Sekilas tentang Marquis de Sade Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman. Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...
Sebelum berbicara soal pendekatan kualitatif, terlebih dahulu kita harus bicara tentang kenyataan ilmu-ilmu sosial. Namun sebelum berbicara tentang kenyataan ilmu-ilmu sosial, ada baiknya juga kita bicara tentang kenyataan ilmu-ilmu alam.
Sejarah Singkat Ilmu Alam: Fase Mitos
Jika kita mencoba menalar dengan pikiran kita sendiri, mungkin manusia terlebih dahulu berkutat dengan misteri alam semesta ketimbang misteri tentang manusia. Kenapa? Karena segala kebutuhan hidupnya yang paling dasariah tentu saja ia dapatkan dari alam. Ia sangat bergantung pada sungai, tanah, hujan, pohon, tumbuhan, hingga hewan-hewan. Manusia mula-mula mencoba memecahkan bagaimana caranya agar segala sesuatu itu terkontrol dengan baik sehingga hidupnya sendiri menjadi sedikit demi sedikit lebih terprediksi. Bayangkan jika manusia hanya mengandalkan hewan buruan yang berkeliaran di hutan-hutan liar yang rimbun dan gelap, tentu saja ia tidak bisa memprediksi apakah hewan tersebut akan ada esok hari atau tidak. Bedakan jika manusia mau bersabar sedikit dengan mendirikan peternakan. Mereka bisa lebih mengontrol kapan hewan lahir, kapan hewan dapat disembelih, dan kapan hewan bertelur atau mengandung. Belum lagi jika manusia akhirnya dapat menemukan konsep bercocok tanam. Dengan kemampuan membaca musim yang baik, seseorang dapat mengetahui kapan waktunya tanam dan kapan waktunya panen. Keseluruhan hal tersebut menunjukkan bahwa pada mulanya manusia tentu saja lebih banyak berjuang menaklukkan alam semesta daripada mengurusi tindak tanduk manusia lainnya.
Meski berusaha mengontrolnya, toh alam semesta itu sendiri tetap merupakan misteri maha besar bagi manusia. Tetap ada sejumlah hal yang tidak pasti dan tidak sanggup diprediksi karena alam bagaimanapun kerap menyuguhkan anomali. Atas dasar itu, manusia mulai membayangkan ada perwujudan yang mempengaruhi mood dari alam semesta. Manusia mulai menciptakan mitos yang mendasari gejala-gejala di balik alam semesta. Rakyat Skandinavia kuno misalnya, percaya bahwa musim kemarau disebabkan oleh dicurinya palu Dewa Thor oleh raksasa. Agar palu tersebut dapat kembali, Thor mesti memenuhi permintaan raksasa yang menginginkan pernikahan dengan seorang dewi bernama Freyja. Kemudian Thor menyamar menjadi Freyja dengan menggunakan baju pengantin dan mengambil palunya di hari pernikahan mereka. Ketika palu tersebut berhasil diambil, Thor mendapatkan kekuasaannya kembali: ia membunuh si raksasa dengan sekali hantam. Dengan kembalinya palu tersebut, Thor dapat kembali menurunkan hujan bagi rakyat Skandinavia.
Meski sekadar mitos yang sulit dicek kebenarannya, namun manusia telah memasuki suatu fase penting dalam sejarah peradabannya sendiri. Fase tersebut menunjukkan bahwa manusia memang selalu berupaya mencari penjelasan di balik kemisteriusan alam semesta. Kepercayaan mitis tersebut juga punya upaya dalam mengontrol alam. Misalnya, jika terjadi musim kemarau di Skandinavia, rakyat kemudian mengadakan ritual yang berisi tentang para pria yang menyamar menjadi pengantin wanita. Agar apa? Agar memberi semangat bagi Thor untuk mendapatkan palunya kembali.
Sejarah Singkat Ilmu Alam: Fase Logos
Pada sekitar tahun 500 SM di daerah Miletos, Asia Minor, ada seorang bernama Thales yang berpendapat bahwa alam semesta ini terbuat dari air. Hal tersebut merupakan suatu pernyataan yang tidak populer karena rata-rata masyarakat di sana mengatakan bahwa alam semesta ini terbuat dari perkawinan antara Uranus (Langit) dan Gaia (Bumi). Thales dengan berani mencari asal usul alam semesta dari unsur-unsur di dalam alam semesta itu sendiri. Itulah yang oleh para pemikir Barat disebut sebagai perpindahan dari fase mitos ke logos. Sejak Thales mengatakan hal tersebut, banyak pemikir lain seperti Anaximandros, Anaximenes, Pythagoras, Demokritos, Heraklitus, Parmenides, Xenophanes, dan Protagoras mencoba menalar hal-ikhwal alam semesta ini dengan rasionya sendiri dan tidak bersandar pada mitos-mitos yang dogmatis.
Meskipun pernyataan Thales sudah lebih ilmiah ketimbang mitologi Yunani, namun tetap para pemikir dari jaman itu masih melakukan spekulasi. Mereka belum menemukan cara agar pernyataan tersebut menjadi kebenaran yang sifatnya objektif dan dapat diuji berulang-ulang. Boleh dibilang, mereka belum tahu bagaimana melakukan penelitian. Cikal bakal penelitian ada di masa Francis Bacon, jauh setelah era Yunani yang disebutkan di atas. Hidup di masa Renaisans sekitar abad ke-17, ia menulis buku berjudul Novum Organum (1620) yang menjadi dasar penelitian ilmiah modern. Dalam bukunya tersebut, secara garis besar ia membahas tentang pentingnya metode induktif. Katanya, untuk mendapatkan suatu hukum alam yang sifatnya umum, maka seseorang harus melihat kejadian-kejadian partikular secara berulang-ulang. Selain itu, ia juga menulis tentang pentingnya membuang hal-hal yang membuat hasil penelitian menjadi tidak objektif seperti perasaan-perasaan afektif dan godaan norma-norma dalam masyarakat.
Di waktu yang kurang lebih sama, Galileo Galilei melakukan sejumlah eksperimen untuk menyumbangkan berbagai hukum dalam ilmu fisika. Ia juga menyuguhkan suatu kredo yang terkenal dalam dunia sains: “Ukurlah sesuatu yang dapat diukur dan buatlah menjadi terukur sesuatu yang tidak dapat diukur.” Ia seolah mau mengatakan bahwa alam semesta ini dapat diketahui melalui rumusan-rumusan matematis. Hal tersebut diperkuat oleh penerusnya di bidang ilmu fisika yaitu Isaac Newton yang menemukan sejumlah hukum baru yang dapat memberikan kepastian demi kepastian menyoal alam semesta. Ilmu pengetahuan tentang alam berkembang sangat pesat dan mencapai puncaknya di Era Pencerahan pada sekitar abad ke-18. Pada masa itu, para ilmuwan bahkan berkata bahwa jikapun Tuhan ada dan menciptakan dunia, maka ia sudah tidak lagi ikut serta dalam berjalannya dunia tersebut. Ia bagaikan pembuat jam mekanik. Ketika jam itu sudah berjalan, maka pembuatnya tidak lagi punya pekerjaan. Tugas para saintis adalah menelaah cara kerja jam tersebut dan bukan cara kerja Tuhan yang ada di baliknya. Ada suatu keyakinan luar biasa bahwa suatu saat segala sesuatu di dunia ini dapat dijelaskan lewat pendekatan ilmiah yang matematis dan terukur.
Awal Mula Ilmu Sosial
Keyakinan tersebut tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu alam saja, seorang pemikir Prancis bernama Auguste Comte dari awal abad ke-19 yakin bahwa kepastian demi kepastian dapat juga ditemukan dalam fenomena sosial. Ia percaya bahwa dalam kehidupan manusia juga ada pola-pola objektif seperti yang dipunyai oleh alam semesta. Jika pola-pola itu dapat diketahui dan dipecahkan, maka manusia, sebagaimana halnya alam, juga dapat diprediksi dan dikontrol. Comte dapat dikatakan sebagai orang yang menggagas ilmu sosiologi. Ia sangat yakin bahwa dengan ilmu sosiologi, ilmu-ilmu alam mencapai puncak kejayaannya. Comte bahkan menyebut sosiologi sebagai fisika tingkat lanjut.
Wacana yang dilemparkan oleh Conte tersebut mendapat reaksi cukup keras dari sejumlah pemikir terutama di akhir abad ke-19 seperti Wilhelm Dilthey. Ia mengatakan bahwa perlu ada perbedaan tegas antara ilmu yang mempelajari alam (Naturwissenschaften) dan ilmu yang mempelajari manusia (Geisteswissenschaften). Naturwissenschaften mencari erklaren atau penjelasan dari segala sesuatu, sedangkan Geisteswissenschaften mencari apa yang disebut oleh Max Weber sebagai verstehen atau pemahaman dari segala sesuatu. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu alam bersifat nomotetis atau mencoba mencari hukum-hukum (nomos) universal dari kejadian-kejadian alam sehingga dapat ditelusuri sebab akibatnya, sedangkan ilmu-ilmu sosial bersifat idiografis atau mencoba untuk dilukiskan keunikan demi keunikannya secara partikular. Upaya keras dari Dilthey dan Weber tersebut kemudian diperkuat oleh Karl Marx yang mengatakan bahwa teori-teori dalam ilmu sosial justru tidak boleh ahistoris, objektif, dan universal. Sifat teori-teori dalam ilmu sosial haruslah persis sebaliknya: historis, subjektif, dan kontekstual.
Ilmu Sosial dan Penelitian Kualitatif
Dengan pemilahan baru yang dilakukan oleh Dilthey, Weber, dan Marx tadi, ilmu sosial seolah mendapat tempatnya sendiri. Ia ada bukan untuk “dimanipulasi” secara matematis seperti yang biasa dilakukan oleh ilmu-ilmu alam. Ilmu sosial menjadi suatu disiplin ilmu yang memang bertujuan untuk memaknai secara lebih mendalam dunia kehidupan (lebenswelt) yang ditinggali oleh manusia. Ketika ilmu alam berupaya menyederhanakan dan mereduksi pengalaman manusia, ilmu sosial justru mengakui kompleksitas dan memberi penghargaan tinggi terhadap pengalaman manusia.
Hal-hal semacam itu membuat upaya penerapan hukum-hukum alam terhadap dunia kehidupan manusia menjadi tampak seperti upaya pemiskinan semata. Metode penelitian kuantitatif yang mula-mula ada dan mewarnai dunia ilmu pengetahuan Barat lebih dari 1500 tahun tersebut mendapat perlawanan serius dari metode yang dianggap lebih relevan bagi ilmu sosial, yaitu metode penelitian kualitatif. Dalam metode penelitian kualitatif ini, para peneliti tidak perlu lagi berpegang pada kredo bebas nilai, objektif, dan rasional. Peneliti justru harus memberi makna serta nilai terhadap segala sesuatu sekaligus mengakui dengan jujur bahwa tidak mungkin seorang peneliti tidak berjarak dari apa yang ditelitinya. Bahkan seorang ilmuwan bernama Michael Polanyi mengatakan bahwa dalam ilmu seeksak apapun, kenyataannya, perasaan-perasaan pribadi seseorang juga turut serta mewarnai hasil penelitian yang katanya objektif.
Ditulis sebagai
suplemen pertemuan pertama mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif semester
ganjil 2014/2015 di Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis,
Telkom University.
Comments
Post a Comment