Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

30hari30film: Stranger than Paradise (1984)

3 Ramadhan 1434 H


Stranger than Paradise berpusat pada tiga orang yakni Willie (John Lurie), Eva (Eszter Balint) dan Eddie (Richard Edson). Ketiganya bermain dalam adegan demi adegan yang minimalis. Ceritanya sederhana saja, tentang Eva yang tinggal di tempat Willy selama sepuluh hari (hubungan keduanya adalah sepupu). Lama kelamaan Willy -yang tadinya merasa terganggu dengan kehadiran Eva- menjadi sayang pada saudaranya tersebut. Ketika sepuluh hari telah lewat dan Eva pergi ke Cleveland, Willy dan Eddie, kawannya, memutuskan untuk menyusul si sepupu. Di Cleveland, Eva dijemput untuk diajak bersama-sama ke Florida. 

Bagaimana mungkin cerita sederhana semacam itu bisa membuat film ini berdurasi sembilan puluh menit? Inilah yang menjadi kelebihan Jim Jarmusch, sang sutradara yang terkenal dengan indepensi gayanya. Jim Jarmusch menciptakan apa yang disebutnya dengan "pengalaman real-time". Ketika para pemain berdialog satu sama lain, ia tidak sedikitpun melakukan montase agar dialog menjadi lebih cepat dan padat. Jarmusch sangat suka membiarkan dialog terlihat alamiah -ketika para pemain tidak saling bicara, ia pun dengan tenang memperlihatkannya-. Ia juga sama sekali tidak melakukan close-up pada wajah si pemain. Biasanya dalam satu adegan, ia hanya mempertahankan satu sorotan saja. Meski tanpa suatu penggambaran mimik yang kuat, Jarmusch tetap sanggup menyampaikan perasaan-perasaan yang terjadi dalam film seperti misalnya proses ketertarikan Willy pada Eva, hingga kegundahan Willy dan Eddie ketika mereka kalah taruhan di ajang balapan anjing.

Meski dibuat pada tahun 1984, film Stranger than Paradise ini bisa dicurigai sebagai film yang estetikanya sudah berada di garda depan tidak hanya di masa itu, melainkan juga bagi yang melihatnya di masa sekarang. Bahkan untuk sutradara hari ini, barangkali tidak banyak yang berani melakukan eksperimentasi minimalis semacam yang dilakukan Jarmusch (minimalisnya Jarmusch tidak seperti "minimalis"-nya Sydney Lumet [12 Angry Men (1957), Dog Day Afternoon (1975)] yang meski latar filmnya kerap di satu tempat, tapi permainan kameranya tetap "mewah"). Ia sepertinya mendobrak estetika Hollywood yang akrab dengan kedinamisan dan kepadatan. Menariknya, Jarmusch tetap jempolan untuk menjaga para penonton untuk tetap di tempat duduknya. Agaknya film Stranger than Paradise, meski lambat dan absurd, tidak membuat penonton menguap seperti bagi mereka yang mungkin belum terbiasa dengan -misalnya- film-filmnya Ingmar Bergman yang juga sama-sama lambat dan absurd. 

Rekomendasi: Bintang Lima

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k