Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Setengah Kata, Setengah Makna


Tadi pagi saya iseng membongkar rak buku untuk menemukan bacaan-bacaan yang sekiranya menyejukkan. Kemudian saya menemukan koleksi buku-buku Gibran yang lama, yang salah satunya berjudul Pasir dan Buih. Buku itu tipis sekali hanya 85 halaman dan ukurannya kecil. Isinya adalah semacam aforisme dari Gibran, seorang penyair asal Lebanon kelahiran 1883, tentang segala renungan mengenai kehidupan. Saya membaca kembali satu per satu dengan teliti setelah lama tidak menyentuh buku tersebut. Ternyata iya, ada beberapa aforisme yang dulu tidak saya mengerti sekarang jadi mengerti (tapi yang dimaksud dengan "mengerti" tentu saja dalam batas pemahaman saya hari ini, sepuluh tahun lagi saya baca aforisme tersebut mungkin akan sadar bahwa dahulu itu saya sebenarnya belum mengerti). Saya tuliskan disini contoh salah satunya:

Setengah tuturku tanpa makna;
namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi mencapai dirimu

Untuk mengetahui bagaimana saya bisa "mengerti" aforisme tersebut, pada akhirnya, saya akan kembali ke masa-masa kemarin ketika saya tengah giat menggumuli hakikat bahasa. Saya menggilai bagaimana Nietzsche berkata tentang "penjara bahasa" dalam aforismenya yang terkenal, "Manusia ingin berkomunikasi dengan sesama namun apa daya terpenjara bahasa." Pada titik itu saya menganggap bahasa adalah problem dalam hubungan antar manusia. Kita dilingkupi oleh kenyataan bahwa bahasa tidak mungkin sanggup merepresentasikan realitas dengan sebenar-benarnya. Ketika segala sesuatu diucap dalam kata, maka segala sesuatu menjadi tidak persis seperti kenyataannya. Untungnya, kehidupan mengijinkan manusia untuk merepresentasikan kenyataan tidak hanya melalui bahasa, tapi juga seni. Seni, dalam pemahaman saya waktu itu, adalah jalan keluar bagi keterbatasan bahasa. Seni adalah penelikungan terhadap rasionalitas yang kaku, sempit, dan kadang arogan.

Namun suatu hari dalam sebuah chatting dengan seorang dosen bernama Bambang Q-Anees, ia menegur ke-euforia-an saya terhadap "matinya bahasa".  Ia bertanya, "Tapi bisakah kita lepas dari bahasa?" Saya lupa apa jawaban saya waktu itu, tapi agaknya saya mengabaikan pertanyaan beliau karena dianggap kurang penting. Pertanyaan yang serupa dengan apa yang dilontarkan oleh Bambang Q-Anees tersebut muncul lagi kemarin-kemarin, di kelas ketika saya mengajar tentang hakikat bahasa di mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Ada seorang mahasiswa bertanya, "Lantas, kalau tanpa bahasa, dengan apa kita menyampaikan gagasan?" Pada titik itu saya tidak gamblang seperti sebelum-sebelumnya dengan langsung menjawab, "Dengan seni!". Saya sekali lagi tidak menjawab pertanyaan mahasiswa tersebut secara memuaskan.

Sekarang, setelah membaca aforisme Gibran tersebut, saya sadar akan sesuatu. Bahwa bahasa tetap penting untuk dikemukakan karena pertama, kita tidak punya pilihan. Bahasa adalah satu-satunya jalan sebagaimana saya menyampaikan gagasan tentang "matinya bahasa" juga lewat bahasa. Kedua, Gibran benar, bahwa biarkan bahasa menjadi setengah dari kebenaran, dan setengahnya lagi adalah makna yang kita harus susah payah untuk menemukannya. Seperti halnya kitab suci yang kita kaji, novel yang kita baca, puisi yang kita nikmati, celakalah jika kita menerima kata demi kata yang ditulisnya sebagai representasi dari kebenaran. Kebenaran yang sejati, sebagian lagi, ada pada dirimu. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...