Kaset Metallica yang saya beli pertama kali adalah Ride The Lightning. Album tersebut dibeli di Yogya ketika study tour bersama teman-teman satu angkatan. Saya, yang waktu itu kelas 2 SMP, sangat terkejut dengan kecepatan band ini sejak dari track pertamanya yang berjudul Fight Fire with Fire. Padahal dalam lagu tersebut, saya dibuai dengan petikan gitar akustik yang lembut sebagai intro. Dengan medium walkman, saya konsumsi Ride The Lightning berulang-ulang selama di Yogya. Pada masa itu juga saya merasa terpikat dengan permainan solo gitar Kirk Hammett yang sangat cepat.
Setelah Ride The Lightning, berturut-turut saya membeli kaset Master of Puppets, Kill 'Em All, And Justice for All dan Black Album. Tidak semua lagu dalam album-album tersebut langsung bisa saya cerna sejak pendengaran pertama. Namun setelah berkali-kali dengar, saya bisa memutuskan bahwa tidak ada satupun lagu Metallica yang tidak bagus. Semuanya menakjubkan dan semuanya dibuat oleh kemampuan yang tinggi dan atas niat yang tulus. Lagu-lagu semisal Master of Puppets, Battery, Orion, Hit The Lights, Seek and Destroy, Metal Militia, Harvester of Sorrow, Enter Sandman, Wherever I May Roam, dan sebagainya, menjadi hal yang wajib saya putar di saat bangun tidur dan pulang sekolah sebelum ganti baju. Saya pajang poster Metallica di kamar lengkap dengan para personilnya: Hetfield, Hammett, Newsted, dan Ulrich. Saya membeli gitar elektrik dengan distorsi dan berusaha bermain gitar dengan melodi cepat seperti yang biasa dilakukan oleh Hammett. Saya menawari teman-teman sebaya untuk kapan-kapan ayo kita mainkan lagu-lagu Metallica. Jawabannya? Negatif.
Lama kelamaan, saya merasa tidak menemukan situasi yang tepat untuk mendukung cita-cita saya tersebut. Akhirnya saya mulai menyerah. Tidak ada lagi keinginan untuk bermain gitar seperti Hammett dan tidak ada lagi keinginan tampil di atas panggung sambil melakukan headbang. Saya konsentrasi pada gitar klasik untuk waktu yang lumayan lama -sesuatu yang pastinya sangat berbeda, tapi belakangan saya temukan bahwa antara Metallica dan musik klasik tertentu punya banyak kesamaan yang fantastis-. Kegagalan menjadi musisi rock tidak membuat saya kehilangan perasaan dengan cinta pertama saya, Metallica. Saya tetap menyimpan asa untuk suatu saat setidaknya bisa menyaksikan penampilan mereka secara live. Kemungkinan untuk itu katanya kecil sekali karena mereka pernah datang di tahun 1993 dan konsernya sendiri disebut Ulrich seperti "demonstrasi massal" karena terjadi kerusuhan di luar stadion Lebak Bulus.
Harapan tersebut tetap tersimpan meski saya sudah menjalani kehidupan yang non-metal selama lebih dari sepuluh tahun. Sampai akhirnya kemarin saya mendengar kabar bahwa mereka main di Singapura. Keadaan finansial yang pas-pasan pada waktu itu membuat saya berpikir untuk tidak pergi saja dengan sebuah pembenaran, "Ah, tidak semua mimpi kita harus diraih kan?" Tapi istri saya memberi kekuatan. Katanya, "Kejarlah. Kalau saya jadi kamu, akan saya kejar!" Akhirnya saya bertekad untuk mencari uang agar bisa membeli tiket konser sekaligus tiket pesawat. Dengan konspirasi rumit antara kawan saya yang tinggal di Singapura, Yos, dengan kawan istri saya yang juga tinggal di Singapura, Dinda dan Sufi, akhirnya tiket konser Metallica seharga 151 $ itu terbeli juga. Untuk tiket pesawat, saya mendapatkan tiket Air Asia yang relatif murah dengan dibantu oleh Ibu Shinta yang memang bekerja di travel biro. Sementara itu Iqbal, sahabat saya sejak SMA dan Oji, adiknya, yang kebetulan satu band dengan saya, turut serta menonton konser yang diadakan di Changi Exhibition Centre tersebut. Tak lama kemudian, sekitar seminggu setelahnya, ada kabar bahwa Metallica juga tampil di Jakarta. Meski saya diejek oleh teman-teman karena dianggap tidak sabaran, tapi saya tidak peduli -toh, saya juga memang belum pernah ke Singapura. Jadi sekalian berkunjung saja-.
Singkat cerita kami bertiga berangkat subuh-subuh tanggal 24 Agustus dan mendarat di Bandara Changi pagi sekitar pukul delapan waktu setempat. Karena hanya membawa uang secukupnya, kami memutuskan untuk datang di hari-H dan pulang keesokan paginya dengan tidur di bandara saja. Setelah sempat jalan-jalan sebentar, kami tiba di Changi Exhibition Centre pukul lima. Di sana sudah banyak orang berbaju hitam-hitam yang berasal dari berbagai kalangan mulai dari anak muda hingga kakek-kakek. Panggungnya terletak di lapangan besar dengan udara terbuka. Kami menanti cukup lama dengan ditemani dua band pembuka (satu dari Singapura, satu lagi dari Kanada namanya Anvil). Mereka tidak cukup keren sehingga saya bisa tidur nyenyak di pinggir Section B.
Masuk pukul delapan, penonton yang tadinya di pinggir mulai merangsek ke tengah. Mereka mulai riuh meski cuma mendengar checksound dari kru panggung. Setelah lima belas menit lewat dari jadwal yang seharusnya, tiba-tiba kami dikejutkan oleh adegan film The Good, The Bad, and The Ugly yang dilatari oleh musik Ecstasy of Gold karya Ennio Morricone. Setelah lagu tersebut, penonton diberi hening sejenak sebelum layar raksasa di belakang panggung menampilkan wajah Lars Ulrich yang langsung menggebuk drum sebagai intro lagu Hit The Lights. Hetfield, Hammett, dan Trujillo kemudian bergabung dan menghentak para penonton yang histeris dengan lagu dari album Kill 'Em All tersebut.
Soal kualitas penampilan Metallica, tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang bagaimana stamina dan kecepatan mereka masih prima meski rata-rata usia sudah hampir lima puluh. Lagu-lagunya pun tiada yang asing dan tentang bagaimana cara mereka memainkannya secara live, sudah lumayan saya hafal dari beberapa kali lihat via DVD atau Youtube. Sebenarnya ada yang lebih penting bagi saya secara personal dari konser Metallica kemarin, yaitu kenyataan bahwa saya tiba di suatu situasi yang saya idam-idamkan sejak kecil -Berada pada jarak beberapa ratus meter saja dari grup yang sudah memberi kekuatan bagi saya untuk menjalani hidup-. Saya berada pada sebuah fase usia dimana teman-teman sebaya sudah mulai menanggalkan mimpi-mimpinya yang terdalam -dan menggantinya dengan kalimat klise, "Kita udah seumur begini, kita harus realistis."-. Tapi saya belum menyerah. Saya masih mengagumi band yang sama dan tidak kehilangan sedikitpun kekuatan untuk mengejarnya. Mungkin suatu hari nanti semangat masa kecil saya akan luntur dan semakin bergerak ke arah kedewasaan yang membosankan. Tapi setidaknya saya tidak membebani anak saya kelak dengan ambisi orangtuanya yang tidak selesai. Saya mempersilakan mereka untuk menjadi apapun yang mereka mau, karena saya sudah mencapai apa yang saya mau. Terima kasih, Metallica!
Merinding bacanya. Yang paling menakutkan dari seorang pria adalah tidak mapan secara impian. Ketika dia bisa melunasinya, maka kemapanan sebenarnya telah terbentang. Selamat :)
ReplyDelete