(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
"Nalar adalah cara alam untuk melakukan kritik diri."
-Sir Muhammad Iqbal
Kalimat di atas sungguh membingungkan saya hingga bertahun-tahun lamanya. Namun pelan-pelan misteri ini terkuak setelah mengetahui pengaruh filsuf Jerman era romantik, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang cukup kental terhadap pemikiran-pemikiran Iqbal. Atas dasar kepenasaranan yang menahun tersebut, saya akhirnya memaksakan diri mempelajari pemikiran-pemikiran Hegel. Kenapa harus mengatakan terpaksa? Harus diakui, pemikiran Hegel dipaparkan dengan cara yang begitu rumit. Tulisannya termasuk yang paling susah dipahami. Saya pun pada akhirnya (merasa) memahami Hegel lebih banyak melalui kejadian-kejadian sekitar.
Sebelum masuk ke tagline Iqbal di atas, mari renungkan terlebih dahulu: Dari mana asal kesadaran kita? Maksudnya, dari mana kita berpikir bahwa dunia hari ini sudah sedemikian kacau sehingga membutuhkan perubahan? Ketika seorang tiran membungkam mulut rakyat sehingga tidak ada lagi celah, apakah betul-betul kesadaran itu juga ikut terbungkam? Atau, contoh lebih konkrit, ketika saya ngobrol santai dengan Mbak Utet di Jalan Progo, ia berujar, "Aneh ya, sekarang orang-orang lebih seneng dengan nama yang ke-Arab-Arab-an ketimbang nama yang Indonesia." Apakah sesederhana bahwa kasus demikian bisa dijawab dengan gerak media? Sebelum media membabibuta seperti sekarang ini, bukankah sudah sejak dahulu orang mengalami dinamika kesadaran akan sesuatu di luar dirinya: tentang keluarga, masyarakat, negara, bangsa, hingga semesta?
Hegel punya tesis menarik. Ia mengatakan bahwa semesta lah yang menggerakan kita. Semesta sedang berevolusi, berkembang terus menerus, mencapai kesadaran lebih tinggi, lewat pergerakan manusia. Jadi doktrin tentang kehendak bebas manusia ditolak Hegel dengan mengatakan bahwa perubahan manusia sudah sedemikian niscaya sebagai konsekuensi dari berkembangnya kesadaran semesta. Marx menentang tesisnya ini dengan mengatakan bahwa harusnya manusia justru yang menjadi agen perubahan semesta -ia betul-betul membalikannya dengan istilah "materialisme dialektik"-.
Mari mengambil contoh lebih konkrit. Bagaimana kita melihat posisi Renaisans dalam sejarah kebudayaan Barat? Tentu saja, ia merupakan suatu respon terhadap gereja yang otoriter di Abad Pertengahan. Renaisans merespon hal tersebut dengan label "merayakan manusia" -sering disebut perubahan dari teosentris ke antroposentris-. Kemudian Renaisans mendapat respon kembali dari Periode Barok yang mencoba pelan-pelan mengembalikan wibawa agama. Kesadaran kembali bergolak lewat Periode Klasik atau sering juga disebut dengan pencerahan (aufklarung) yang memutar roda kesadaran kembali ke perayaan humanistik. Begitu seterusnya saling memukul, menentang, menginjak, dan entah hingga kapan mencapai finalitas.
Pertanyaan berikutnya, apakah pantas kita menuding Abad Pertengahan sebagai suatu "aib" bagi masyarakat Eropa? Bahkan istilah "Abad Pertengahan" itu sendiri konon merupakan sindiran, karena berada di tengah antara dua masa gemilang Eropa yaitu Klasik (Antiquty) dan Modern. Dalam khazanah filsafat, Abad Pertengahan juga sering dituduh sebagai "ladang pemikiran dimana orang menggaruk tidak pada tempatnya". Lantas, jika kita termasuk orang yang mengagungkan Renaisans, pikirkan kembali: Akankah ada Renaisans, tanpa ada Abad Pertengahan? Akankah ada peradaban Modern, tanpa Abad Pertengahan? Tidakkah ini adalah suatu evolusi mahabesar, yang menempatkan manusia bagaikan buih di tengah lautan. Kita bisa saja menyebutnya sebagai evolusi yang disebabkan oleh teknologi, ideologi, kekuasaan, atau apapun. Tapi Hegel "menyerah" pada hal-hal yang tampak dan material semacam itu. Ia memilih untuk bersandar pada "yang absolut", pada "yang mutlak". Maka itu ia menyebutnya semacam Evolusi Semesta: Suatu perkembangan kesadaran "yang mutlak" yang diperoleh dari dialektika peradaban manusia.
Tentu saja pemikiran Hegel ini tidak lepas dari kritik. Misalnya: Hegel menganggap sejarah adalah terlalu linear. Seolah-olah Renaisans adalah semata-mata antitesis dari Abad Pertengahan. Padahal Renaisans juga dipicu dari penemuan-penemuan teknologi seperti kompas, mesin cetak, dan mesiu. Kritik kedua: Jika semesta berevolusi melalui kesadaran manusia, apakah manusia masih berkehendak bebas? Karena ternyata, bagi Hegel, manusia ini sekadar "wayang-wayang" bagi semesta untuk berkembang. Kritik ketiga: Hegel optimis bahwa Evolusi Semesta mempunyai tujuan. Tujuannya, dengan arogan ia gamblang mengungkapkan, ujungnya ada di Prussia. Evolusi Semesta yang bertujuan ini menciptakan satu optimisme tersendiri. Namun ia juga punya kelemahan, seolah-olah manusia semakin kemari semakin beradab dan rasional. Padahal tidak selalu demikian halnya.
Terakhir, mari kita kembali pada tagline Iqbal dan obrolan saya dengan Mbak Utet. Iqbal mengatakan bahwa nalar adalah cara alam untuk kritik diri. Tentu saja ini sejalan dengan konsep Hegelian bahwa memang, alam selalu lebih atas, ia justru membawahi manusia. Apa yang kita anggap sebagai pemikiran sendiri, sesungguhnya berasal dari alam semesta yang ingin memperbaharui dirinya. Lantas Mbak Utet mengatakan tentang nama anak-anak hari ini yang ke-Arab-Arab-an. Jika mempercayai konsep Hegel, maka percayalah bahwa kelak hegemoni ke-Arab-Arab-an ini akan runtuh jua ketika orang-orang mulai bosan.
Comments
Post a Comment