(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
21 Ramadhan 1433 H
Persona adalah film bergaya
film-noir dari sutradara legendaris
asal Swedia, Ingmar Bergman. Bergman cukup terkenal dengan karya-karya filmnya
yang absurd, filosofis, dan secara spesifik sering menyinggung tentang silence of God. Untuk memahami film-film
Bergman, penonton agaknya tidak bisa menontonnya hanya mengandalkan pengindraan
semata. Mesti ada sedikit suplemen, wawasan, atau kebiasaan berpikir filosofis
agar terlacak pesan apa yang dimaui sang sutradara. Hal tersebut tentu saja
berlaku juga untuk film Persona.
Persona, film berdurasi 85 menit ini berpusat pada dua orang saja. Pertama,
adalah perawat bernama Alma (Bibi Anderson) dan
pasiennya, Elisabet
Vogler (Liv Ullman), seorang artis. Vogler sehat secara fisik dan mental, namun
hal yang menyebabkan dia dirawat adalah satu: ia tak pernah bicara sepatah pun.
Sebaliknya, suster Alma
begitu ekstrovert. Selalu berbicara, bercerita, dan mengisahkan apa saja pada
sang pasien. Vogler tak pernah menanggapi, namun ia merespon dengan senyum dan
terkadang sentuhan.
Persona, yang merupakan film favorit penulis Susan
Sontag, merupakan film dengan latar minimalis: Selain keberadaan musik yang
hanya muncul sesekali, total pemeran dalam film tersebut hanya lima
orang, dengan penampil yang lain, -selain suster
Alma dan Elisabet Vogler- cuma muncul kurang dari semenit. Tidak
hanya percakapannya yang mengandung pesan kuat, melainkan juga pengambilan
gambarnya yang berulang kali menyejajarkan dan menyimetriskan wajah suster Alma dan Elisabet
Vogler. Apa artinya? Jangan-jangan, -interpretasi yang paling sederhana-
keduanya adalah orang
yang sama, namun dengan dua kepribadian yang berbeda.
Namun seperti biasanya film-film
Bergman, kita tidak akan mendapati jawaban semacam ini seperti halnya
menyaksikan film Fight Club dari
David Fincher. Meskipun sama-sama membicarakan alter-ego, namun Persona
lebih menyisakan misteri dan mengundang banyak diskusi. Misalnya, bagaimana
menjelaskan adegan pembuka film yang isinya merupakan montase dari mulai tangan
yang dipaku hingga penis yang sedang ereksi! Harus diakui, meski film ini susah dicerna, namun kita
bisa tetap merasakan sensasi kegelapannya.
Rekomendasi: Bintang Lima
Comments
Post a Comment