Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

30hari30film: Le Petit Nicolas (2009)

28 Ramadhan 1433 H


Jika mengenal tokoh anak-anak seperti Astérix ataupun Lucky Luke, maka ketahuilah bahwa Nicolas ini adalah juga tokoh yang diciptakan oleh René Goscinny. Diluncurkan pertama kali tahun 1959 dalam bentuk buku serial untuk anak, Nicolas langsung populer di kalangan anak-anak Prancis masa itu. Meski sudah dibuat buku dalam versi Inggris dari sejak tahun 1962, namun kisah mengenai Nicolas ini baru diangkat ke layar lebar maupun layar televisi pada tahun 2009. 

Le Petit Nicolas, yang disutradarai oleh Laurent Tirard, berkisah tentang anak bernama Nicolas (Maxime Godart) diantara dua dunia yang mendominasi kehidupannya: keluarga dan sekolah. Di keluarga, dia adalah anak satu-satunya dari ayah yang ambisius di dunia kerja (Kad Merad) dan ibu yang sedemikian menghayati perannya di rumah (Valérie Lemercier). Sedangkan di sekolah, Nicolas punya teman-teman kelas yang dinamis seperti Geoffroy si anak orang kaya, Alceste yang gendut dan selalu makan, Clotaire yang selalu dihukum karena malas dan kurang pandai, Eudes yang nakal, dan Rufus si anak polisi. 

Dunia sekolah dan dunia keluarga ini menjadi terkoneksikan oleh sebab suatu percakapan antara orangtua Nicolas yang tanpa sengaja terdengar si anak. Percakapan tersebut disalahartikan oleh Nicolas sebagai bentuk kehadiran calon adik yang akan mengancam keberadaan dirinya. Teman-teman sekelas Nicolas pun menunjukkan kesetiakawanannya dengan membantu agar Nicolas tetap eksis di tengah keluarganya -tentunya dengan cara-cara yang menggelikan-.

Film Le Petit Nicolas adalah film yang amat menyegarkan. Tingkah laku Nicolas dan kawan-kawannya begitu lugu dan mengundang tawa. Namun tidak hanya sisi itu saja yang bisa dilihat dari film Le Petit Nicolas, melainkan kenyataan bahwa dunia orang dewasa begitu rumit dan terlalu mengada-ada. Le Petit Nicolas ini punya kemiripan dengan buku karya Antoine de Saint-Exupéry berjudul Le Petit Prince. Keduanya punya kesamaan, yaitu tentang bagaimana mengajak apresiator untuk merenungkan dunia keseharian orang dewasa dari sudut pandang anak kecil yang seringkali tidak melihat kehidupan sebagai sesuatu yang harus dikotak-kotakkan atau dikuasai. Anak kecil selalu punya keajaibannya sendiri, atau jika mengacu kata Picasso, "Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once we grow up."

Rekomendasi: Bintang Empat

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat