Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Perempuan di Moncong Senjata: Penggambaran Aung San Suu Kyi di film The Lady (2011)

 Dimuat di Majalah Bhinneka Edisi Desember 2012


Tidak ada adegan yang lebih dramatis dalam film The Lady, selain ketika Aung San Suu Kyi berjalan ke arah sekelompok tentara yang membidikkan senapan. Dengan semangat anti-kekerasan ala Mahatma Gandhi, Suu Kyi -yang diperankan dengan sangat prima oleh artis Singapura, Michelle Yeoh- menghadapi pasukan junta militer yang represif tersebut dengan senyum menawan. Ini bukan persoalan apakah adegan tersebut benar-benar terjadi di dunia nyata atau tidak. Yang lebih penting adalah bagaimana adegan itu menjadi simbol kekuatan perempuan dalam melawan tirani. 

Aung San Suu Kyi 

Sebelum membahas film The Lady, ada baiknya memberikan sedikit gambaran tentang tokoh yang diceritakan dalam film tersebut yakni Aung San Suu Kyi. Suu Kyi bukanlah perempuan yang menempati posisi puncak dalam pemerintahan Myanmar. Ia berdiri kokoh sebagai oposisi sejak tahun 1988 menentang tampuk tertinggi yang dijalankan oleh junta militer. Sejak tahun 1962, Myanmar, yang kala itu bernama Burma, diambil alih oleh kekuasaan militer di bawah pimpinan Jendral Ne Win. Dengan jalan kudeta, Ne Win membubarkan dengan paksa politik Burma yang cukup cemerlang di bawah pimpinan Presiden Win Maung dan Perdana Menteri U Nu. 

Sejak itu, Burma dipimpin oleh pemerintahan militer bernama Burma Socialist Programme Party (BSPP) dari tahun 1962 hingga 1988. Namun rakyat Burma tidak kunjung mendapatkan kebebasannya pasca BSPP terguling. Penggantinya, State Peace and Development Council (SPDC) memerintah dengan cara tak kalah represif di bawah pimpinan Jendral Saw Maung. Di masa SPDC ini pula, Burma berganti nama menjadi Myanmar. Pada periode SPDC inilah Suu Kyi berkarir secara politik. 

Keterlibatan Suu Kyi dalam politik sendiri bisa dibilang tidak disengaja. Pada tahun 1988, ia pulang ke Burma untuk mengunjungi ibunya yang sakit. Sebelumnya, Suu Kyi tinggal di Inggris beserta suaminya, Michael Aris dan hidup tenang dengan dua anak. Namun kepulangannya yang direncanakan singkat tersebut ternyata menjadi momentum bagi para aktivis yang tengah berdemonstrasi menentang kepemimpinan junta militer. Keberadaan Suu Kyi yang dianggap mampu memberikan kekuatan politik ini, tidak lepas dari sejarah. Ayah dari Suu Kyi, Aung San, adalah tokoh penting dalam politik Burma. Ia sukses memerdekakan Burma dari Inggris lewat jalur diplomasi, namun kemudian dieksekusi secara tiba-tiba oleh kelompok militer di usia 32 tahun. 

Meski meninggal sebelum Burma diresmikan merdeka dari Inggris, nama Aung San menjadi harapan bagi warga Burma. Mereka, khususnya aktivis anti pemerintahan militer, melihat keberadaan Suu Kyi sebagai mesias seperti halnya Aung San dulu membebaskan Burma dari penjajahan. Keberadaan Suu Kyi ini tercium oleh pemerintah SPDC yang menganggapnya sebagai ancaman terhadap kestabilan. 

Suu Kyi, yang lahir pada tahun 1945, kemudian dikenakan tahanan rumah dari tahun 1989 hingga baru saja dibebaskan kemarin pada tahun 2011. Meski ditahan, ia tetap menjadi pemimpin bagi partai yang dinaunginya, National League of Democracy (NLD). Kabar terakhir, Suu Kyi, mewakili NLD, akhirnya resmi mempunyai posisi di pemerintahan. Ia menduduki parlemen sebagai oposisi bagi Presiden Thein Sein. Selain keberhasilannya menembus parlemen, Suu Kyi juga pernah dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1991 dan sejumlah penghargaan internasional lainnya seperti Sakharov Prize for Freedom of Thought, Jawaharlal Nehru Award for International Understanding dan International Simón Bolívar Prize

The Lady (2011) 

The Lady, yang disutradarai oleh Luc Besson, adalah film yang menceritakan tentang Suu Kyi di periode antara kedatangannya ke Burma, perjuangannya bersama NLD, hingga statusnya sebagai tahanan rumah. The Lady juga tidak sedikit menyoroti kehidupan pribadi Suu Kyi dengan sang suami, Michael Aris, serta kedua anaknya, Kim dan Alexander. Film berdurasi 134 menit ini bermain di dalamnya Michelle Yeoh sebagai Suu Kyi dan David Thewlis sebagai Michael Aris. 

Meski secara gamblang menunjukkan bahwa film ini adalah biografi Suu Kyi, namun tentu saja setiap film mempunyai fokus tertentu. Sebelumnya, kita ambil contoh film Munich karya Steven Spielberg. Munich berpijak pada tragedi nyata tentang bagaimana para atlit Israel dibunuhi di Olimpiade Munich 1972 oleh para teroris. Kemudian fokus film ini adalah bagaimana agen rahasia Israel, Mossad, melakukan pembalasan terhadap tragedi tersebut. Jadi, kisah nyata hanya digunakan sebagai pijakan skenario. Selebihnya, sutradara boleh (dan bahkan harus) memilih angle mana yang ingin diangkat sebagai pesan dari sebuah film. 

Lantas, fokus mana yang diangkat oleh Luc Besson pada film The Lady? Suu Kyi dalam film ini tidak digambarkan hanya sebagai pejuang politik, melainkan juga posisinya sebagai istri bagi Michael dan ibu bagi Kim dan Alexander. Kekuatan Suu Kyi untuk maju menentang junta militer tidak hanya didapat dari para aktivis NLD, tapi juga dari dorongan keluarganya. Ada sisi yang hendak dipertunjukkan oleh Besson pada penonton: Bahwa Suu Kyi adalah perempuan pada umumnya. Ia bukan Yoanna dari Ark atau Hypatia yang menempa diri; lantas mengabdi sepenuhnya pada idealisme “kekuatan” ataupun “kebenaran”. Suu Kyi bukan perempuan seperti Simone de Beauvoir yang mencurahkan pikirannya untuk memberi landasan filosofis bagi kesetaraan perempuan. 

Suu Kyi, dalam penggambaran Besson, sungguh mencerminkan perempuan “rumah-an” yang menganggap bahwa keluarga adalah sumber kebahagiaan yang mesti dilestarikan. Bahkan Suu Kyi, yang untuk pertama kalinya pidato di depan pendukungnya dengan amat percaya diri dan berapi-api, harus sejenak menunjukkan wajah tegang dan keringat dingin pada sang suami sebelum menaiki podium. Ketika Suu Kyi berpidato, kamera juga menyoroti secara bergantian ekspresi Suu Kyi dan Michael Aris –yang begitu khawatir-. Seolah-olah menunjukkan bahwa dalam konteks panggung politik yang kejam dan dingin, keperempuanan Suu Kyi membutuhkan tenaga dari sanak famili. 

Lainnya, tentu saja adegan dramatis ketika sebaris tentara membidikkan senapan pada sekelompok aktivis NLD yang tengah berkampanye. Suu Kyi maju menghadapi tentara itu, berjalan tenang dengan hiasan bunga di rambut –tersenyum- dan melewati moncong senjata tanpa sedikitpun tersirat rasa takut. Suu Kyi, dalam perjuangannya, selalu menekankan anti-kekerasan seperti halnya Mahatma Gandhi ketika menghadapi represi Inggris. 

Junta militer Burma digambarkan sangat maskulin: demikian agresif dan menyukai penaklukan. Mereka juga anti-kritik dan menggilai tampuk kekuasaan. Demokrasi nyaris ditiadakan dan berdiri semacam pemerintahan totalitarian. Kita tidak bisa melihat bagaimana cara yang tepat untuk menggulingkan pemerintahan semacam itu –yang bahkan represif juga terhadap seni budaya!-. Jika ingin dilawan dengan kekerasan, akses senjata tentu saja tidak berimbang dengan yang dipunyai sipil.

Besson menunjukkan lewat filmnya, The Lady, bahwa situasi represif akut yang maskulin semacam itu, hanya bisa ditundukkan oleh keperempuanan yang natural. Pierre Bourdieu, filsuf Prancis, menyebutkan, “Dominasi laki-laki sudah sangat mengakar dalam kesadaran kita, sehingga bahkan kita tidak sanggup melihatnya.” Apa artinya? Jika Suu Kyi kemudian mengambil jalur sikap maskulin dengan melakukan agresi balik dan revolusi kekerasan, maka secara tidak langsung Suu Kyi menundukkan diri pada dunia kemaskulinan –ketika maskulin dilawan dengan maskulin, berarti seluruh dunia ini menjadi maskulin!-. 

Catatan Penutup 

Lewat penonjolan keperempuanan Suu Kyi dalam film The Lady yang amat sederhana, bisa jadi keberadaan perempuan pemimpin bukan saja perlu, tapi mendesak. Namun sekali lagi, kepemimpinan yang dimaksud tidak sama dengan kepemimpinan yang maskulin. Majunya perempuan ke medan politik bukan seperti majunya pria. Berjuangnya perempuan bukan seperti berjuangnya pria. Ekstrimnya perempuan tidak sama dengan ekstrimnya pria. Pernyataan-pernyataan semacam ini bukan menunjukkan kritik terhadap feminisme yang berupaya menyamaratakan posisi perempuan dengan laki-laki hingga ke tataran “kodrati”. Kemendesakan kepemimpinan perempuan menjadi perlu dalam segala lini untuk menjaga agar dunia tetap pada harmoninya: Seimbang antara maskulin dan feminin –kita bisa sebut Yin dan Yang-. Karena tanpa suatu kekuatan keperempuanan yang natural dan berintensi pada keseimbangan alam, tidak mungkin senyuman Suu Kyi bisa menaklukkan moncong senjata yang siap menyalak. 

Syarif Maulana 
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNPAD dan Penggiat Klab Filsafat Tobucil www.syarifmaulana.blogspot.com 

Referensi 
http://news.xinhuanet.com/english/world/2012-04/02/c_131504585.htm
http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/peace/laureates/1991/kyi-bio.html
http://www.youtube.com/watch?v=sZFpURJGv00&feature=related
http://editorials.voa.gov/content/burmese-parliamentary-elections-146265885/1493313.html http://en.wikipedia.org/wiki/The_Lady_%282011_film%29

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat