Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Dwilogi Novel Padang Bulan: Sastra Motivasi dan Tampak Keren


Setelah tandas membaca Taiko yang tebalnya 1140 halaman, saya coba cari novel yang sekiranya tidak terlalu berat untuk diselesaikan. Akhirnya saya temukan novel ini: Dwilogi Padang Bulan karya penulis Andrea Hirata yang naik daun oleh sebab Laskar Pelangi-nya. Saya belum membaca novel dia yang manapun. Ini adalah yang perdana.

Hanya dua hari saya perlukan untuk menyelesaikan kedua buku yang terkemas dalam dwilogi Padang Bulan yaitu Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Tidak ada kerut kening atau membulak-balik halaman ke belakang untuk menyusun kepingan memori karena tertumpuk alur atau penokohan yang kompleks. Teknik bercerita Andrea sangat mengalir, ringan, dan tak jarang membuat saya menyunggingkan senyuman. Senyum ini bisa disebabkan oleh hal yang memang mengandung kejenakaan, bisa juga karena saya tak habis pikir: Mengapa bisa tulisan semacam ini jadi seperti apa yang dicapkan di sampul depannya: Mega Bestseller -Terjual 25.000 eksemplar dalam 2 minggu. Pertanyaan kemudian muncul: Orang banyak yang tidak paham sastra, atau malah saya?

Tentu saja saya punya sejumlah argumen mengapa novel Andrea Hirata ini tidak pantas disejajarkan dengan penulis Indonesia lain sekelas Ayu Utami atau Nukila Amal misalnya. Pertama, adalah bagaimana Andrea begitu gatal ingin memamerkan sejumlah referensi "tampak keren" agar dirinya terlihat mempunyai wawasan yang melimpah. Berikut contoh uraiannya:

1) Kini ia duduk di depanku, sesosok perempuan perkasa, dengan lengan lebih besar dari lenganku. Dua orang petinju kulihat telah menguasai perempuan itu: Sugar Ray Leonard di lehernya, Thomas Hearns di bahunya. Kakinya kukuh seperti rusa Thomson.

2) Tujuh pionnya yang tersisa menjelma menjadi tujuh samurai: Kambei Shimada, Katsushiro, Kyuzo, Gorobei, Shichiroji, Heihachi, dan Kikuchiyo. 
Ketujuh samurai berjibaku secara kesatria walau kekuatan tak berimbang. Shichiroji tewas. Sisa enam pasukan Maryamah menjelma menjadi The Braveheart -WilliamWalace- dan lima pembebas Skotlandia sampai William Wallace mangkat. 
Lima warrior Skotlandia yang tersisa langsung berubah menjadi Power Rangers. Mereka berperang tak kenal takut. Menteri Syamsuri Abidin yang keji menghabisi Ranger Pink. Penonton berulang kali mengejek Maryamah agar meletakkan pedangnya di tanah, namun perempuan itu bertekad untuk membela kehormatannya sampai titik darah penghabisan.
Empat pion terakhir Maryamah mengubah dirinya menjadi Kura-Kura Ninja. Pertempuran sengit meletus sampai kura-kura Donatello mengembuskan napas yang terakhir. Tiga prajurit tersisa dengan cepat menjelma menjadi The Three Musketeers. Dalam sebuah penyergapan, D'Artagnan, salah satu dari Musketeers menjadi almarhum lantaran dibunuh luncus Syamsuri Abidin.

Dari segelintir paragraf yang diuraikan di atas, simak bagaimana penulis begitu ingin memperlihatkan keluasan wawasannya akan budaya pop dan pengetahuan umum. Hal tersebut tidak berlangsung dalam sedikit halaman, melainkan mendominasi seisi buku. Mungkin bagi sebagian pembaca, hal ini amat terpuji. Namun bagi pembaca yang sudah biasa membaca novel-novel berbobot yang ditulis oleh penulis berwawasan betul-betul luas, mungkin akan merasa upayanya ini justru menunjukkan kekurangan wawasan -ketidakpercayadirian akut sehingga harus mencomot istilah-istilah yang "tampak keren"-.

Pertanyaan berikutnya adalah: Mengapa harus dijadikan dwilogi? Jujur, saya baru mendengar istilah dwilogi. Yang lebih umum barangkali trilogi ataupun -belakangan- tetralogi. Jika mau dibagi berdasarkan tema ataupun penokohan, baik Padang Bulan maupun Cinta di Dalam Gelas bisa dibilang mirip-mirip. Keduanya masih berpusat pada dua orang tokoh utama yaitu Ikal dan Maryamah. Bahasa gampangnya: Buku ini tidak perlu diberi label dwilogi, atau malah tak perlu dibagi dalam dua buku. Satu buku saja sudah cukup. Kecurigaan saya, diberi istilah dwilogi, lagi-lagi, demi teknik pemasaran yang berbasiskan istilah-istilah "tampak keren".

Terakhir, soal makna. Novel ini -salah, dwilogi novel ini- barangkali bertemakan sesuatu yang sedang digandrungi oleh masyarakat kita. Temanya sangat memotivasi: Perjuangan Maryamah yang kehilangan ayah sejak kecil, untuk kemudian berjuang mencari pekerjaan, sampai akhirnya menjadi perempuan pendulang timah pertama di dunia. Belum habis sampai situ, Maryamah melanjutkan perjuangannya dengan mengalahkan mantan suaminya, Matarom, di pertandingan catur. Yang mengharukan tentu saja sisi dimana Maryamah yang tadinya tidak bisa bermain catur, menjadi bisa oleh suatu perjuangan yang keras dan menjadi pesan cukup jelas: "Kita semua bisa jika semangat dan bersungguh-sungguh!". 

Ikal pun tak kalah menunjukkan perjuangannya -saya curiga Ikal ini adalah Ikal yang sama dengan yang ada di Laskar Pelangi. Ikal adalah panggilan lain dari sang penulis, Andrea Hirata. Berarti, buku-buku Andrea adalah selalu menceritakan dirinya yang penuh motivasi-. Ia mengejar cintanya, A Ling, dengan tekad yang kuat meski dirinya serba berkekurangan dibanding sang rival, Zinar. Di buku Cinta di Dalam Gelas, Ikal menjadi penjaga warung kopi, dimana ia diam-diam mencatat segala gerak-gerik para peminum kopi sehingga karakternya dan mood-nya bisa ditelaah satu persatu. Bagian pembukuan gerak-gerik peminum kopi ini, bagi saya, cukup menyelamatkan buku ini dari tuduhan dangkal total. Meski ditulis dengan gaya ringan dan jenaka, namun Andrea sepertinya melakukan survey yang cukup untuk ini -nah, kita bisa tahu bahwa tulisan ringan pun bisa kelihatan pintar walaupun tidak ditonjol-tonjolkan-. 

Buku ini menegaskan satu mitos yang diungkap oleh kawan saya, Pirhot Nababan, "Penulis Indonesia rata-rata memforsir diri untuk buku pertama. Setelah itu ia kehabisan tenaga." Betul, dwilogi novel Padang Bulan adalah contoh betapa Andrea kehabisan inspirasi sehabis dimabuk kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi. Ia berupaya membubuhkan disana-sini tambahan topik-topik kecil agar novelnya tampak tebal. Namun itu tidak membuat  novel tersebut menjadi punya bobot. 

Comments

  1. Tulisan yg berisi ulasan terburuk yang pernah saya baca; dangkal dan nyinyir. Silahkan terbitkan satu buku tulisan anda terlebih dahulu -tak usah "mega bestseller" pun tak apa- biar ada sedikit kepantasan yg bisa dilihat dari yg biasa melahap buku2 'berat' dan tebal "1140" halaman seperti anda, dan biar tak ada juga tuduhan menulis tulisan diatas sebagai yg hanya ingin "tampak keren" saja..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...