Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Aki mobil hari ini habis dan tidak ada peluang bagi dirinya untuk di-starter. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat kerja dengan menggunakan angkutan kota (angkot). Meski sehari-hari saya menggunakan kendaraan pribadi, tapi penggunaan angkot sama sekali bukan hal baru -dari SMP hingga selepas sarjana, kemana-mana saya menggunakan angkot-. Tapi memang keanehan selalu ada. Ketika tadi naik angkot, saya merasa bahwa memang sudah lama sekali saya tidak menaikinya oleh sebab termanjakan keberadaan mobil pribadi.
Saya sadar bahwa penggunaan mobil pribadi adalah suatu jenis pengalienasian tersendiri. Kita duduk di satu ruang kendali tertutup -saking tertutupnya, suara dari luar nyaris tak terdengar- dengan udara dingin yang keluar dari mesin pendingin, serta musik yang bertujuan membawa setengah kesadaran kita ke wilayah sureal. Seluruh kaki tangan bergerak mengendalikan kendaraan dan saya adalah tuan dari apa yang saya tunggangi. Intinya, mobil pribadi adalah suatu perasaan ketuanan dahsyat dengan nilai-nilai empati yang tergerus oleh ketertutupan dari si ruang kendali.
Perasaan itu berubah drastis ketika menggunakan angkot. Pertama, tak ada satupun suara yang bisa direduksi kecuali kita menutup telinga dan menjadikan segala sesuatunya menjadi hening. Kedua, kita tak kuasa mengendalikan udara apalagi cuaca yang menerpa kita. Apa yang terjadi di sekitar, itu pula yang terjadi pada kita. Ketiga, tak ada musik. Kita tak punya daya upaya untuk lepas ke wilayah sureal dan melarikan diri dari keseharian. Kita ditawan oleh realitas dan mau tidak mau harus menghadapinya. Artinya, kita bukan tuan. Satu-satunya kuasa kita hanyalah atas kaki-kaki kita sendiri yang bisa capek dan pegal jika sudah diseret terlalu jauh.
Namun saya bersyukur atas kematian sang aki hari ini. Ternyata ada hal-hal yang biasanya dalam keseharian dilewatkan begitu saja oleh sebab keadaan ruang kendali yang kedap realitas, menjadi terang dan jelas karena saya hadapi tanpa pembatas apa-apa. Misalnya, sudah puluhan kali saya melewati kebun kangkung di dekat rumah. Dari mobil pribadi, saya tahu itu kebun kangkung dan memang demikianlah kebun kangkung sejak dahulu kala hingga sekarang. Tadi saya sadari bahwa kebun kangkung itu terjadi karena ada orang-orang yang menanam. Mereka terjun ke kebun dan bergerak telaten di panas terik seolah untuk menyadarkan saya bahwa dunia keseharian itu menarik hanya jika kita tidak bergerak secara instan dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya lagi, saya bisa mendengarkan berbagai jenis percakapan di dalam angkot yang begitu beragam mulai dari tentang kondisi anak, situasi ramadhan, hingga sindiran para pengamen yang urung diberi koin oleh para penumpang.
Ini semua adalah apa yang disebut oleh Edmund Husserl sebagai lebenswelt. Dunia kehidupan apa adanya tanpa asumsi, pretensi, dan presuposisi. Ia hadir begitu saja, tampak ke hadapan kita tanpa tedeng aling-aling. Kita terkesiap dan tidak punya waktu untuk menyiapkan senjata apriori dan mau tidak mau yang bisa kita lakukan adalah mencandrainya secara utuh. Manusia modern mengalami suatu percepatan dalam hidupnya sehingga yang dipikirkannya hanyalah mencapai target dari satu tujuan ke tujuan lainnya. Kita luput untuk menggumuli apa yang tidak termasuk dalam tujuan hidup kita yang seringkali artifisial. Kita luput untuk menerima bumi sebagaimana adanya ia. Terpujilah mereka yang naik angkot, karena seketika aki mobil saya terisi kembali, saya sudah melupakan tulisan ini dan sekaligus juga melupakan sang hidup itu sendiri.
Comments
Post a Comment