Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Panoptikon

Panoptikon adalah konsep arsitektur yang digagas oleh Jeremy Bentham di akhir abad ke-18. Terdiri dari dua kata yaitu pan yang berarti semua dan optikon yang artinya mengamati, panoptikon bisa dipahami sebagai: "desain gedung yang memungkinkan satu pihak bisa mengawasi seisi gedung tanpa yang diawasinya merasa terawasi."

Konsep panoptikon ini terutama diterapkan dalam penjara. Contoh terbaiknya ada pada bangunan penjara Presidio Modelo di Kuba. Seperti ini dia gambarnya:

Gambar diambil dari sini. Lisensi milik Friman.

Menara di tengah ini adalah kunci konsep pengawasan yang ditawarkan Bentham. Menara tersebut berputar dan di dalamnya ada sipir yang mengamati dengan seksama sel-sel di sekelilingnya. Michel Foucault melihat bahwa terlepas dari ternyata tidak ada sipir di balik menara tersebut, struktur kesadaran para napi akan menganggap dirinya selalu berada dalam pengawasan. Foucault kemudian mengabstraksi konsep panoktikon ini dalam kritiknya terhadap apa yang ia sebut sebagai "metode disiplin modernitas". 

Apa yang dipikirkan oleh Foucault ini baru saya pahami kala berjalan-jalan di salah satu mal di Jakarta. Setelah keluar dari tempat mainan bersama sepupu, saya melihat televisi layar datar yang bertuliskan: "smile, you're always on tv."


Meski tidak mengacu pada panoptikon sebagai sebuah konsep arsitektur, namun cara kerjanya persis. Dengan ramah, si televisi berbicara seperti menara di Presidio Modelo. Ia hendak menunjukkan bahwa meski mungkin saja tidak ada korelasi serius antara ucapan di atas dengan tingkat keamanan yang sesungguhnya, namun kalimat tersebut menunjukkan bahwa kita mesti mengafirmasi diri bahwa kita ada pada posisi diobjekkan, dikuasai, dan tidak punya daya upaya untuk melarikan diri.

Yang hendak disoroti tentu saja bukan metode pengamanan yang bisa jadi efektif untuk menjauhkan pasar dari serbuan pengutil. Yang mau dibicarakan adalah kenyataan bahwa tanpa harus mendekam di balik sel, kita bisa ikut merasakan bagaimana dikuntit oleh kekuasaan. Sang kuasa ini tak sanggup menguasai dirinya dari melihat apa yang perlu dilihat saja. Meski ia ditujukan pada mulanya untuk mengamankan mal, namun sesungguhnya kuasa tersebut menjadi semacam eye of god yang menciptakan suatu penjara psikologis dalam kesadaran kita.

Perasaan ngeri ini mengingatkan saya pada film The Truman Show karya sutradara David Weir tahun 1998. Truman Burbank yang diperankan Jim Carrey, berada pada situasi serupa sejak ia lahir: Berada dalam setting acara televisi bernama The Truman Show yang menjadi tontonan seluruh dunia. Celakanya, selama 30 tahun, ia merasa bahwa apa yang ia jalani adalah kehidupan yang sejati -bukan artifisial ciptaan sang sutradara, Christof. Film ini dampaknya cukup besar sehingga timbul suatu penyakit psikologis bernama Truman Show Delusion. Para pengidapnya merasa hidupnya diawasi terus menerus dan ditonton oleh orang di seluruh dunia. Mereka tidak percaya bahwa hidupnya adalah kenyataan, jangan-jangan seisi manusia hanyalah aktor belaka.

Kita tidak akan jauh-jauh mengaitkan The Truman Show dengan sebaris kalimat di mal tadi. Namun ada benang merah yang bisa kita tarik: Bahwa antara Truman Burbank dan para pengunjung mal, keduanya sama-sama tidak punya kuasa untuk melihat apa yang terjadi di balik kamera. Bisa memang diawasi, bisa tidak sama sekali, atau malah menjadi objek voyeur yang menyenangkan.

Comments

  1. Penjelasan serta analogi yang ciamik sekali om Syarif, salam hangat dari Buahbtu Bandung

    ReplyDelete
  2. Waw, penjelasan konsep yang bagus. Mudah di Mengerti

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat