(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Ditulis sebagai Suplemen untuk Pemutaran Film Babel di Layarkita, 10 September 2012.
“Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan Tuhan bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan Tuhan ke seluruh bumi.” – Kitab Kejadian 11 : 9
Babel, selain yang disebut dalam Perjanjian Lama tersebut, adalah juga judul film yang disutradarai oleh Alejandro González Iñárritu. Sutradara asal Meksiko itu tidak asal comot istilah dari Alkitab. Film Babel yang dirilis tahun 2006 itu memang bercerita tentang orang-orang “yang berserakan” di Jepang, Maroko, Amerika Serikat, dan Meksiko yang tertimpa “kutukan Tuhan” bernama bahasa. Sebelum mengupas aspek filosofis dari Babel, ada baiknya untuk sedikit menengok aspek historis dari film tersebut. Pertama-tama dengan mengenal sejenak sang sutradara –yang memang terkenal punya karakter kuat dalam sinematografi-. Kedua adalah dengan mengetahui bahwa Babel merupakan bagian ketiga dari trilogi yang disebut dengan The Death Trilogy. Dua film sebelumnya berjudul Amores Perros (2000) dan 21 Grams (2003).
Alejandro González Iñárritu dan The Death Trilogy
"This is nothing new, what I do - Rashomon, sixty years ago, played with structure and time... My father is a great story teller, he starts in the middle and goes back and forth, and that's an entertaining way to tell a story. My aunt tells a linear story, I want to fall asleep, waiting for the end, which I already know... I normally construct my thoughts like that - I jump around a lot."
-Alejandro González Iñárritu
Jika menyaksikan dua film sebelum Babel, maka dapat dengan mudah dinilai bahwa Iñárritu adalah sutradara berkarakter. Duetnya dengan penulis skenario Guilermo Arriaga menciptakan satu gaya multi-naratif yang khas dan dapat ditemui baik di film Amores Perros, 21 Grams dan Babel. Iñárritu amat pandai menampilkan kepingan-kepingan peristiwa yang awalnya membuat penonton mengerutkan kening –terutama bagi mereka yang terbiasa gaya bertutur linear-, namun lama kelamaan dapat ditemukan benang merah dari seluruh potongan tersebut.
Merujuk pada pernyataan sang sutradara di atas, ia sendiri tidak merasa bahwa gayanya ini adalah sesuatu yang baru. Iñárritu menunjuk film Rashomon karya Akira Kurosawa sebagai inspirasi terbesarnya dalam menciptakan gaya multi-narasi. Tak lama sebelum Iñárritu pun ada sutradara seperti Quentin Tarantino yang rajin bercerita secara lompat-lompat seperti dalam filmnya Reservoir Dogs dan tentu saja Pulp Fiction. Artinya, meski multi-narasi menjadi ciri khas dalam tiga film pertama yang digarap oleh Iñárritu, namun ada hal lain yang lebih bisa membuat ia terlihat mempunyai kekuatan.
Iñárritu kerapkali mengangkat problem manusia yang mendasar seperti kematian, kecemasan, kehilangan, pengkhianatan, kesepian, dsb. Isu-isu yang diangkat dalam filmnya membuat ia tidak jarang dijuluki sebagai sutradara neo-realis. Hal ini tidak terlalu berlebihan mengingat gaya sinematografinya yang agak dokumenteristik –boleh kita sebut cinema verite?-, penggunaan aktor non-profesional (terutama di film Amores Perros dan beberapa di Babel) serta menampilkan keseharian sebagaimana adanya tanpa bumbu fantasi yang mengawang-awang. Itulah barangkali kekuatan utama gaya penyutradaraan Iñárritu yang secara filosofi bisa disebut eksistensialistik. Ia menampilkan manusia dalam otentisitasnya -dalam situasi paling manusiawi-
Selain itu, ada kesamaan penting antara Babel dengan dua film sebelumnya, yakni –itu tadi- kesan kuat tentang kemanusiaan. Meski demikian, Iñárritu memberi distingsi tema bagi masing-masing film. Misalnya, Amorres Perros berpusat pada kecelakaan di jalan raya yang kemudian masing-masing tokoh dalam kecelakaan tersebut dikisahkan baik dengan alur maju maupun alur mundur. Diantara tokoh-tokoh tersebut juga ada kesamaan: Sama-sama mempunyai anjing, sama-sama mempunyai kisah pengkhianatan. Apakah Iñárritu hendak membandingkan sifat anjing yang setia, dengan sifat manusia yang rentan terhadap sifat khianat? Bisa saja.
21 Grams juga sama, ia berpusat pada kecelakaan di jalan raya. Bedanya, jika Amorres Perros antara mobil dengan mobil, 21 Grams adalah mobil dengan pejalan kaki. 21 Grams kemudian melacak secara eksistensial riwayat sang penabrak dan yang ditabrak. Pada akhirnya penonton diajak untuk merenungkan bahwa kehidupan tidak serta merta hitam putih. Bahwa sang penabrak bukan berarti ia jahat sepenuhnya. Ada kenyataan baik setelah itu: Hati korban tabrakan bisa dipakai untuk menyelamatkan nyawa orang lain (ditransplantasi) dan sang penabrak mengalami satu lompatan kesadaran spiritual yang luar biasa.
Dua film tersebut menciptakan satu kesan bahwa dalam jarak eksistensial tertentu, sesungguhnya manusia itu unik, bukan lagi soal baik dan jahat. Lewat musik yang digarap oleh Gustavo Santaolalla yang rajin bermain minimalis dengan petikan gitar sederhana, membawa kita pada kesan muram dan sepi. Eksistensi manusia menjadi terasa menyedihkan dan jauh dari hingar bingar: “We are also what we have lost,” merujuk kalimat penutup dalam film Amores Perros.
Membentangkan Makna-Makna yang Mungkin
"Kids sometimes pay the price for all the stupid things that adults do... the border lines within us, which have been taught to us by our governments, our fathers, our religions, our schools, our races, thinking we are superior, inferior, or better - all the stereotypes, all our ideologies, are ruining the world, and within us, they are limiting our ability to interact." - Alejandro González Iñárritu
Tidak seperti Stanley Kubrick atau David Lynch yang kerap bungkam pada makna apa yang ingin dihadirkan pada filmnya, Iñárritu lebih membuka mulut dan “menyuapi” penontonnya. Meski demikian, kemungkinan untuk membongkar makna lain selalu ada, meski ucapan sang sutradara tersebut tentu saja tidak boleh dibuang sebagai pijakan.
1. Confusion of Tongues
Babel bukanlah film yang memerlukan pemahaman filosofis tertentu untuk mengungkapkan maknanya. Beda dengan film semisal 2001: A Space Odyssey-nya Stanley Kubrick atau Seventh Seal-nya Ingmar Bergmann yang jika tanpa amunisi tertentu, akan sulit sekali untuk menemukan faedah. Ada hal-hal yang cukup jelas dalam Babel, misalnya:
• Film ini bercerita tentang kecerobohan seorang anak yang mencoba-coba senjata dan akhirnya malah berbuntut panjang.
• Bagi mereka yang tahu asal kata Babel, maka tidak susah untuk menyocokan kisahnya dengan apa yang ada di Alkitab. Diperoleh kesimpulan: Film Babel adalah soal keruwetan bahasa, soal confusion of tongues.
Kedua pemahaman tersebut jelas tidak terbantahkan. Namun boleh juga jika interpretasi mengenai Babel dikembangkan sehingga mungkin saja menemukan makna-makna yang juga produktif. Pertama, mari mengulas istilah Babel dalam Alkitab secara lebih lengkap:
(1) Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya.
(4) Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi."
(5) Lalu turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu,
(6) dan Ia berfirman: "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.
(7) Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.
(8) Demikianlah mereka diserakkan Tuhan dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu.
(9) Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan Tuhan bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan Tuhan ke seluruh bumi.
Film Babel sebagai confusion of tongues amatlah cocok. Dikaitkan dengan Alkitab, seolah-olah memang umat manusia terkutuk untuk dipisahkan oleh bahasa, sehingga mereka terpaksa menjadi terfragmentasi satu sama lain. Ini contoh kecil adegan-adegan dalam film yang menunjukkan kefrustasian oleh sebab perbedaan bahasa:
• Adegan di Maroko ketika Susan Jones dirawat di Tazarine. Sang penerjemah mengatakan hal yang berbeda dari yang seharusnya. Kata dokter, lukanya parah dan harus dijahit. Kalau tidak, pasien akan berdarah hingga mati. Kata penerjemah, “Ia akan baik-baik saja.” Hal tersebut membuat frustasi Richard Jones.
• Chieko menjadi anak yang teralienasi karena statusnya sebagai penyandang bisu-tuli. Meski menguasai bahasa isyarat, namun ia tetap dijauhi oleh lingkungan karena dianggap punya cara bicara yang berbeda.
2. “Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya”
Agaknya melihat Babel sebagai semata-mata soal confusion of tongues bukannya tidak tepat, hanya lebih menarik jika dilengkapi kenyataan bahwa sesungguhnya ada bahasa yang “tanpa bahasa”. Atau bahasa yang boleh kita sebut universal. Artinya begini, bahasa tentu saja fenomena universal –dalam peradaban mana pun selalu terkandung bahasa-. Namun juga ada bahasa yang bisa menghubungkan bahasa-bahasa yang berserakan itu. Mari melihat beberapa contoh adegan:
• Susan dan Richard kehilangan satu anaknya; Amelia kehilangan Santiago dan hak asuhnya pada Mike dan Debbie; Abdullah kehilangan kehidupannya yang normal dan sederhana. Yasujiro kehilangan istrinya.
• Yussef berhasrat pada kakaknya; Amelia berhasrat pada mantan suaminya; Susan dan Richard menunjukkan hasrat ketika sadar bahwa keduanya melakukan kesalahan di masa lalunya; Chieko melihat hasrat dimana-mana, namun ia tak sanggup menjangkaunya.
• Ada cinta diantara Susan dan Richard; Yussef dan Ahmed; Amelia dan mantan suaminya; Yasujiro pada sang anak, Chieko.
Universalitas semacam ini mengingatkan pada film drama keluarga Love Actually. Pesan moral film itu adalah: Cinta itu dimana-mana. Iñárritu menambahkan dengan lebih kompleks: tidak hanya cinta, tapi momen-momen eksistensial seperti kehilangan dan hasrat juga ada dimana-mana. Manusia dalam kehadirannya di dunia sudah mengandung sejumlah kesamaan. Hal-hal seperti inilah yang agaknya membuat manusia tetap sanggup memahami manusia lain meski tak belajar bahasa mereka.
Ada bagian menarik ketika Chieko berada di diskotik dalam pengaruh obat. Iñárritu menyorot dari sudut pandang si gadis dan mendapati dunia yang sunyi sepi. Ini adalah semacam gambaran dunia tanpa bahasa. Meski ketiadaan bahasa memisahkan ia dari dunia, namun ia tetap sanggup merasakan hasrat ketika berjumpa kawan-kawan prianya. Chieko juga bisa merasakan kesedihan yang mendalam ketika seorang detektif menolak untuk bersetubuh dengannya. Jangan-jangan apa yang tertulis dalam Alkitab tentang kondisi purba manusia yang “satu bahasanya dan satu logatnya” adalah bahasa-bahasa eksistensial seperti ini.
3. Batas-Batas Negara
Sekarang, mari membahas apa yang sudah diucap oleh Iñárritu:
Konsekuensi logis dari perbedaan bahasa adalah identitas. Identitas kemudian menopang munculnya bangsa. Setelah menjadi bangsa, kemudian manusia itu sendiri menentukan batas-batas wilayah yang disebut negara. Negara menjadi konsepsi yang kemudian diagung-agungkan terutama sejak era Romantik di Eropa. Ia dibela, dipertahankan, dan digaungkan lewat konsep patriotisme agar seolah mempunyai martabat.
Mari berandai-andai sedikit. Jika yang ditembak Yussef bukan turis asal AS, akankah masalah menjadi sedemikian rumit? Akankah permasalahan menjadi seglobal urusan teroris versus Barat? Lalu simak bagaimana negara menjadi urusan paling ruwet ketika untuk menyelamatkan seorang Sarah Jones yang terluka, harus ada “kejelasan-kejelasan semu” seperti yang terkandung dalam perdebatan antara Richard Jones dan seorang Polisi di Maroko. Polisi itu tetap berpegang teguh bahwa mereka tidak punya ambulans dan biarkan kedutaan AS yang mengurus Sarah. Richard berkata keras, “This is your fucked up country!” seolah menekankan bahwa ini adalah tanggungjawabmu karena terjadi di negaramu. Lempar melempar tanggungjawab ini hanya mungkin disebabkan oleh keberadaan konsep negara.
Yang paling jelas adalah bagaimana Amelia dideportasi karena dianggap tidak memiliki ijin membawa Mike dan Debbie melintasi perbatasan. Argumen Amelia tentang, “Anak ini sudah saya asuh sejak mereka bayi. Saya memberinya makan setiap hari,” mentah seketika. Argumen cinta dikalahkan oleh legalitas negara. Sebelumnya, Amelia yang menghadiri pernikahan anaknya, bersenang-senang seperti biasa secara manusiawi. Menuruti keinginan-keinginan eksistensialnya untuk mencari bahagia, bercumbu memuaskan hasrat, tampil baik secara sosial dengan baju masa lalunya, ternyata menjadi sama sekali tidak berharga di hadapan negara.
4. "Kids sometimes pay the price for all the stupid things that adults do...”
Salah satu karakteristik trilogi kematian Iñárritu adalah keberadaan anak-anak. Di ketiga film tersebut, selalu ada anak yang disandingkan dengan kegiatan-kegiatan orang dewasa. Efeknya, penonton merasakan satu kesan bahwa memang orang dewasa menciptakan satu kerumitan tersendiri pada dunia. Di Amores Perros, Octavio mengajak pergi Susanna yang telah mempunyai bayi. Susanna bukan wanita lajang. Ia sudah bersuami dan suami tersebut adalah kakak dari Octavio sendiri. Di 21 Grams, Jack Jordan mempunyai dua anak yang berumur kurang lebih sama dengan dua anak yang ia tabrak hingga tewas seketika.
Babel juga sama, ada tokoh Yussef dan Ahmed, serta Mike dan Debbie. Kita bisa menuduh dengan mudah bahwa Yussef adalah biang keladi seluruh rangkaian peristiwa. Namun merunut ke belakang, ia adalah buah dari permainan orang dewasa yang memperdagangkan senjata. Juga barangkali tak pernah tersirat dalam benaknya, bahwa keisengannya menembak menimbulkan satu problem lintas negara yang sedemikian rumit. Membuat polisi harus turun tangan dan melibatkan mereka dalam baku tembak serius. Mike dan Debbie pun mengalami hal yang sama. Mereka bergembira di pesta pernikahan dan tertidur pulas di jok belakang. Namun mereka tak pernah paham mengapa pada akhirnya nasib mereka berada di tengah gurun dengan Amelia yang nyaris pingsan mencarikan bantuan.
Yussef dan Ahmed; Mike dan Debbie, keduanya dipisahkan oleh kenyataan bahwa nasib mereka terpisah oleh situasi negara yang mereka tinggali. Yussef dan Ahmed berada di negara yang boleh kita bilang –dalam kacamata simpel globalisasi- sebagai negara dunia ketiga. Mereka mudah sekali dikenai tuduhan-tuduhan teroris untuk hal-hal yang agaknya bukan sebuah aktivitas teror. Mike dan Debbie, dari Amerika Serikat, oleh sebab negaranya yang adikuasa, mereka diberi perlindungan “yang nyaman” dari Amelia yang melanggar ijin kerja. Namun ada satu hal yang pasti: Baik Yussef, Ahmed, Mike, dan Debbie tak pernah paham mengapa dunia orang dewasa sedemikian berbelit-belit!
Merenungkan Babel
Disamping beberapa bentangan makna di atas, Iñárritu juga sekali lagi ingin menunjukkan satu tampilan eksistensi dunia manusia yang khas. Ia seolah mau menjadi perpanjangan filsafat Sartre yang mengatakan, “Keputusan apapun yang kamu ambil, adalah keputusan yang berlaku bagi seluruh manusia.” Kita tidak pernah tahu bahwa keputusan Yasujiro memberikan senapan pada Hassan Ibrahim menyebabkan Ahmed terbunuh, menyebabkan Amelia kehilangan ijin untuk ke pesta pernikahan anaknya –membuat ia harus membawa Mike dan Debbie untuk kemudian dideportasi-
Pada jarak pandang yang lebih luas, kita bahkan tidak bisa memutuskan bahwa manusia dalam kekhasan eksistensialnya, bisa digolongkan dengan mudah ke dalam baik-jahat, berpendidikan-tidak berpendidikan, bermoral-tidak bermoral, warga negara maju-warga negara berkembang, atau golongan atas-golongan bawah. Babel memang pada mulanya menunjukkan fenomena dunia yang parsial: Melihat kehidupan demi kehidupan yang seolah tidak punya kesamaan. Namun pada akhirnya ada benang merah cukup jelas yang menunjukkan penyebab keberpisahan fenomen-fenomen itu. Kita bisa sebut ia bahasa, ras, ideologi, ataupun batas-batas negara.
Mengapa itu terjadi? Jika merujuk pada kitab suci, ini sudah semacam “kutukan Tuhan” agar manusia tidak arogan untuk menciptakan menara yang bermaksud mencapai-Nya. Jika merujuk pada argumen lainnya, kesemuanya ini tak ada sangkut pautnya dengan Tuhan. Keseluruhan perbedaan ini adalah ciptaan manusia itu sendiri -Manusia dewasa dengan rasionalitasnya yang membenamkan bahasa universal ke penjara yang betul-betul asing-.
Comments
Post a Comment