(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
29 Ramadhan 1434 H
Barry Lyndon (1975) adalah film yang disutradarai oleh Stanley Kubrick, yang mengadaptasi novel berjudul The Luck of Barry Lyndon tahun 1844 dan ditulis oleh William Makepeace Thackeray. Barry Lyndon adalah filmnya yang kesepuluh dari total tiga belas film yang ia sutradarai sepanjang hidupnya. Berdurasi 184 menit, Barry Lyndon dibintangi oleh Ryan O'Neal, Marisa Berenson, dan Patrick Magee. Salah satu yang terkenal dari Barry Lyndon adalah visualisasi memukau yang ditampilkan oleh Kubrick. Pencahayaan alami, pemilihan kostum, interior ruangan, hingga pemajangan lukisan, membuat film yang mengambil latar di abad ke-18 ini tampak sangat artistik.
Barry Lyndon bercerita tentang seorang pria bernama Redmond Barry (Ryan O'Neal) yang melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan status sosialnya. Perbuatannya ini bukannya tanpa dasar. Sedari kecil, ia sudah ditinggal ayahnya yang meninggal akibat duel pistol. Pada masa remaja, ia menyukai saudara sepupunya sendiri namun ditinggalkan begitu saja karena Barry dianggap tidak punya uang. Akhirnya Barry menikahi seorang kaya bernama Countess of Lyndon (Marisa Berenson). Pernikahannya ini, meski memberinya status sosial dan kemakmuran, mendapat tentangan dari Lord Bullingdon, anak dari Countess of Lyndon hasil pernikahan sebelumnya. Seiring dengan Lord Bullingdon yang bertambah dewasa, Barry semakin menyadari bahwa Lord Bullingdon dapat mengancam keberadaannya.
Mungkin saja kita bisa merasa bosan menyaksikan film panjang dan bertempo lambat ini. Namun hal itu dapat ditepis jika kita sungguh-sungguh memperhatikan kemampuan Kubrick dalam meramu estetika Barry Lyndon. Salah satu contohnya adalah ketika adegan di malam hari, Kubrick membiarkan penerangan dilakukan oleh lilin saja sehingga suasana remang-remang menjadi amat terasa. Di adegan lain, Kubrick juga membiarkan pencahayaan datang dari cahaya matahari yang masuk melalui jendela, disertai latar belakang lukisan besar yang menakjubkan. Jangan lupa, seperti dalam film-film Kubrick pada umumnya, ia juga pandai memainkan musik klasik sebagai penguat impresi. Kali ini musik dari Bach, Vivaldi, Mozart, dan Schubert ikut menopang adegan demi adegan sehingga terasosiasikan demikian kuat dalam ingatan kita. Barry Lyndon ini adalah film yang amat artistik.
Rekomendasi: Bintang Empat
Comments
Post a Comment