Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Heidegger, Ammy, dan Abaji

Hari Kamis tanggal 5 Juli kemarin, secara ajaib saya berjumpa dengan tiga orang yang berbicara hal yang sama. Mereka bertiga tidak saling kenal, dan perjumpaan kami pun dilakukan di tempat yang berbeda-beda.

Martin Heidegger

Perjumpaan pertama adalah dengan Martin Heidegger. Saya menemui ia lewat tulisannya yang sudah ditafsir ulang oleh Frans Budi Hardiman dalam bukunya: Heidegger dan Mistik Keseharian Filsuf yang lahir tahun 1889 ini bicara tentang manusia yang kerapkali lupa mempertanyakan Ada. Kita seolah yakin bahwa matahari ada di atas kepala kita, kita seolah yakin bahwa arisan pasti ujung-ujungnya bergosip, kita seolah yakin bahwa Alfamart adalah tempat dimana kapitalisme membuka cabangnya. Tapi semuanya adalah asumsi-asumsi yang dijejalkan pada kita, yang membuat kita enggan untuk melihatnya lebih jernih: Memerhatikan hingga Ada itu menceritakan siapa dirinya sesungguhnya. 

Ammy Kurniawan
Terlalu sulit memahami Heidegger? Itulah guna kehadiran Ammy yang saya temui setelahnya di Jalan Progo. Musisi asal Bandung ini mengajarkan saya hakikat improvisasi dalam musik: Biarkan musik itu bernyanyi di kepala kita untuk lalu kita tuangkan dalam instrumen. Bagaimana dengan tangga nada atau scale semacam blues, mixolydian, broken chord, dan tetek bengek syarat improvisasi lainnya? Ammy tidak mengatakan itu keliru, tapi segera setelah mengetahuinya: Tinggalkan. Seolah Ammy mau meneruskan Heidegger bahwa asumsi-asumsi scale itu membuat kita tidak sanggup melihat Ada dengan jernih. Padahal Ada itu kerapkali ingin menceritakan siapa dirinya sesungguhnya. 

Abaji

Saya merasa paham maksud Heidegger setelah jumpa Ammy. Tapi saya cukup diberi rejeki untuk bertemu Abaji, seorang musisi berdarah Armenia-Lebanon-Turki yang tampil di Auditorium IFI-Bandung sesudahnya. Abaji, sesudah ia konser dengan menyajikan permainan memikat dari instrumen-instrumen yang rata-rata dari Timur Tengah, ia menggelar diskusi dengan beberapa gelintir penonton. Ada yang bertanya, "Bagaimana bisa memainkan instrumen sedemikian banyaknya?" Abaji tidak menjawab dengan klise, misalnya dengan "belajar" atau "bekerja keras", ia cuma bilang, "Instrumen-instrumen ini yang berkata langsung pada diri saya bagaimana cara memainkannya." 

Baik Heidegger, Ammy, dan Abaji, -tiga orang dari kawasan Jerman, Bandung, dan Timur Tengah- semuanya memikirkan hal yang sama: Bahwa ada yang menampakkan diri di dunia ini, jika dan hanya jika kita tidak memikirkannya atau setidaknya mengotori pikiran-pikiran kita dengan asumsi dan kategori-kategori pemahaman yang dibuat sendiri. Sesungguhnya Ada (jika kita pinjam dulu bahasa Heidegger) memanggil-manggil kita, dan mereka yang terpanggil hanyalah mereka yang mau "berpikir dengan perasaan" atau Heidegger menyebut berpikir sebagai bukan kegiatan akal budi, melainkan "being intense with disclosure".  

Apa yang membuat kita begitu asing dengan Ada? Banyak hal, bisa ya itu tadi, kategori pemahaman yang kita buat dalam kepala sendiri, atau keseharian yang terlalu bising dan membenamkan kita pada palung tidak berdasar. Heidegger, Ammy, dan Abaji, menitipkan satu pesan yang sama: Jadilah pemula. Jadilah seolah-olah kita baru lahir ke dunia dan terpesona melihat segala sesuatu untuk pertama kali. Dalam keterpesonaan itu, sesungguhnya segala sesuatu menyingkapkan dirinya.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...