akan menjadi semakin bersemangat untuk memanfaatkan waktu yang singkat tersebut, demi mencuri perhatian penonton. Untungnya, kemampuan kuratorial Kang Ammy sudah sangat baik sehingga hanya musisi yang masuk ke dalam kategori kedua saja yang naik panggung di “Musik 15”.
Walhasil, lagu-lagu yang ditampilkan tidak ada yang basa-basi. Nyaris semuanya punya gimmick yang kuat sehingga dalam durasi lima belas menit itu, tiada penonton yang meninggalkan tempat duduknya. Tentu saja, oleh sebab kuatnya kesan yang ditinggalkan, rata-rata penonton selalu meminta musisi menampilkan encore. Atas permintaan tersebut, Kang Ammy selalu menekankan, “Musik hanya berdurasi lima belas menit saja, tidak lebih dan tidak kurang.” Mendapat jawaban seperti itu, penonton tentu saja kecewa. Tapi mereka yang penikmat sejati akan datang kembali, untuk menikmati lima belas menit berikutnya.
“Musik 15” berakhir 17 Maret 2015 kemarin (setelah kurang lebih dua bulan berjalan) karena ada semacam perubahan manajemen di Java Preanger Coffee House. Sedihkah Kang Ammy, karena idenya tersebut mesti diakhiri? Ternyata tidak. Katanya, segala yang hidup, harus mati. Segala kematian itu pun, harus di waktu yang tepat ketika segala sesuatu tengah di puncak. Filosofi yang sama ia terapkan pada penampilan dalam “Musik 15” itu sendiri. Ketika penonton tengah terpesona dan terpukau; ketika penonton belum ingin beranjak dari tempat duduk dan masih mau memberikan decak kagumnya; hentikan. Lantas biarkan notasi demi notasi tinggal dalam hati setiap orang yang penasaran. Seperti kata pujangga Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati.”
Comments
Post a Comment