(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Baru saja, pagi tadi, saya bertemu seorang tua bernama Pak Awal Uzhara. Ia adalah dosen di Jurusan Sastra Rusia yang menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di Rusia untuk salah satunya kuliah di bidang perfilman dokumenter. Usianya saya kira 75 tahun, tapi ternyata ia lebih tua lagi. Hal itu terungkap dari cerita yang ia paparkan sendiri, "Waktu saya bekerja di Radio Moskow tahun 1995, usia saya enam puluh tahun.." Artinya, jika dihitung, maka usia beliau sekarang 82 tahun!
Tentu saja kita tidak sedang membahas usia seseorang. Apa yang membuat saya sedemikian tertarik adalah tentang bagaimana pose Pak Awal ketika saya temui di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UNPAD. Ia sedang membaca, tenang sekali, di bawah sorot lampu baca. Tangannya meraba-raba kertas untuk membantu dirinya memerhatikan detail baris demi baris. Sesekali beliau memberikan sedikit coretan di atasnya entah berisi catatan apa. Apa yang dilakukan Pak Awal secara persis saya tidak paham, tapi yang pasti ia sedang mempelajari sesuatu secara serius. Di usianya yang senja, pemandangan ini, bagi saya, sungguh mengesankan.
Setelah lama memerhatikan, saya pun menyapa beliau. Dia tanya, kemarin kemana saja, kok tidak kelihatan? Saya jawab sedang tidak enak badan -jawaban yang kemudian saya sadari sebagai memalukan karena datang dari mulut anak muda yang harusnya jauh lebih sehat-. Langsung saja saya berikan naskah calon buku yang hendak ia bubuhkan kata pengantar sambil sekali lagi berkata maaf karena berkali-kali janji untuk jumpa tak kunjung ditepati.
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, tatap muka dengan beliau tak pernah sebentar. Seketika saya duduk di hadapannya, Pak Awal langsung bercerita pengalamannya puluhan tahun di Rusia. Terus menerus ia menyisipkan keprihatinan tentang bagaimana kisah-kisah mengenai negara tersebut seringkali disiarkan via CNN sehingga objektivitasnya patut diragukan. "Rusia sekarang sudah tidak komunis. Partai Komunis disana hanya peringkat dua di parlemen, itupun persentasenya kecil sekali. Jadi anggapan Rusia sama dengan komunis sudah tidak relevan," ujarnya.
Kemudian dengan suaranya yang kecil (namun bukan berarti lemah), ia berkisah tentang seorang pujangga bernama Sergei Alexandrovich Yesenin yang puisinya indah-indah namun sebetulnya mengritik pemerintah. Yesenin dianggap mati gantung diri, namun belakangan ternyata ada dugaan ia dibunuh oleh KGB. Pak Awal juga lompat ke cerita tentang bagaimana mayat seorang Lenin diawetkan dengan biaya besar. Sudah sempat tercetus usul untuk menguburkannya saja, tapi ditentang oleh banyak kalangan.
Tak terasa satu jam berlalu. Kisah mengenai pengalamannya berpuluh tahun di Rusia tak semua mampu saya serap -selain disebabkan oleh gaya tuturnya yang melompat-lompat, secara fisik pun saya sedang mengantuk karena baru saja selesai mengajar kelas jam tujuh pagi-. Namun sorot mata beliau ketika bercerita tak mungkin saya lupa. Ia sangat bergairah seperti seorang anak yang baru saja bisa membaca. Tidak ada sedikitpun tersirat ia berbicara sebagai seorang guru pada muridnya. Pak Awal bercerita seperti pada dirinya sendiri. Seperti ia sedang mengenang masa mudanya yang baru saja berlalu kemarin pagi.
Dalam ngiang cerita Pak Awal, terlintas ucapan bapak saya dalam kepala, "Pada akhirnya manusia hanya terbagi dua. Mereka yang mau belajar terus menerus dan selalu bergairah karena setiap harinya ia memulai sesuatu dari titik nol; dan mereka yang merasa cukup dan bosan karena ternyata dunia yang ia diami begitu-begitu saja."
Comments
Post a Comment