Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Suatu hari, ketika saya sedang hanyut dengan akrobat bahasa dari Haruki Murakami dalam Norwegian Wood, tidak lupa saya menyempatkan diri untuk memberi apresiasi pada sang penerjemah yang bernama Jonjon Johana. Kebetulan, Pak Jonjon adalah kolega ibu saya di Sastra Jepang Universitas Padjadjaran sehingga saya pun dengan mudah mendapatkan nomor telepon beliau. Setelah mengirim pesan singkat menyampaikan apresiasi sejujurnya bahwa kebagusan Norwegian Wood tentu saja tidak lepas dari peran penerjemah, esoknya datang kiriman buku kumpulan cerpen Lukisan Neraka yang juga terjemahan Pak Jonjon. Katanya, kalau memang saya suka dengan terjemahannya, ini saya kirim terjemahan saya yang lain.
Jika sudah pernah membaca cerpen Rusia seperti Ruang Inap no. 6 dari Anton Chekhov, tentu saja cerpen dari Ryunosuke Akutagawa ini tidak terasa panjang meskipun juga jumlah halamannya termasuk di atas rata-rata yakni 62. Meski di dalamnya terdapat sejumlah cerpen, namun saya hanya membaca yang utama, yang paling depan, yang berjudul Lukisan Neraka itu. Saya menghabiskan waktu sekitar sejam untuk membereskannya sambil duduk di kereta dalam perjalanan menuju Surabaya. Kesimpulannya, Akutagawa benar-benar penulis yang mengagumkan dan menambah satu lagi daftar penulis Jepang dalam khazanah pengetahuan saya yang tampaknya "sakit jiwa" selain dari Yukio Mishima.
Lukisan Neraka bercerita tentang pelukis bernama Yoshihide. Pelukis tersebut digambarkan tidak seperti seniman Timur yang biasa dicitrakan tidak egosentrik dan lebih mau untuk tidak dicantumkan namanya (anonim). Yoshihide adalah pelukis dengan tingkat keegoisan yang tinggi dan mau berjuang demi keluhuran estetika. Ketika ditugaskan untuk melukis neraka di sebuah dinding penyekat, ia bersikap total dengan mengurung diri, merenung, dan bersikap terlalu serius - ia menyiksa para muridnya agar tergambar jelas bagi Yoshihide bagaimana siksaan di neraka nantinya-. Yoshihide digambarkan sebagai seorang seniman sejati yang sering mengalami paradoks dalam hidupnya: Di satu sisi, ia mengedepankan estetika untuk ketenangan hatinya, namun di sisi lain, ternyata karena ia terlalu mengedepankan estetika, tubuhnya menjadi rusak, dan tidak jarang jiwa pun ikut rusak.
Meski kelam dan mencekam, Lukisan Neraka diceritakan dengan cara yang ringan sekali. Akutagawa, penulis berjulukan "Bapak Cerpen Jepang" yang meninggal karena bunuh diri di usia 35 tahun tersebut, mengambil sudut pandang penceritaan dari seorang pesuruh istana yang sama sekali tidak terlibat dalam cerita. Hal tersebut menyebabkan segala gejolak Yoshihide dalam melukis neraka di sebuah dinding penyekat, tidak terasa sebagai sesuatu yang terlalu muram. Pesuruh istana yang digambarkan bodoh dan lugu tersebut, hanya menceritakan apa adanya dan tidak berusaha terlalu dalam memasuki psikologi Yoshihide. Meski demikian, kita tidak bisa menampik bahwa Lukisan Neraka ditulis oleh seorang yang "sakit jiwa". Dalam biografinya, Akutagawa, yang menulis cerita terkenal berjudul Rashomon -diangkat ke layar lebar oleh Akira Kurosawa pada tahun 1950-, memang dikenal mengalami semacam skizofrenia di akhir hidupnya, sebelum memutuskan bunuh diri dengan meminum obat tidur dosis tinggi.
jadi panasaran hoyong maca cerpenna...
ReplyDeletesalam,
-rosgani-
ini yang terbitan kansha kah??
ReplyDelete