Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

30hari30film: Midnight in Paris (2011)


1 Ramadhan 1433 H



Midnight in Paris adalah film yang digarap oleh sutradara senior Woody Allen, yang pernah dengan gemilang memenangkan empat Oscar dengan karyanya tahun 1977, Annie Hall. Film ini berkisah tentang pasangan Amerika –yang akan menikah- yang tengah berlibur ke Paris, Gil Pender (Owen Wilson) dan Inez (Rachel McAdams). Dalam kunjungan ke Paris ini, keduanya sering berselisih pendapat. Inez melihat Paris sebagai tempat berlibur yang indah dan penuh dengan sentuhan artistik sekaligus historis. Sedangkan Gil lebih sentimentil daripada itu, ia memandang Paris sebagai kota yang romantis (lebih jauh ia menyebutnya, “ketika hujan”), sumber inspirasi, dan tempat dimana seniman-seniman besar pernah tinggal. Berbeda dengan Inez, Gil yang berprofesi sebagai penulis, sedemikian terobsesi untuk tinggal di Paris.

Sentimentalitas ini membawa Gil pada situasi yang misterius di setiap waktu tengah malam: Ia dijemput oleh mobil tua, bertemu dengan para seniman besar dari masa lampau yang bernah bersentuhan dengan Paris seperti Ernest Hemingway, Cole Porter, Scott Fitzgerald, Gertrund Stein, Pablo Picasso, Salvador Dali, Man Ray, Luis Bunuel, Henry Matisse, dan banyak lagi seniman dari masa tahun 1920-an dan era La Belle Epoque (1890 – PD I). Pertemuan demi pertemuan yang amat personal itu membawa Gil untuk membulatkan tekad tinggal di Paris. Agar dekat dengan inspirasinya, dekat dengan cintanya yang datang dari masa silam: Adriana (Marion Cotillard).

Midnight in Paris adalah film yang disebut oleh Woody Allen sebagai, “Melihat dengan cara saya melihat Paris.” Film ini, meski durasinya relatif pendek (89 menit), namun ia secara intens sanggup menunjukkan sisi-sisi memikat dari kota Paris. Lewat keluguan dan kenaifan Gil Pender, Allen hendak menunjukkan suatu paradoks Amerika: Mereka menang perang namun miskin kebudayaan dan sejarah, sehingga meskipun bisa menegakkan kepala di manapun mereka berada, namun selamanya Amerika akan selalu terpesona dengan romantisme Eropa. Kenyataan bahwa Eropa pernah menjadi tempat bermukim seniman-seniman yang karyanya menjadi kiblat, membuat Amerika, lewat Gil Pender, terlihat gamang dan tidak punya pegangan.

Meski demikian, keberadaan Gil Pender yang diperankan oleh Owen Wilson ini mengandung dua sisi. Pertama, keluguannya bisa mengartikulasikan “kelabilan” Amerika secara brilian. Namun di sisi lain, akting Wilson justru terlihat jomplang dengan kualitas aktor lain seperti Marion Cotillard, Adrien Brody, dan pesona pemain lain yang memerankan karisma para seniman-seniman besar tersebut. Tanpa tampilan mempesona para raksasa golden age, barangkali film ini akan menjadi romantic comedy yang menghibur sejenak lantas dilupakan.

Satu hal yang membuat film ini agaknya menjadi tipikal Woody Allen yang filosofis, adalah pesan tersiratnya: Bahwa jangan-jangan perasaan bahwa suatu jaman disebut golden age, adalah ilusi. Karena seketika jika kita melihat ke masa lampau, kita akan selalu menganggap masa lampau itu lebih ideal dari masa kini. Bagi para seniman tahun 1920, La Belle Epoque adalah ideal. Bagi para seniman La Belle Epoque, jaman Renaisans adalah jauh lebih ideal. Bagi Gil Pender? Paris di masa silam selalu ideal.


Rekomendasi: Bintang Empat

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...