Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

30hari30film: The True Story of Che Guevara (2007)


12 Ramadhan 1433 H



Pernahkah menyaksikan film tentang Che Guevara berjudul Che yang disutradarai oleh Steven Soderbergh dalam dua edisi? Jika kesulitan memahami film tersebut, jangan menyalahkan alurnya yang terlalu lambat. Bisa jadi ini diakibatkan oleh ketiadaan fondasi mengenai sejarah perjalanan hidup Che Guevara sebelumnya. Untuk itu, selain membaca literatur, ada baiknya menyaksikan film dokumenter The True Story of Che Guevara agar menjadi suplemen sebelum menikmati sajian Che Guevara yang lebih reflektif via akting Benicio Del Toro dalam Che.

Dalam sembilan puluh menit, Maria Berry berupaya merangkum kehidupan Che dari ia kecil hingga kematiannya di Bolivia. Tidak hanya itu, Berry juga mewawancarai beberapa orang yang cukup paham kehidupan “si orang Argentina” tersebut seperti Jon Lee Anderson (Penulis biografi Che Guevara: A Revolutionary Life), Hugo Morales (pemimpin Bolivia yang menganut ideologi Marxis sebagaimana Che), serta beberapa eks gerilyawan maupun petani yang di masa kecilnya pernah menyaksikan sepak terjang Che.  

The True Story of Che Guevara memulai filmnya dari kenyataan bahwa Che menebar pengaruhnya secara luar biasa di seluruh penjuru dunia. Paling mudah, kita bisa menemukan lukisan wajahnya yang amat ikonik di berbagai tempat, mulai dari grafiti hingga sablonan kaos. Setelah itu, secara tegas film bercerita tentang kehidupan Che yang membentuk dia menjadi seorang revolusionis. Sebelum Che berkeliling Amerika Latin dan membantu pergerakan kaum petani dan buruh menggulikan penindasan kapitalisme, dikisahkan bahwa dirinya berasal dari keluarga yang justru berada. Pendidikannya pun cukup mapan. Che adalah mahasiswa lulusan kedokteran. Kemudian dikisahkan bagaimana ia bertemu dengan Fidel Castro dan membantu kelompok gerilyanya untuk menggulingkan pemerintah diktatorial Kuba di bawah Fulgencio Batista. Keberhasilan Revolusi Kuba ini memberi semangat bagi Che untuk memulai revolusi di pelbagai negeri di Amerika Latin. Namun Amerika Serikat, yang tidak menyukai pergerakan Che, memilih untuk menyudahinya di Bolivia lewat aksi CIA. Che, yang bernama asli Ernesto Guevara ini, mati dieksekusi pada tanggal 9 Oktober 1967.

Meski menyuguhkan informasi yang cukup padat, namun beberapa kali ilustrasi yang ditampilkan agak kurang merepresentasikan Che sebagaimana diceritakan (setidaknya secara fisik). Che Guevara yang diperankan Maria Ramirez Reyes, bertubuh agak tambun dan tidak menunjukkan suatu karisma seorang comandante. Hal tersebut baru terasa kentara jika sudah menyaksikan film Che yang digarap Steven Soderbergh dimana Che Guevara yang diperankan Benicio Del Toro tampak sangat karismatik sebagaimana yang kerapkali dituliskan dalam literatur. Adakah hal ini krusial? Ya dan tidak. Bagi mereka yang menganut ideologi dan cara pikir Che beserta proses pembentukan pola pikirnya, tentu saja hal tersebut tidak menjadi masalah. Tapi ada juga orang yang memulai penilaian terhadap suatu figur berdasarkan karismanya, seperti bagaimana RRC mengagungkan Mao Zedong, Uni Soviet mengagungkan Lenin, Kuba mengultuskan Castro, dan -jangan jauh-jauh- Indonesia menganggap Soekarno masih mempesona.

Rekomendasi: Bintang Tiga Setengah


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat