(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Francis Fukuyama menulis buku berjudul The End of History and The Last Man (1952) yang berisi ramalan bahwa bahwa perkembangan sosio-kultural manusia sudah selesai ketika seluruh negara sudah menganut sistem politik demokrasi liberal dan sistem ekonomi kapitalisme pasar bebas. Fukuyama menyebutnya dengan istilah menarik: Akhir sejarah. Untuk membedah ramalan Fukuyama tersebut, pertama-tama yang kita lakukan adalah memetakan terlebih dahulu bagaimana sejarah berjalan. Ada yang melihat sejarah sebagai lingkaran sehingga segala sesuatu terus berulang (Pemikiran Buddhisme menganut hal tersebut dan juga Nietzsche). Ada juga yang melihat sejarah sebagai suatu gerak lurus yang berakhir pada sesuatu (Seperti halnya agama Abrahamistik dan juga konsep sejarah ala Hegelian). Ramalan Fukuyama dapat dilihat sebagai suatu gerak lurus (karena mengarah pada sesuatu yang final), tapi juga sebagai gabungan keduanya. Artinya, ada suatu gerak lurus sejarah yang mengarah pada pembentukan demokrasi li