Skip to main content

Seperti Hewan, Seperti Mesin

Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa.  Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian.  Tubuh adalah ...

Tukang Gorengan


Selepas membeli kelapa muda, saya mendadak ingin sejenak menepi di tukang gorengan itu. Tukang gorengan yang pernah berbincang dengan saya setahun lalu tentang apa-apa yang tidak saya mengerti. Sekarang saya memutuskan untuk duduk di tempat itu lagi dengan terlebih dahulu mengatakan bahwa saya akan membeli gorengannya sebanyak lima buah untuk dimakan di tempat. 

Saya mengatakan sesuatu untuk memancing dirinya bicara, yaitu kabar tentang anaknya. Dia bilang anaknya sekarang sudah ada dua yang hampir bekerja, satu hampir lulus STM, satu lagi sedang magang menjadi akuntan di satu kantor. Oh, memang anak bapak berapa? Dia jawab lima dan semuanya bersekolah. Lalu saya bertanya dengan sebuah keimplisitan a la orang modern yang selalu ingin tahu tentang "Dari mana kamu dapat uang untuk semua itu?" dengan dibungkus pertanyaan, "Oh, istri kerja, Pak?" Tukang gorengan itu menjawab, "Tidak, kalau istri bekerja, bagaimana bisa mengurus anak yang jumlahnya lima?"

Tapi tukang gorengan itu seolah tahu bahwa saya hendak bertanya soal darimana dirinya dapat biaya untuk itu semua. Ia berbicara panjang lebar tentang kenyataan bahwa meskipun ia berprofesi sebagai pedagang gorengan, ia tetap memprioritaskan anak-anaknya untuk sekolah. "Saya pernah ditawari berkali-kali untuk menyicil motor, tapi saya selalu mengutamakan sekolah anak-anak. Sampai sekarang saya tidak pernah punya motor. Mau mudik? Tinggal pinjam sama tukang ojek." Ia juga berbicara tentang zakat mal yang rajin ditunaikannya setiap tiga bulan yang entah kenapa ia percayai memberi keselamatan bagi hidupnya hingga hari ini. 

Kemudian dia juga berbicara tentang ketenangannya dalam menjalani hidup dan juga menjalani mati, "Ah, untuk apa berpusing-ria. Hidup ya begini, jalani saja. Ujung-ujungnya kita akan telanjang, tak punya apa-apa, dan kembali ke tanah." Perkataan semacam itu tentu saja meruntuhkan prinsip kemodernan saya yang apa-apa harus terencana. Segala sesuatu bisa dihitung dan matematika adalah suatu kepastian yang harus dilibatkan dalam setiap gerak-gerik kehidupan. Namun matematika tercanggih sekalipun agaknya sulit untuk menghitung bagaimana seorang tukang gorengan bisa menghidupi lima orang anak dan menyekolahkannya secara layak. 

Hal-hal semacam ini tentu saja bukan sesuatu yang baru saya dengar untuk pertama kali: Cerita tentang perjuangan dalam keluarga, tentang hitung-hitungan magis dalam kehidupan, serta bagaimana agama dan kepercayaan -meskipun jika dinalar seringkali absurd- mampu memberi kekuatan bagi orang untuk hidup dan juga untuk mati. Seiring dengan nalar yang semakin rumit dan kedewasaan yang membawa pada kompleksitas, maka cerita-cerita semacam itu makin seperti dongeng ataupun mitos. Seolah itu adalah cerita dari orang-orang jaman dulu yang tidak punya relevansi dengan dunia hari ini yang kapitalistik. 

Saya bukan hendak menghimbau orang-orang untuk beranak banyak dalam rangka memenuhi kepercayaan tentang "banyak anak, banyak rejeki". Tapi saya sedang merenungkan dalam-dalam tentang bagaimana seorang tukang gorengan sedang bertindak seperti Sisifus yang tengah dikutuk untuk mendorong batu sepanjang hidupnya. Meski hidupnya berat, ia tetap menjalaninya dengan santai, gembira, dan sadar bahwa yang absolut akan menghadangnya hanyalah kematian. Saya menemukan pemikiran semacam ini hanya pada literatur Albert Camus dan menganggap bahwa yang mungkin mencapainya hanyalah kaum yang membaca bacaan-bacaan filosofis yang sejenis. Tapi anggapan itu runtuh ketika saya berjumpa dengan si tukang gorengan. Ia berlaku bak Sisifus meski mungkin tak pernah tahu siapa Sisifus itu. Hidupnya penuh keberanian, penuh heroisme, sekaligus juga penuh oleh kepasrahan. Ia sudah tahu siapa Sang Maha Absurd itu dan mengklaim diri sebagai kekasihnya yang sejati. 

Saya malu. Karena saya takut untuk hidup, juga takut untuk mati. 


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...