Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Gerak Lambat


Kemarin saya menyaksikan pertandingan tenis antara Novak Djokovic melawan Milos Raonic lewat streaming di internet. Djokovic adalah petenis yang dalam beberapa tahun belakangan ini tidak pernah lepas dari peringkat tiga besar sedangkan Raonic dikenal sebagai salah satu pemilik servis tercepat di dunia -Ia sanggup melesatkan servis dengan kecepatan 222 km/ jam!-. Meski harus melalui tiga set, Djokovic sanggup mengalahkan Raonic dan mematahkan servisnya sebanyak tiga kali. 

Miyamoto Musashi, seorang samurai legendaris, pernah berkata bahwa jika seseorang sudah betul-betul menjadi ahli pedang, maka ia mampu melihat gerakan lawannya dengan lambat. Dalam arti kata lain, ia bisa melihat lawannya seolah-olah dalam sebuah slow motion. Jika memang demikian, tentu saja tidak sulit baginya untuk menaklukkan siapapun. Hal yang sama mungkin terasa juga bagi Djokovic yang telah menjadi ahli tenis: Servis Raonic yang punya kecepatan 222 km/ jam menjadi tampak lambat.

Agaknya apa yang dikatakan oleh Musashi tersebut berlaku bagi hal-hal lain secara umum. Bagi seorang Jascha Heifetz, not rapat dan keriting dalam Zigeunerweisen-nya Pablo de Sarasate akan terasa seperti not bernilai setengah atau bahkan satu ketuk. Bagi seorang Haruki Murakami, fenomena keseharian ia lihat sebagai sesuatu yang lambat. Cukup lambat sehingga ia bisa menuangkan fenomena tersebut ke dalam tulisan dalam detail yang mengagumkan. Bagi seorang akademisi tulen, kejadian demi kejadian pun ia rasakan sebagai sesuatu yang lambat. Cukup lambat sehingga ia mampu untuk meneliti dan memilahnya ke dalam suatu bagian demi bagian fenomena yang lebih kecil. 

Sebaliknya, bagi mereka yang kurang ahli, segala sesuatu tampak selalu lebih cepat dan memusingkan. Terlalu cepat untuk dijabarkan, terlalu cepat untuk dipahami. Tidak ada sedikitpun hal yang masuk akal tentang bagaimana cara mematahkan servis Raonic yang kecepatannya mendekati kereta shinkansen. Tidak ada sedikitpun hal yang masuk akal tentang bagaimana cara memandang fenomena dalam gerak lambat sehingga mudah untuk dituliskan dan diteliti. 

Bagi mereka yang sudah melihat kehidupan secara paripurna seperti orang tua-orang tua yang bijak, kehidupan selalu terlihat sebagai suatu raksasa yang bergerak lambat. Sebagaimanapun kehidupan itu sendiri berbahaya, mereka yang bijaksana selalu punya waktu untuk melihat secara cermat dimana titik lemah si raksasa. Atau boleh juga, mereka yang bijak selalu mampu untuk melihat gerak lamban si raksasa sambil minum teh dari kejauhan. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k