(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
15 Ramadhan 1433
Facing Ali adalah film dokumenter yang berkisah tentang perjalanan hidup petinju Muhammad Ali (eks Cassius Clay) dari sudut pandang orang-orang yang pernah menjadi lawan bertandingnya. Mereka yang diwawancarai adalah Joe Frazier, George Foreman, George Chuvalo, Sir Henry Cooper, Larry Holmes, Ken Norton, Ron Lyle, Ernie Shavers, Ernie Terrell dan Leon Spinks. Hampir seluruh eks lawan Ali di ring tinju ini rata-rata sudah berumur lima puluh hingga enam puluhan. Meski demikian, ingatannya tentang bagaimana mereka bertarung melawan Ali masihlah segar bugar.
Facing Ali yang disutradarai oleh Pete McCormack ini, tidak hanya berkisah tentang bagaimana Ali di atas ring. George Chuvalo, salah satu orang yang pernah bertanding melawan Ali, dengan fasih bercerita juga bagaimana sikap politik dan gerakan-gerakan kemanusiaan yang dilakukan Ali. Misalnya, Ali pernah menolak wajib militer dan mengutuk Perang Vietnam lewat pernyataannya yang terkenal: "I ain't got no quarrel with them Viet Cong... They never called me nigger.". Masuknya Ali menjadi Islam (atas dorongan mentornya, Elijah Muhammad dari Nation of Islam) juga menjadi salah satu topik yang diangkat dalam film tersebut.
Yang tak kalah menarik dari Facing Ali adalah bagaimana para petinju veteran yang diwawancara tersebut, -dalam tubuhnya yang menua- memperagakan gerakan tinju sewaktu bertarung melawan Ali -dengan diselingi rekaman lampau pertandingan yang sesungguhnya-. Facing Ali bukanlah semata-mata film dokumenter tentang Muhammad Ali, tapi juga soal bagaimana para eks lawan Ali itu bercerita tentang latar belakang kehidupan sosial dan ekonomi seorang petinju, yang kata Chuvalo, "Seorang petinju pastilah berasal dari keluarga miskin. Orang kaya tidak akan mau bertinju.". Seperti kata Ron Lyle: "Jika aku tidak pernah bertanding melawan Muhammad Ali, aku tidak akan pernah punya uang. Kamu tidak akan bisa duduk disini mewawancaraiku sebagai seorang petinju legendaris. Bertarung melawan Ali menjadi penyelamat hidupku."
Rekomendasi: Bintang Empat Setengah
Comments
Post a Comment