Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Hari itu, 20 Maret, saya mendapat dua kali pengalaman visual yang menakjubkan. Setelah akhir Februari lalu saya berjumpa dengan Slamet Abdulsjukur yang masih tetap berkarya di usianya yang 78, sekarang saya berhadapan lagi dengan manula-manula (jika kita sebut manula itu adalah yang enam puluh tahun ke atas) enerjik yang tetap berkarya secara horizontalistik. Maksudnya horizontalistik, mereka tidak menjauhkan diri dari manusia demi berasketik ria dan mabuk dalam religiusitas vertikal. Para manula tersebut, Dieter Mack dan Awal Uzhata, keduanya sangat enerjik untuk memberikan sesuatu bagi manusia. Semangatnya yang berapi-api membuat aspek fisiologis ke-manula-an-nya tak berarti banyak karena ditelan spirit khas pemuda dua puluh-an.
Dieter Mack adalah profesor dari Jerman kelahiran tahun 1954. Artinya, ia tepat berusia enam puluh di tahun ini. Kehadirannya di Indonesia bukanlah hal yang aneh. Ia menganggap Bali adalah rumah keduanya karena kecintaan yang serius pada gamelan Bali. Untuk ketiga kalinya saya menyaksikan beliau bicara di Bandung ini. Saya tak pernah kehilangan kekaguman padanya bukan hanya disebabkan oleh kecerdasan beliau dalam menjelaskan segala tetek bengek soal musik, melainkan juga bagaimana energi kuat yang sanggup ia tebarkan ketika bicara -yang saya yakini datang bukan hanya dari pengalaman, tapi juga passion yang tinggi dan jujur-. Di tanggal 20 Maret kemarin itu saya menyaksikan kembali Dieter Mack berbicara di Bandung. Sekarang, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi panggungnya. Ia mengajarkan tentang pembelajaran musik sambil berdiri, mondar-mandir, dan sesekali berjingkrak mengikuti alunan musik yang ia lafalkan dari mulutnya sendiri. Ia mempraktikkan apa yang dianut oleh dirinya sendiri, "Segala sesuatu yang dilakukan dengan sepenuh hati, akan sampai pada pendengarnya."
Dieter Mack |
Di hari yang sama, malam harinya, saya berduet dengan Awal Uzhara untuk membicarakan sebuah film asa Rusia tahun 1928 yang berjudul The Man with A Movie Camera karya Dziga Vertov. Usia Awal Uzhara jauh di atas Dieter Mack. Ia sekarang sudah 82 tahun dan menggunakan tongkat untuk membantunya jalan. Tapi alangkah luar biasa ketika beliau memutuskan untuk mengajar sambil berdiri -walaupun saya tahu itu sangat menyusahkannya-. Dengan bicaranya yang sedikit terbata-bata karena terlalu lama tinggal di Rusia, ia memaparkan pengetahuan filmnya yang segudang tanpa sedikitpun kelihatan capek -meskipun ketika ia mulai bicara waktu sudah menunjukkan pukul delapan dan saya tahu beliau sudah mengajar sedari pagi-.
Awal Uzhara |
Baik Awal Uzhara maupun Dieter Mack mengingatkan saya pada seorang Siddharta Gautama yang pencerahan tertingginya adalah dengan tidak berdiam diri lagi untuk bertapa. Siddharta turun dari tempat samadinya dan berbagi pada banyak orang dengan kecintaan duniawi -yang tidak sama dengan istilah "duniawi" yang kita pahami dalam konteks "nafsu rendah"-. Cinta duniawi yang dimaksud adalah kecintaannya yang bertambah pada manusia. Mereka tidak menyia-nyiakan masa tuanya untuk pergi ke tempat ibadah dan "samadi" disana. Saya dapati informasi ini langsung dari keduanya: Dieter Mack tidak peduli soal agama, sedangkan Awal Uzhara ia mengatakan bahwa sembahyangnya adalah bukan demi Tuhan, tapi demi ketenangannya sendiri.
Martin Heidegger mengatakan bahwa hidup manusia menjadi punya nilai karena fitrahnya sebagai ada-menuju-kematian (being-toward-death). Kematian adalah keniscayaan ontologis agar manusia senantiasa cemas. Namun kecemasan itu, kata Heidegger, adalah elemen penting dalam pembuktian eksistensi manusia. Dengan kecemasan terselubung itu, manusia dihadapkan pada sejumlah pilihan-pilihan bagaimana menyikapi hidupnya yang seolah-olah sia-sia jika dihadapkan pada nihilnya kematian. Ada orang yang membayangkan kematian sebagai keabadian. Dengan demikian ia bisa saja memilih untuk hidup asketik dan konsentrasi untuk hari nanti saja (agama-agama besar getol mengajarkan hal semacam ini). Tapi ada yang memilih untuk tetap tidak tahu dan tetap menerima kecemasannya secara otentik. Menghadapi absurdnya kematian manusia, orang-orang seperti Awal Uzhara dan Dieter Mack memilih untuk enerjik, bergerak, dan mencintai dunia dengan perasaan yang tak terbayangkan.
Comments
Post a Comment